Beberapa waktu lalu, saya dan istri baru saja menikah. Dan karena kami bukan pasangan sultan, maka aktivitas bulan madu yang kami pilih adalah yang masih terjangkau secara jarak dan keuangan. Kami pun memutuskan pergi bulan madu ke Jogja. Selain karena banyak tempat wisata yang cocok dijadikan konten duniawi, dulu saya sempat kuliah di sana. Jadi, setidaknya kami punya gambaran mau jalan-jalan ke mana.
Kira-kira begitulah harapan awalnya. Tetapi kenyataan di lapangan sungguh berkata lain. Istri saya kaget bahwa ternyata Jogja tak seperti yang ada di konten TikTok. Katanya, “Jogja kok isinya macet semua, ya?” Saya cuma bisa nyengir sambil mengatakan, “Ya, memang begini wajah Jogja.” Fyi, kami ke sana pas long weekend kemarin.
Dari arah Tugu ke Malioboro, kendaraan hampir nggak ada jedanya. Macet, padat, dan riweh. Bahkan sampai ke gang-gang sempit dekat pabrik bakpia pun bus besar bisa masuk. Nggak ngerti juga kenapa bisa lolos. Padahal bisa saja kan dibuat peraturan kalau bus harus parkir di tempat yang layak, lalu wisatawan lanjut pakai becak atau andong ke beberapa lokasi, khususnya kalau ke pabrik bakpia yang ada di jalan sempit itu.
Daftar Isi
Harga hotel Jogja nggak ramah buat dompet tipis
Selain macet, yang membuat kami kaget adalah soal penginapan. Kami sempat iseng bertanya tarif hotel dekat Malioboro. Niatnya sih mau cari yang strategis. Eh, ternyata harganya satu juta rupiah.
Edyan! Bahkan untuk hotel yang biasa saja, harganya bisa sampai Rp500 ribuan ke atas.
Empat tahun lalu, saya masih menemukan hotel 400 ribuan di sekitar Malioboro. Hari ini harganya sudah naik berlipat-lipat.
Yah, Jogja memang kota yang tercipta untuk wisatawan bermodal. Kaum mendang-mending pasti mikir dua kali kalau harus staycation di Jogja. Kecuali nginepnya nebeng temen di kos-kosan, itu baru masuk akal.
Makanan murah hanya mitos
Malioboro, sebagai jantung wisata Jogja, sekarang makin jauh dari kata terjangkau. Makan di angkringan pun bisa kena harga fantastis. Makan di angkringan yang dulu terkenal murah, sekarang bisa setara harga makanan mahal. Belum lagi tambahan sate usus yang ujung-ujungnya bikin kaget waktu bayar.
Ketika ke sana, saya dan istri sempat makan di salah satu warung lesehan dekat Malioboro. Kami memesan nasi goreng. Totalnya hampir 50 ribu. Rasanya? Biasa saja. Tapi ya itu, karena tempatnya strategis, harga pun ikut naik. Kalau kamu berharap bisa makan murah ala-ala mahasiswa, sebaiknya jangan ke pusat kota.
Tempat wisata penuh sesak
Jogja memang punya banyak tempat wisata. Tapi masalahnya, sekarang semua tempat itu penuh. Bahkan terlalu penuh.
Taman Sari misalnya, sudah full pengunjung. Bukit Bintang juga penuh. Kaliurang pun nggak bisa dibilang seger lagi karena macet parah. Apalagi pas libur panjang, makin nggak masuk akal saja.
Hari-hari ini sisi romantis dari Jogja memang masih laku di pasaran, tapi saya kira ke depan akan makin berat diterima logika. Konten di media sosial yang mengatakan Jogja itu tenang, murah, dan hangat, lama-lama akan susah dipercaya. Sebab, kenyataannya Jogja itu macet, mahal, dan bikin pusing.
Dulu kota ini dikenal karena kehangatannya. Sekarang, saking hangatnya, suasananya jadi panas.
Saya pun jadi kepikiran, kapan terakhir Jogja benar-benar lengang? Semua sudut “dijual”. Semua momen direkam. Dan semua tempat dibuat spot selfie.
Kota ini jadi seperti artis yang terlalu sering dipaksa manggung, sampai kehilangan dirinya sendiri. Saking sibuknya menyenangkan tamu, kadang Jogja lupa menyenangkan warganya sendiri. Yah, sepertinya kota ini butuh napas sesaat.
Saya bukan orang Jogja. Saya hanya tamu yang sesekali mampir. Tapi sebagai orang luar, saya bisa bilang kalau Jogja sekarang sudah tidak masuk akal. Bahkan untuk kami yang datang tanpa ekspektasi tinggi. Bukan berarti Jogja jelek, ya. Tapi Jogja sekarang bukan Jogja yang dulu. Ia berubah, tumbuh, dan makin padat.
Terlebih, pertumbuhan wisatawan itu tidak dibarengi dengan pengelolaan yang presisi. Karena itu kalau kamu mau ke Jogja, saran saya cuma satu: turunkan ekspektasi. Liburan ke Jogja untuk mencari ketenangan sudah tidak masuk akal lagi.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.