Keberulangan adalah ujian bagi manusia. Jika setiap tahun matahari tetap sama, artinya dari Januari menuju Desember; timur ke barat; habis terang terbitlah terang; pukul 00:00 kembali ke 23:59, maka bukankah itu pertanda bahwa kehidupan ini akan terus berulang hingga kematian menuntaskannya. Lalu bagaimana menghadapi keberulangan hidup ini?
Pagi menjelang, semua terbangun dari tidur masing-masing, dan kemudian menjalani hidup penuh keyakinan, walaupun ada juga yang bermalas-malasan, kita sebagai manusia siap atau tidak siap harus menjalani hidup dengan bergegas. Dari yang paling normal sekalipun hingga yang tidak normal kehidupan akan berjalan tanpa pernah disadari detik demi detik menelanjangi usia menuju kematian yang setia menunggu.
Kemudian agama memberi kita keyakinan bahwa ada kehidupan setalah kematian. Semua umat beragama menyiapkan segalanya untuk bekal nanti dengan tingkat keberulangan yang menguji. Apalagi agama Islam punya rutinitas sholat 5 waktu setiap hari, ritual yang jika hanya sekilas dibayangkan akan cukup membosankan. Ditambah lagi, saat solat hanya boleh merapalkan yang hanya itu-itu aja, dan tidak boleh memodifikasi urutan gerak ritual.
Lalu dalam setahun tibalah puasa bulan Ramadan yang ujian kita makin bertambah untuk mencampakkan yang duniawi. Alangkah berat saat semua orang boleh meneguk es kelapa siang hari, memesan segala promo paket lunch yang disediakan para penjual online, melihat segala yang nikmat di mata (laki-laki maupun perempuan) untuk memenuhi hasrat, membicarakan segala yang manis (konon jika kita sedang menghasut itu para setan sedang mengoleskan madu di bibir kita) secara langsung atau menggunakan media virtual harus ditanggalkan.
Namun jika kita semua yakin keberulangan itu ada, maka kerapkali ternyata kita sombong bahwa hari masih panjang untuk sekedar berubah baik dikit demi sedikit. Padahal rasa sombong lebih membuat manusia melayang-layang daripada sebatang marijuana serta berkaleng-kaleng bir atau minuman rusia macam Vodka. Bagaimana kita menghindari keberulangan yang membuat manusia mengidap rasa sombong?
“Satu bulan dalam setahun ini relakan diri ini untuknya.” ujar Gus Mus pada para santri, “sebelas bulan yang lain sudah kita lewat kehidupan ini untuk diri kita masing-masing. Waktunya mengaso, menemui pencipta lebih sering dari biasanya”
Semua santri mengangguk-ngangguk tanpa perlu disuruh, seakan semua yang terucap itu dapat ditangkap dengan mudah. Dan memang begitu telinga semua orang, mudah mendengar namun mudah juga lupa untuk dirinya sendiri. Namun mereka seperti sudah hapal sekian huruf-huruf yang di dengar jika untuk orang lain. Yang sejati memang keberulangan , dan tidak ada yang lain yang kita miliki kecuali itu. Nikmati keberulangan dengan lebih jeli, detail, dan mampu untuk kebaikan hari kita yang terus berjalan dengan lebih baik.
Memang perlu waktu untuk mengunyah setiap pengetahuan yang diperoleh, dan waktu setiap manusia memang relatif. Artinya pukul 09:00 saat sebagian orang baru bangun itu cukup siang bagi yang lain. Dan 07:00 saat orang mulai bekerja bagi yang lain itu terlalu pagi. Semua harus saling mengalah untuk kedamaian, seperti sifat baik lainnya agar mudah direalisasikan. Tapi bagaimana fastabiqul khairat itu bisa terwujud jika kita semua mengalah. Harus ada yang kompetitif, namun teks itu tidak selama seperti lomba yang pada umumnya orang lakukan. Karena saat kita tidak membangunkan orang atau mengingatkan orang untuk berbuat baik dan kita diam, poin kita tidak bertambah secara signifikan.
“Jangan jatuh di lubang yang sama,” tutur salah seorang bijak bestari jamam dulu
Padahal jika dilihat kembali jalan kita sudah berlubang semua dan kita tidak tahu apakah itu lubang yang sama atau bukan. Makanya mau mengulang kebaikan itu baik, dan apapun yang tidak buruk itu baik. Sampai kapan bergumul dengan yang profan jika dalam 1 bulan diantara 12 bulan lainnya kita keluar menemuinya. Artinya meskipun ia dalam diri kita tapi bukankah kita sering pergi dari kita sendiri untum memenuhi hasrat secara berlebihan hingga lupa pulang lagi ke tubuh masing-masing.
Ujian kita sebagai manusia, sebagai umat islam, semakin beragam dan kita harus rela untuk mengakui keimanan kita dibawah para pendahulu kita. Dan jangan lupa bahwa keberulangan membuat kita tergelincir, berlumpur, dan lupa bagaimana membersihkannya. Paling tidak kita saling mengingatkan untuk meyakini lubang yang kita masuki tidak sama dengan lubang sebelumnya. Karena di lubang yang sama kita jatuh, disaat itu kita disematkan bagai keledai.
Hati-hati di jalan.