Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Bali Desa Mbangun Desa: Diminta Membantu, Realitasnya Perbudakan Gaya Baru

Jevi Adhi Nugraha oleh Jevi Adhi Nugraha
10 Oktober 2022
A A
Bali Desa Mbangun Desa: Diminta Membantu, Realitasnya Perbudakan Gaya Baru

Bali Desa Mbangun Desa: Diminta Membantu, Realitasnya Perbudakan Gaya Baru (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Bali desa, mbangun desa. Jargon legendaris yang sampai saat ini masih tetap eksis di berbagai daerah, terutama di ruang lingkup pedesaan masyarakat Jawa. Saya sendiri pertama kali mendengar jargon monumental itu ketika lulus SMA atau tepatnya saat mau masuk ke perguruan tinggi.

“Sesok nek wis lulus lan dadi wong pinter, aja lali bali ndesa, ya, Le. Desane awake dewe butuh wong-wong kaya kowe (Besok kalau sudah jadi orang pintar, jangan lupa balik ke kampung. Kampung kita butuh sosok sepertimu),” begitu kata salah seorang tokoh di desa menasihati.

Saya kira semua orang yang tinggal di daerah pernah mendengar atau setidaknya melihat jargon “bali desa, mbangun desa” di baliho jalan raya. Sederhananya, jargon ini “menyuruh” para kaum akademis kembali ke kampung halaman untuk membangun dan mendayagunakan sumber daya yang ada di desa. Kurangnya kaum intelek di pedesaan, membuat pemerintah setempat berharap agar orang-orang yang tengah belajar di kota nantinya ketika sudah lulus mau menetap desa dan ikut berkontribusi di masyarakat.

Dulu, sewaktu masih duduk di bangku kuliah dan ngekos di Kota Jogja, nggak jarang saya disuruh pulang oleh pemerintah setempat untuk turut serta dalam berbagai kegiatan yang ada. Bahkan, saya pernah dimintai pendapat perihal bagaimana cara mengelola potensi alam yang ada di sekitar agar bisa jadi tempat wisata dengan tujuan meningkatkan taraf ekonomi warga. Wah, saya benar-benar berguna bagi bangsa dan negara ternyata, pikir saya waktu itu.

Setelah lulus kuliah, saya beneran tinggal di desa dong. Awalnya memang sempat ngekos di Jogja beberapa bulan karena urusan pekerjaan. Tapi, sejak pandemi membabi buta, saya memilih kerja model WFH dan numpang hidup di rumah orang tua.

Menjalani WFH dan tinggal di pelosok desa itu nggak mudah, lho. Bukan cuma dikira pelihara tuyul saja sama masyarakat, tapi ketika di kampung ada kerja bakti, hajatan, layatan, hingga rapat RW, kita terpaksa harus ikut kegiatan itu meski setumpuk pekerjaan kantor di depan mata. Simalakama, kalau tetap ikut kegiatan pasti kerjaan nggak selesai dan diomelin atasan. Tapi, kalau nggak ikut kegiatan di masyarakat, terancam hajatan di rumah saya nanti sepi dan “dilemahke putih” (baca: nggak dianggap sebagai warga). Jreeet!

Sialnya lagi, ketika pemerintah desa menggelar acara-acara tahunan, kayak lomba desa, gelar potensi budaya tingkat kabupaten, hingga pawai Agustusan, saya tetap diminta berkontribusi dalam kegiatan itu. Nggak cuma jadi pelaku saja, tapi pemain inti, yang merumuskan kegiatan dan memastikan semuanya berjalan dengan lancar hingga paripurna.

Setelah semua kegiatan selesai dan sukses digelar, apa yang terjadi? Yap, betul, pemerintah setempat senyum sumringah, terlebih ketika dapat juara, pesta pora dong! Sementara, saya yang sudah rela dimarahin atasan di kantor demi “desa”, cuma dapat rasa lelah dan akhirnya dilupakan begitu saja. Jangankan digaji besar, ha wong dapat apresiasi saja tidak. Oh, gini…

Baca Juga:

4 Hal Menjengkelkan yang Saya Alami Saat Kuliah di UPN Veteran Jakarta Kampus Pondok Labu

4 Dosa Pemilik Jasa Laundry yang Merugikan Banyak Pihak

Berawal dari sinilah, saya jadi semakin tahu salah satu alasan kenapa banyak kaum akademis yang tetap memilih kerja, menetap di kota, dan jarang pulang ke kampung halaman. Saya kira, mereka (baca: kaum akademisi) bukannya nggak peduli sama keadaan di desa, tapi lebih karena sistem pemerintah setempatlah yang acap kali kurang menghargai, mengapresiasi, dan blas nggak ngasih tukon rokok sama orang yang sudah rela “bali desa, mbangun desa”. Ini biang keroknya.

Ya, nggak sedikit aparatur setempat yang masih berpikir para lulusan sarjana dan magister ini mau dibayar murah untuk membangun desa (((Matanee))). Ironisnya lagi, orang yang berpikiran kayak gitu biasanya justru malah orang yang punya gaji gede tanpa kontribusi nyata. Saya menduga, bahwa saat ini jargon “bali desa, mbangun desa” dijadikan alat pemerintah setempat untuk “memanfaatkan” kaum akademis agar mau membantu program-programnya dengan upah minim atau bahkan tidak sama sekali.

Lho, bukannya itu sudah jadi tanggung jawab setiap warga negara untuk membangun desa bersama-sama? Katanya akademisi, kok pamrih sih? Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu dong, tapi tanyalah apa yang sudah kamu berikan kepada negara, bukankah begitu?

Dobol!

Kalau sampai pertanyaan dan statement di atas keluar, wis lah, mending ayo baku hantam saja! Mbok pikir bapak, ibuku, nguliahke aku ora nganggo ragat? Dibela-belain jual pohon jati, sapi, kambing, dan gadai BPKB motor, lho, demi anaknya meraih gelar sarjana supaya hidup layak, lha kok disuruh mengabdi sama orang yang mentingin perutnya sendiri, nir-apresiasi. Apa gunanya kuliah kalau cuma mau dijadikan alat dan dibodohi aparatur setempat? Mending turu, Lik, ra risiko!

Maksud saya begini, gembar-gembor “bali desa, mbangun desa” tentu sah-sah saja, nggak ada yang melarang. Tapi, jargon ini juga harus dibarengi dengan tindakan dan kebijakan pemerintah setempat yang adil dong. Sudah seharusnya orang-orang yang “bali desa, mbangun desa” mendapat tempat dan hidup layak. Terlebih buat mereka yang tinggal di Yogyakarta (baca: DIY), kan punya Dana Keistimewaan tuh, daripada buat ngecet Tugu Pal Putih, mending dipakai buat tukon rokok kaum akademis yang rela tinggal di pelosok desa dan memperjuangkan nasib warga kampung dari serakahnya para pejabat korup di lingkungan masyarakat. Jelas, tepat sasaran, dan akurat.

Kalau pemerintah setempat masih gitu-gitu saja dan manut udele dewe, daripada bali desa mbangun desa, mending pergi ke kota, nanti kalau pulang kampung.. pamer harta! Yo ra?

Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Rumah di Desa, Terpencil, dan Jauh dari Tetangga Memang Menyiksa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

Terakhir diperbarui pada 10 Oktober 2022 oleh

Tags: bali desa mbangun desakaum intelekMahasiswaperbudakanupah
Jevi Adhi Nugraha

Jevi Adhi Nugraha

Lulusan S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berdomisili di Gunungkidul.

ArtikelTerkait

Wahai Bapak Ibu Dosen, Kenapa Sering Sekali Mengganti Jam Kuliah Online Sih? terminal mojok.co

Bapak dan Ibu Dosen, Anjuran Kampus Itu Kuliah Online Bukan Ngasih Tugas

27 Maret 2020

Tolong, Jangan Suuzan sama Mahasiswa yang Ngerjain Skripsi di Coffee Shop

1 Juni 2021
4 Hal Nggak Enaknya Jadi Mahasiswa Unpad terminal mojok

4 Hal Nggak Enaknya Jadi Mahasiswa Unpad

26 November 2021
presentasi mahasiswa

Terberkatilah Para Tukang Presentasi Tugas Kuliah Snob

12 Mei 2019
Membayangkan Seandainya Saya Jadi Mahasiswanya Dian Sastrowardoyo

Seandainya Saya Jadi Mahasiswanya Dian Sastrowardoyo

13 Mei 2023
Ngumpulin Sumbangan Bencana Alam kok Ngedarin Kardus di Lampu Merah. Kreatif, dong! terminal mojok.co

Gelar Aktivis Bukan Buat Gaya-Gayaan

12 Mei 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting Mojok

6 Hal Sepele, tapi Menyebalkan Saat Zoom Meeting

30 November 2025
8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah (Unsplash)

8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah

3 Desember 2025
Feeder Batik Solo Trans, Angkutan yang Bikin Iri Orang Magelang Mojok.co

Feeder Batik Solo Trans, Angkutan yang Bikin Iri Orang Magelang

2 Desember 2025
Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

Alasan Orang Solo Lebih Hafal Jalan Tikus daripada Jalan Utama

30 November 2025
Alasan Saya Bertahan dengan Mesin Cuci 2 Tabung di Tengah Gempuran Mesin Cuci yang Lebih Modern Mojok.co

Alasan Saya Bertahan dengan Mesin Cuci 2 Tabung di Tengah Gempuran Mesin Cuci yang Lebih Modern 

5 Desember 2025
Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.