Rafi Azzamy sebaiknya bicara makin lantang, dan kalian orang tua sok sinis sebaiknya diam saja
Stigma SMK yang dianggap sekolah buangan pernah diselamatkan oleh dua presiden. Pertama adalah SBY dengan jargon “SMK bisa!” berikut ajakan untuk bersekolah di SMK. Kedua adalah Jokowi dengan mimpi mobil Esemka. Tapi saya tidak ingin membahas keduanya. Lha wong semua berakhir menyedihkan!
Yang ingin saya bahas adalah bangkitnya SMK sebagai perlawanan terhadap sistem. Lebih tepatnya, siswa SMK. Terdengar ndakik-ndakik, dan memang sengaja saya hiperbola-kan. Tapi sungguh, ekosistem pendidikan kejuruan ini mulai melihatkan taringnya. Bukan taring saat liga futsal, tapi taring untuk melawan hierarki sosial.
Salah satu yang paling baru adalah kritik seorang siswa SMK terhadap model kedisiplinan sekolah. Dalam video dari akun Twitter @omongomongcom, seorang siswa SMK, Rafi Azzamy, berdiskusi bersama pengarang Okky Madasari. Dalam video yang viral ini, Mas Rafi mempertanyakan mengapa kedisiplinan dalam sekolah menjadi dogma utama. Menurutnya, kedisiplinan ini hanyalah ilusi relasi sosial.
Anda bisa menonton langsung video ini untuk detailnya. Karena saya tidak akan membahas isi kritik Mas Rafi. Minimal, saya sepakat 100% dengan argumennya. Yang ingin saya bicarakan adalah bagaimana antitesis dari tesis Mas Rafi ini. Sayangnya, kebanyakan ad hominem.
Banyak yang mengkritik Mas Rafi Azzamy sebagai pemuda keblinger. Para penghujat ini memandang Mas Rafi hanyalah siswa pemalas yang tidak mau diatur. Beberapa juga menilai Mas Rafi terpapar ide filsafat kiri. Sisanya sih setuju, tapi dengan berbagai syarat & ketentuan. Entah mengingatkan Mas Rafi untuk lebih giat sekolah, atau menggunakan cara bersuara yang lebih sopan.
Bentar. Apa-apa yang kritis kok dianggap terpapar kiri. Apa-apa kok kiri, situ belokan?
Dari dulu, ketika ada pemuda mengeluarkan kritik, para “orang dewasa” kerap menganggap kritikan mereka seolah pepesan kosong. Cara pandang “orang dewasa” dipakai, tanpa memberi ruang bagaimana pemuda berpikir.
Padahal, mereka sendiri pernah muda, beda, dan berbahaya. Mereka tahu bahwa di umuran tersebut, mereka pernah menantang dunia. Idealisme yang (pernah) ada, entah kenapa, terkikis begitu mudah dan meminta yang lain ikut berkompromi.
Padahal, pemuda macam Mas Rafi Azzamy lebih relevan terhadap situasi dunia hari ini. Kelompok ini lebih lentur untuk mengikuti tren, isu, dan interaksi sosial terkini. Sedangkan kelompok yang lebih tua sering terbentur kebiasaan masa lampau mereka. Yah contoh saja, masih memandang main game hanya membuat bodoh. Padahal generasi senior sering dibodohi judi online dan burung kicauan.
Apabila yang melarang pemuda untuk bersuara adalah usia, ini jelas goblok. Usia mereka telah cukup matang untuk berpikir kritis. Dan mereka telah menerima dogma serta menghidupi moral masyarakat. Mereka tidak lebih bodoh hanya karena belum merasakan hidup generasi yang lebih tua. Lagipula, kalau adu nasib dengan baby boomer tentang sekolah, siapa juga yang mau hidup susah?
Selama landasan argumen mereka jelas, justru anak SMA dan SMK lebih pantas berargumen. Setidaknya, mereka tidak membawa argumen “kalau zamanku dulu” seperti para boomer tadi. Justru dengan mengedepankan usia serta pengalaman hidup, para generasi tua ini lebih mengedepankan emosional daripada logika.
Lagipula, apakah salah seorang pemuda mengkritik sistem pendidikan yang dijalani? Justru orang seperti Mas Rafi Azzamy adalah sosok paling tepat untuk mengkritik. Ia, dan siswa-siswi lain, berada dan terjebak dalam sistem pendidikan. Mereka yang menjadi end user dari suntikan dogma serta ide yang tertulis di kurikulum. Kalau orang tua mau menyalahkan siswa yang kritis, lha wong mereka saja sudah lupa aljabar dan algoritma.
Selama ini anak muda, apalagi di bawah 20 tahun, selalu disetir kelompok boomer. Dari cara berpakaian, potongan rambut, sampai cara berpikir. Ketika anak muda melawan, mereka dicerca dengan senjata usia. Pokoknya anak muda itu goblok dan harus nurut boomer agar memahami dunia. Ini bukan pendidikan. Ini adalah pemaksaan dogma.
Dalam sastra anak, hal yang kerap kali dibicarakan adalah bagaimana orang tua, kerap memandang anak tak memiliki kemampuan berpikir sendiri, dan begitu bergantung pada orang tua. Dan ini jelas keliru. Anak kecil dan pemuda punya cara pandang sendiri yang sesuai dengan zaman. Mas Rafi Azzamy adalah contoh: ia melihat, ia mengalami, ia jadi saksi. Kita-kita yang sudah terlanjur dihajar KPR, cicilan, dan token listrik yang berbunyi menyerahkan harapan pada Mas Rafi dkk.
Sudah waktunya generasi muda membawa nafas baru: komunikasi kritis tanpa paksaan dogma yang tak penting. Jika urusannya adalah saling menghargai dalam argumen, ini perlu ditularkan antargenerasi. Tapi, kalau membanggakan umur sebagai kekuatan argumen, silahkan anda mengubur kepala sambil berkata, “Anak kecil jangan bacot!”
Silakan teman-teman membenci pemikiran kolot. Silahkan teman-teman demo menolak usulan hukum para boomer di pemerintahan. Teman-teman bukan makhluk kelas dua yang harus patuh 100% pada yang lebih tua. Kalau mereka memang luput dan pekok, ya teman-teman berhak menegur. Berdirilah sejajar dengan Rafi Azzamy dkk.
Tapi perlu diingat, landasan berpikir juga harus jelas. Kalau tujuan kritik hanya demi viral, akan sama saja dengan para boomer. Mending kalau cuma mau viral, silahkan pargoy atau bikin konten gaming. Aman dan ra resiko. Tapi kalau anda muak dengan model relasi sosial tua-muda, Anda berhak dan bebas bersuara membangkang.
Kita-kita yang sudah tua ini, sudahlah nggak usah pesimis dan sok sinis. Kalau Anda merasa idealis bikin nggak bisa hidup di realitas, ya monggo. Situ yang kehilangan semangat, kok ngajak-ngajak lainnya.
“Kalau sudah lulus kuliah/masuk dunia kerja, nanti idealismemu juga bakal luntur.”
Eit, situ yang kehilangan integritas, kenapa bawa-bawa orang lain?
— Bagus Panuntun (@aribgspanuntun) July 10, 2022
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tidak Ada Batman di Babarsari Gotham City