Bu Megawati, beberapa saat yang lalu, mengeluarkan kalimat yang bikin seluruh Indonesia (kayaknya) dan saya berpikir keras.
“Nanti suatu saat kalau aku udah ndak ada, terus piye yo? Gimana yo?”
Setelahnya saya pun kantep pikir. Saya merenung selama satu jam lebih, tidak bisa membayangkan kondisi Indonesia tanpa beliau yang amat berjasa untuk negara ini.
Ini perkara serius lho. Nggak berlebihan kalau ada yang menganggap blio ini adalah wajah negara ini. Ha wong blio sampe ngeluarin kalimat tersebut, artinya blio tahu bahwa blio ini penting banget buat Indonesia.
Agar paham duduk perkaranya, kita bicarakan dulu konteksnya. Kata-kata itu berawal dari konteks negara ini terlalu nyaman. Apa maksud terminologi nyaman yang dimaksud oleh Bu Mega? Tak lain adalah negeri ini terlalu berkiblat kepada Barat. Beliau juga berkata, “Masa kita mau ngikutnya ke barat mulu loh, dari sisi budaya seni, yang namanya Timur itu luar biasa sekali.”
Saya bingung dengan pendapat beliau. Selain nggak nyambung, beliau tiba-tiba ngomongin Barat, dan mengaitkannya dari segi budaya dan seni. Tapi, nggak apa-apa, dimaklumi saja. Cuman, saya kok merasa tergelitik ketika beliau bahas Barat. Barat di mata penduduk Indonesia itu sudah B aja.
Pandangan orang Indonesia selalu berkiblat ke Barat itu sudah amat usang. Barat dan Timur, masalah seni dan budaya, sudah bukan lagi bahasan yang seksi. Orang dengerin ini aja males. Saya baca aja males sebenarnya.
Mungkin karena Bu Mega sibuk ngurus negara (padahal entah kedudukannya apa), jadi ketinggalan pergerakan pola konsumsi masyarakat Indonesia belakangan ini. Tapi tidak apa-apa. Apa pun yang disabdakan oleh beliau, adalah mutlak kebenaran. Itu aturan main pertama, dalam hal mengikuti pola pikir ibu-ibu. Kita sama-sama tahu, ibu-ibu adalah ras terkuat di bumi selain Eldia.
Padahal sebenarnya ya, Bu Mega, tidak ngurus negara di usia senja seperti ini pun tidak apa, lho.
Oke, kita ke pembahasan utama, apa jadinya bangsa ini tanpa adanya Bu Mega? Wah, saya sih tidak bisa membayangkan. Pasti Indonesia jadi negara yang kehilangan identitasnya. Karena kalau bicara Indonesia, ya Megawati. Pun kalau membicarakan Megawati, ya pasti Indonesia sekali. Tidak ada di negeri ini yang lebih merah putih ketimbang Megawati dan sanak famili.
Tanpa Megawati, saya membayangkan Koes Plus tidak akan menciptakan lirik tongkat dan batu jadi tanaman karena negeri ini bakalan kering kerontang. Tidak ada angin semilir yang berhembus di pedesaan karena negeri ini menjadi pucat pasi. Indonesia bisa maju seperti saat ini, ya karena keringat yang diperas oleh Bu Mega itu sendiri.
Yang di atas amat hiperbolis. Namun yang di bawah ini lumayan serius.
Gus Dur pernah bilang dalam acara Kick Andy yang dipandu Andy F. Noya pada 15 November 2007, yang pastinya bakal menjadi hal yang selalu diperbincangkan. Andy F. Noya mulanya bertanya, “Upaya mencopot Anda, siapa orang yang paling bertanggung jawab atas pencopotan tersebut, menurut Anda?”
Lantas Gus Dur menjawab, “Dua. Amien Rais dan Megawati.” Ketika ditanya alasan, Gus Dur tetaplah Gus Dur, jawabannya menggelitik; Tanya sana dong, kok tanya saya.
Mari kita bayangkan Indonesia tanpa Megawati, maka Gus Dur tetap ada di dalam tampuk kuasa. Bayangkan saja negeri ini dipimpin oleh Gus Dur, pasti Indonesia akan menjadi negara yang beradab dan toleransi bukan barang langka lagi. Indonesia jadi negeri yang bertoleransi tinggi? Ngeri, kan?
Memangnya Indonesia siap untuk jadi negara yang maju seperti itu? Kan, belum. Indonesia masih terlalu cepat dua ratus tahun untuk jadi negara maju dan mendapatkan pemimpin sekaliber Gus Dur.
Saya tidak bisa membayangkan jika seluruh penduduk Indonesia berpikiran maju dan kritis. Pembangunan tempat ibadah dipermudah. Tidak ada tensi emosi ketika membahas agama besar dan kritiknya untuk hidup di lingkungan. Semua saling gotong royong tanpa ada kekerasan berbasis agama. Duh, saya bayanginnya aja ngeri. Hidup rukun dalam suasana plural, kayaknya bukan Indonesia banget.
Tanpa Megawati, artinya kita kehilangan drama sekelas opera sabun dalam pentas gelanggang politik di Indonesia. Pak SBY itu awalnya menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolkam) di Kabinet Gotong Royong pimpinan Bu Mega. Sejak saat itu, kondisi makin seru.
Pengangkatan ini dipertanyakan karena Pak SBY, dianggap bahwa beliau terlibat dalam tragedi Kuda Tuli yang menghancurkan Kantor DPP PDI—sebelum jadi PDI—pada masa Orde Baru. Pun SBY adalah menantu Sarwo Edhie Wibowo yang dianggap bersebrangan dengan Presiden Soekarno di era Orde Lama.
Apa jawaban Bu Mega? Dramatis sekali. Ia mengedepankan rekonsiliasi nasional. Katanya, dilansir dari Kompas yang diteruskan dari Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, “Saya mengangkat Pak SBY sebagai Menkopolkam bukan karena menantu Pak Sarwo Edhie. Saya angkat karena dia TNI.” Lantas SBY mundur dari jabatan itu, satu bulan sebelum Pilpres 2004.
Hasilnya seperti yang sudah kita lihat, dalam dua kali one-on-one, Bu Mega kalah melawan Pak SBY. Kalau boleh berpendapat, secara tidak langsung sih Bu Mega sendiri yang mengorbit nama Pak SBY di pentas politik Indonesia. Bayangkan kalau Bu Mega tidak ada, maka Pak SBY juga tidak ada.
Artinya, kita tidak bisa disuguhi drama sekelas sinetron layar kaca dalam kontestasi politik di Indonesia. Bu Mega bukan hanya membuat Indonesia jadi negara yang seru, namun juga menambah bumbu hiburan bagi politik yang lama-lama jadi pelik ini.
Bu Mega memang patut khawatir semisal beliau tidak ada, mau jadi apa bangsa ini. Karena saya tidak siap Indonesia menjadi maju. Mau bagaimana pun, dalam tahap ini, berkat yang terhormat Bu Mega bertahan menjadi leluhur bangsa Indonesia secara abadi, kita masih disuguhi kelucuan wajah para pejabat di baliho-baliho menyerupai sampah visual. Alih-alih seperti negara maju lain yang para pemimpinnya unjuk kebolehan memaparkan strategi untuk kemajuan bangsa via esai dan karya ilmiah.
Tapi, lagi-lagi, jan-jane, Bu Mega, jenengan tidak ngurus negara pun nggak apa-apa lho, Bu.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Memahami Isi Pikiran Ibu Kita, Megawati