Warga Kecamatan Tegalrejo Jogja lainnya juga mengalami penderitaan yang sama kayak saya nggak?
Kata banyak orang, Jogja itu tempat tinggal yang pas untuk menghabiskan masa tua. Masa iya? Saya mungkin belum merasa relate karena belum merasakan masa pensiun. Tapi saya lahir dan tumbuh di Kota Jogja selama 22 tahun, tanpa potongan masa merantau sama sekali.
Selama lebih dari dua dekade saya habiskan di kota yang selalu jadi jujugan pelajar study tour, calon mahasiswa baru, sampai pemilik modal yang investasi tanah. Dari awal lahir sampai sekarang, saya menempati sebuah rumah yang secara administratif tercatat sebagai bagian dari Kemantren Tegalrejo.
ICYMI, Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya sudah nggak pakai nomenklatur kecamatan lagi. Untuk daerah setingkat kecamatan, sejak tahun 2020 lalu DIY menggunakan nomenklatur kapanewon untuk kabupaten dan kemantren untuk kotamadya. Jadi, tempat tinggal saya yang dulunya bernama Kecamatan Tegalrejo kini berubah menjadi Kemantren Tegalrejo. Pun dengan Pak Camat yang kini dipanggil dengan nama Pak Mantri Pamong Praja. Tapi biar kalian nggak bingung, saya tetap akan memakai kecamatan dalam tulisan ini, ya.
Buat banyak orang, terutama teman-teman saya yang tinggal di kabupaten, mereka iri dengan saya yang “anak kota” ini. Kurang apa lagi sih, sudah enak tinggal di DIY, kotamadya lagi. Jarak cuma dua kilometer dari Tugu dengan banyak fasilitas publik, seperti minimarket, supermarket, bank, franchise makanan cepat saji, sekolah dan perguruan tinggi, hingga faskes yang dekat dengan rumah.
Oh, ya tentu banyak kurangnya. Apalagi manusia diciptakan dengan sifat suka mengeluh, maka akan saya spill keluh kesah saya selama tinggal di Kecamatan Tegalrejo.
#1 Pulang pergi menatap matahari
Kecamatan Tegalrejo termasuk ke dalam kawasan Jogja barat. Terletak paling ujung barat, kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Kasihan, Bantul dan Kecamatan Gamping, Sleman.
Mohon maaf kepada segenap penduduk maupun alumni institusi pendidikan di kedua kecamatan tadi, tapi faktanya, sekolah dan perguruan tinggi favorit di DIY sebagian besar berada di sebelah timur dari Tegalrejo. Nah, karena lokasi institusi pendidikan unggulan adanya di timur, muncul pengalaman nggak enak tinggal di Tegalrejo, yaitu berangkat dan pulang menatap matahari.
Kalau pagi kita menuju ke timur, asal terbitnya matahari. Sewaktu pulang, gantian kita menatap arah terbenamnya matahari, yaitu barat. Tiap hari pulang-pergi menantang matahari kayak gini sukses bikin kulit saya belang dan mata silau.
#2 Nggak dianggap GPS
Saya nggak paham apa dosa warga Kecamatan Tegalrejo Jogja sama GPS. Sejak zaman HP Nokia sampai saat ini, Tegalrejo nggak dianggap oleh GPS.
Kalau mau pasang lokasi atau mengisi alamat di marketplace secara otomatis menggunakan fitur “posisi saya saat ini”, GPS pasti akan mendeteksi posisi saya di kecamatan sebelah. Kalau nggak Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan pasti Trihanggo, Kecamatan Gamping.
Tegalrejo yang dialienasi oleh GPS ini ngerepotin banget. Saya jadi harus memasang lokasi secara manual untuk bikin story WhatsApp dan Instagram, serta untuk mempermudah kurir pengantar paket. Saya pernah memakai fitur otomatis dan hasilnya Pak Kurir nyasar ke Kasihan, Bantul. Kasihan, kan?
Baca halaman selanjutnya
#3 Berkendara di sini harus modal nekat…