Pilih mana, gaji 18 juta tapi hidup di Jakarta atau gaji 9 juta di Jogja? Ya Jakarta lah, pake nanya. Gampang banget ini mah
Satu topik yang ramai diperbincangkan di media sosial saat ini adalah membandingkan gaji 18 juta di Jakarta atau gaji 9 juta di tempat asal. Perbincangan ini menjadi seru karena setiap kubu memiliki pendapat validnya masing-masing.
Di tengah serunya adu pendapat, saya rasa ada satu kaum yang nggak perlu repot-repot berdebat. Ya, mereka adalah warga Jogja. Lha piye? Tanpa pikir panjang pun saya sebagai warga Jogja bisa menjawab dengan satu hentakan yakin. Tapi kalo saya jawab sekarang, artikelnya berhenti di sini dong? Hehehe.
Dua tahun merantau
Dah langsung saja saya beri kisi-kisi bahwa saya sudah merantau ke Jakarta langsung sejak lulus kuliah. Kalau ditanya alasannya, ya jelas karena UMR, lah! Mau dibela dari segi mana pun, UMR Jogja emang rendah kok, bahkan setelah dinaikkan. Di tengah gempuran dolar yang sudah menyentuh 17 ribu, UMK kota tercintaku ini masih di angka 2.65 juta rupiah. Yo jelas kalah jauh dan kalah menarik ketimbang gaji Jakarta to ya?
Bukannya nggak bersyukur, tapi biaya hidup di kota mana pun sekarang nggak jauh beda lho. Bahkan, setelah saya hidup dua tahun di Jakarta yang notabene dianggap metropolitan pun, bedanya nggak sejauh itu. Harga kos saya di daerah Tanah Abang nggak jauh beda dengan kos di daerah Seturan.
Masih ngotot bilang makanannya jauh lebih murah? Lha saya saja setiap hari makan di warteg dan warmindo Jakarta saja harganya nggak lebih dari 15 ribu sekali makan. Itu pun sudah dapat dua sampai tiga lauk. Nggak jauh beda kan sama Jogja? Ya mungkin bedanya di Jogja sudah dapat es teh saja.
Kerjanya sama-sama capek, apresiasi di Jogja beda jauh
Prinsip dalam bekerja secara profesional, tentu setiap orang ingin mendapat hasil yang sebanding dengan usaha. Lha di Jogja sendiri, kerja direwangi tipes, tapi gaji langsung habis buat bayar tipesnya. Malah mungkin nombok.
Hal tersebut yang membuat saya lumayan bersimpati sekaligus miris. Nggak seharusnya warga Jogja diminta selalu bersyukur, padahal apresiasi yang didapat bisa lebih layak lagi. Saya setuju dan percaya bahwa setiap hasil perlu disyukuri, tapi meminta hak sesuai beban kerja juga bentuk ikhtiar mendapatkan keadilan.
Jadi jawabannya…
Kembali ke pertanyaan awal mengenai memilih antara 18 juta di Jakarta atau 9 juta di tanah kelahiran, jawabannya sudah semakin jelas. Kalo ada sebuah diskusi yang mempertanyakan pilihan gaji berdasar lokasi, akan saya jawab dengan lantang, “18 JUTA DI JAKARTA, LAH. PAKE NANYA!”.
Lha gimana? Mencari loker dengan gaji 9 juta di tanah kelahiran sendiri saja serasa mencari jarum di atas tumpukan jerami. Tapi jeraminya segede bumi, alias angellll~
Memang nggak mustahil, tapi kita perlu bidang yang sangat niche atau level jabatan manager untuk mencapai angka tersebut. Jangankan 9 juta deh, loker yang di bawah UMR Jogja saja masih bertebaran, kok. Harapan 9 juta jadinya serasa level dewa karena si pemberi kerja saja masih ada yang kesulitan memberi yang level batas minimum.
Lagi-lagi, saking hopelessnya pencari kerja yang sulit mendapat loker sesuai valur diri, maka gaji di bawah UMR pun masih diterima. Jadi masalahnya bukan memilih antara 18 juta atau 9 juta lagi, tapi pilihan gaji yang layak saja belum merata di kota ini.
Saya rasa orang-orang yang bersuara itu bukan karena nggak bersyukur, tapi ya cuma menginginkan hak yang layak saja. Dengan biaya hidup yang saya bisa confirm nggak sejauh itu antara Jakarta dan Jogja, hasil yang bisa ditabung bisa jauh berbeda angkanya. Jadi, sampai waktu tersebut datang dan hak tersampaikan, suara-suara menagih keadilan jangan sampai hilang.
Penulis: Muhammad Iqbal Habiburrohim
Editor: Rizky Prasetya