• Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Login
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
    • Mojok.co
  • NusantaraHOT
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Sapa Mantan
    • Gadget
    • Personality
  • Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Politik
  • Profesi
  • Home
    • Mojok.co
  • NusantaraHOT
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Sapa Mantan
    • Gadget
    • Personality
  • Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Politik
  • Profesi
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
  • Pojok Tubir
  • Kampus
  • Hiburan
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Kunjungi MOJOK.CO
ADVERTISEMENT
Home Kampus Pendidikan

Culture Shock Anak Rantau di Jogja

Tappin Saragih oleh Tappin Saragih
29 Agustus 2019
A A
Culture Shock

Culture Shock

Share on FacebookShare on Twitter

Apa pengalaman anda yang paling berkesan saat tinggal di tanah rantau untuk pertama kalinya? Orang-orang yang pergi merantau ke daerah atau kota yang sangat berbeda baik dari segi bahasa maupun suku, pasti mengalami banyak hal-hal unik atau lucu—sedih atau senang—yang sulit dilupakan.

Perantau seperti saya yang jauh dari Medan sana sudah pasti mengalaminya pula. Apalagi saya lahir dan besar di kota yang sangat jauh berbeda dengan lingkungan saya sekarang. Pada 22 juli 2019 yang lewat, saya sudah sembilan tahun di Jogja. Selama sembilan tahun itu, saya pulang kampung sebanyak enam kali.

Sebagai perantau, tentu banyak suka-duka yang sudah saya alami. Pada tahun pertama di Jogja—2010, saya tinggal di daerah selatan Jogja dekat kampus Institut Seni Indonesia—Sewon. Pada tahun itu saya dan teman-teman khususnya dari Medan banyak mengalami culture shock. Kami butuh beberapa minggu—saya sendiri lebih lama—untuk beradaptasi.

Misalnya, ketika meminta es the di warung makan saya menyebutnya mandi—manis dingin. Ketika meminta sedotan, saya menyebutnya pipet.  Air putih saya menyebutnya teh. Dan kobokan tangan, saya menyebutnya cuci tangan. Yang lain misalnya, soal penyebutan korek atau gas. Di kampung, saya biasa menyebutnya mancis dan rokok sigaret (sepertinya itu berasal bahasa inggris matches dan cigarettes, hehe).

Semua itu kata-kata–bahasa Indonesia—yang biasa dipakai di warung-warung makan di Medan. Jadi bisa anda bayangkan kegagapan—kelucuan—yang terjadi saat berkomunikasi. Mbak atau Mas-nya sering bingung menghadapi saya. Saya juga ikutan bingung—salah tingkah. Akhirnya untuk makan pun butuh penjelasan yang lebih panjang.

Berikutnya, salah satu kebiasaan yang terkadang sulit diubah yaitu penyebutan sepeda motor. Perlu anda ketahui, di Medan penyebutan sepeda motor adalah kereta dan penyebutan mobil adalah motor. Sehingga dulu ada sebuah meme (sekarang juga masih): orang-orang Medan rata-rata kaya karena bisa beli kereta sedangkan orang Jogja, jangankan mobil sepeda motor aja masih susah. Kadang sesama orang Medan suka meledek ketika salah satu keceplosan menyebutkan kereta. “Relnya di mana?” Semua tertawa.

Selain itu, baru-baru di Jogja saya sering memanggil setiap laki-laki atau perempuan yang sudah menikah dengan sebutan Pak atau Bu. Kemudian saya tahu ternyata itu membuat mereka yang masih muda risih. Dari situ saya belajar memanggil Mas atau Mbak. Bila umurnya sudah cukup tua, saya panggil Pak atau Bu, atau bahkan Mbah.

Sebagai anak Medan, salah satu kendala yang paling berat saya ubah—teman-teman lain juga—adalah intonasi dan logat—dialek. (saya juga lemah bahasa, hehe) Suatu ketika di warung makan, saya menelepon ibu. Kami berbincang-bincang seperti biasa. Setelah pulang, teman saya tertawa karena si penjaga warung mengira saya sedang berkelahi. Dari situ saya belajar melembutkan suara saya.

Pengalaman lain, misalnya di kelas atau saat nongkrong bersama teman-teman jawa. Dosen kerap kali menggunakan bahasa jawa saat mengajar sehingga kita sering bingungas. Teman-teman jawa khususnya dari Jogja juga begitu. Jadi kita sering mengalami suasana yang krik krik—roaming.

Culture shock lainnya adalah soal makanan. Makanan Medan itu kaya dengan bumbu dan rempah seperti Aceh atau Sumatera Barat. Makanan biasanya pedas. Ada asin dan asam juga. Sehingga kebanyakan teman-teman kesulitan mencari makanan yang sesuai dengan lidahnya. Saya sendiri dengan teman-teman kos masak sendiri satu tahun pertama di Jogja. Apalagi saat itu di sekitar Sewon masih sedikit warung makan. Berbeda dengan daerah utara—kota—yang sudah banyak restoran atau warung makan khas luar Jogja.

Dua tahun terakhir, saya bahkan sudah bisa makan gudeg—rasanya manis. Sekarang, ketika teman-teman ngobrol dalam bahasa jawa, sedikit sudah bisa saya paham walau untuk bicara masih payah. Intonasi dan logat saya menjadi lebih lembut. Sedikit banyak dalam kurun sembilan tahun ini saya berubah—beradaptasi dengan lingkungan Jogja.

Tapi di balik keberhasilan saya berdaptasi itu, ada masalah baru yang harus saya hadapi. Ketika saya pulang ke Medan, saya juga harus mengalami culture shock. Saya yang sudah terbiasa menyebut motor, es teh, sedotan, di sana saya justru harus beradaptasi kembali dengan budaya asli saya. Sungguh, itu bikin pusing kepala. Sialnya, beberapa orang menganggap saya sedikit aneh karena cara bicara saya menjadi lebih lembut.

Ah itulah konsekuensi tinggal di negara yang amat beragam budaya dan bahasanya ini. Lucu, unik, kadang kesal, tapi sekaligus juga ada rasa bangga sebagai anak Indonesia. Terlepas dari semua pengalaman culture shock itu,  setidaknya saya sudah belajar mengamalkan pepatah: di mana bumi dipijak, di situ langit dijungjung. Untuk perantau—mahasiwa baru—yang datang ke Jogja, selamat beradaptasi. Nikmatilah kekayaaan, keragaman dan keindahan yang ada! (*)

BACA JUGA Jenis Pengendara Kendaraan Bermotor di Jalanan Jogja atau tulisan Tappin Saragih lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 24 Januari 2022 oleh

Tags: anak rantauculture shockJogjaMalioboroprambananYogyakarta

Tappin Saragih

Tappin Saragih

ArtikelTerkait

Papeda Gulung, Culture Shock Pertama Saya di Dunia Kuliner

Papeda Gulung, Culture Shock Pertama Saya di Dunia Kuliner

31 Mei 2023
Malioboro Ekspres: Kereta Api Primadona Sobat Malang-Jogja yang Mati Suri

Malioboro Ekspres: Kereta Api Primadona Sobat Malang-Jogja yang Mati Suri

31 Mei 2023
Culture Shock Orang Pati yang Minum Es Gempol Pleret di Solo

Culture Shock Orang Pati yang Minum Es Gempol Pleret di Solo

27 Mei 2023
Rawon Warteg, Culture Shock Terbesar Saya di Dunia Kuliner

Rawon Warteg, Culture Shock Terbesar Saya di Dunia Kuliner

26 Mei 2023
4 Oleh-oleh Khas Solo yang Sebaiknya Jangan Dibeli revitalisasi Solo

3 Hal Baik di Solo yang Wajib Ditiru Jogja

25 Mei 2023
Membedakan Olahan Kambing Khas Jogja dan Solo

Panduan Sederhana Membedakan Olahan Kambing Khas Jogja dan Solo

22 Mei 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
contact person

Contact Person, Tapi Kok Slow Response?

menggoyangkan

Penting Ya Ritual "Menggoyangkan" Kendaraan Bermotor di SPBU

dear diary

Kapan Terakhir Kali Kita Menulis ‘Dear Diary’?



Terpopuler Sepekan

Dear INews, Masih Niat Jadi The New Home of Badminton Nggak, sih?

Dear iNews, Masih Niat Jadi The New Home of Badminton Nggak, sih?

oleh Dyan Arfiana Ayu Puspita
3 Juni 2023

Tradisi Gebrak Bayi biar Nggak Kagetan Itu Nggak Banget

Tradisi Gebrak Bayi biar Nggak Kagetan Itu Nggak Banget

oleh Reni Soengkunie
5 Juni 2023

Pelajaran Hidup yang Saya Dapat dari Memelihara Kura-kura

Pelajaran Hidup yang Saya Dapat dari Memelihara Kura-kura

oleh Eunike Dewanggasani W. S.
1 Juni 2023

Sisi Gelap Mahasiswa Pertukaran- Seru, tapi Menyebalkan (Unsplash)

Sisi Gelap Mahasiswa Pertukaran: Seru, tapi Menyebalkan

oleh Bintang Ramadhana Andyanto
2 Juni 2023

Keunikan Suku Semende dari Sumatera Selatan, Ketika Anak Perempuan Sulung Mendapatkan Privilese

Keunikan Suku Semende dari Sumatera Selatan, Ketika Anak Perempuan Sulung Mendapatkan Privilese

oleh Firdaus Deni Febriansyah
31 Mei 2023

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=lzHUMXKyXus

DARI MOJOK

  • Bus Handoyo Mengawal Setiap Tragedi yang Terjadi di antara Lumajang dan Wonosobo
  • Sultan Minta Kedepankan Paseduluran, Kapolda DIY Minta Maaf ke Tamansiswa
  • Eep Saefulloh Fatah: Konsultan Politik Spesialis Pemenang Dua Putaran
  • Imbas Bentrok Antarkelompok, Meja dan Kursi Bersejarah Ki Hadjar Dewantara Rusak
  • Masuk Kelas Internasional UGM, Siap-siap Minimal Rp20 Juta Tiap Semester
  • Tren Pemilu 2024 Berubah, Cak Imin Bisa jadi Faktor Penentu Pilpres
  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
DMCA.com Protection Status

© 2023 Mojok.co - All Rights Reserved .

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Login
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Sapa Mantan
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Hewani
    • Kecantikan
    • Nabati
    • Olahraga
    • Otomotif
    • Personality
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Acara TV
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2023 Mojok.co - All Rights Reserved .

Halo, Gaes!

atau

Masuk ke akunmu di bawah ini

Lupa Password?

Lupa Password

Silakan masukkan nama pengguna atau alamat email Anda untuk mengatur ulang kata sandi Anda.

Masuk!