Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup Personality

Orang Tua yang Membebaskan Anaknya dalam Berkeyakinan Adalah Sebenar-benarnya Anugerah

Aly Reza oleh Aly Reza
21 Oktober 2020
A A
Enaknya Punya Orang Tua yang Membebaskan Anaknya dalam Berkeyakinan terminal mojok.co

Enaknya Punya Orang Tua yang Membebaskan Anaknya dalam Berkeyakinan terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Saya awalnya memang agak ragu buat nunjukin jalan saya ke orang tua. Eh, pas tahu reaksinya, ternyata asyik juga ya punya orang tua yang nggak monopolistik. Apalagi ini urusan keyakinan, loh.

Sebetulnya bisa dibilang keluarga saya adalah jenis keluarga yang cukup religius. Ibu saya lulusan pesantren, abdi dalem pula. Ya, sudah nggak perlu saya jelasin betapa kultur santri masih sangat kental dalam dirinya. Sementara bapak saya, walaupun nggak memiliki latar belakang pendidikan yang jelas, tapi dalam konteks keagamaan belio ini layak buat disebut sebagai umat yang taat.

Bukan maksud pamer, tapi bapak ini adalah orang yang selalu mencoba istikamah dalam urusan salat tepat waktu. Kalau sudah denger azan, sudah nggak bakal nunda-nunda lagi ngambil air wudu. Belio juga punya kebiasaan ziarah ke makam tokoh-tokoh ulama. Dan di lingkungan seperti itulah saya tumbuh dan belajar.

Sedari kecil, sudah kerasa banget sebenernya kalau orang tua saya nyoba ngarahin saya buat jangan sampai melenceng jauh dari jalan yang mereka ambil. Alias, saya harus tumbuh jadi orang agamis, paham syariat, dan hidup dengan siklus yang cenderung lurus.

Buat merealisasikan itu semua, pola pendidikan agama saya bisa dibilang cukup ketat sama orang tua. Dari SD saya dikontrol betul buat ngaji di madrasah dan TPQ desa. Ketahuan bolos, wah bisa disabet gagang sapu sambil diomelin semalem suntuk.

Untuk memperdalam wawasan keagamaan saya—dan mungkin juga meningkatkan kesalehan saya—sedari SMP saya sudah dikirim dan mendekam di pesantren sampai lulus SMA.

Nggak hanya itu, dalam urusan berteman pun mereka mewanti-wanti agar saya selektif. Hanya bergaul sama orang-orang yang hidupnya lurus dan menjauhi orang-orang yang kena stigma brandal, nggak bener, dan sejenisnya.

Di masa-masa itu memang sih saya cukup patuh dengan batasan-batasan tersebut. Eh makin lama, seiring dengan proses perjalanan spiritual, saya akhirnya memutuskan buat meninggalkan semua itu, memilih jalan saya sendiri, jalan yang juga saya yakini sama benernya kok dengan jalan yang diambil oleh kedua orang tua saya.

Baca Juga:

Curhatan Santri: Kami Juga Manusia, Jangan Memasang Ekspektasi Ketinggian

Jika Tuhan Mahakuasa, Kenapa Manusia Menderita? oleh Ulil Abshar Abdalla: Sekumpulan Esai Memahami Akidah Islam

Jadi gini, dalam hal spiritual, saya adalah orang yang skeptis. Satu-satunya yang saya yakini dalam konteks beragama cuma satu, yaitu bahwa Tuhan itu bener-bener ada. Sudah titik. Selebihnya saya jadi orang yang cenderung peragu.

Masa-masa nyantri dulu, secara lahir memang saya jalani praktik atau ritual apa pun yang katanya itu bisa mendekatkan diri dengan Tuhan. Yang katanya juga sudah sesuai dengan syariat. Ya ngaji (kitab kuning dan Al-Quran), salat, ngerjain amalan-amalan sunah, dan hal-hal agamis lainnya.

Namun, alih-alih membuat saya merasa dekat dengan Tuhan, semua itu justru membuat saya merasa asing banget dengan Tuhan. Hati saya rasanya kosong dan malah cenderung nggak menemukan ketenangan sama sekali. Saya mulai ngerasa bahwa dogma-dogma yang dijejalkan di kepala saya nggak lebih dari sebuah upaya memonopoli kebenaran sepihak. Kasarnya gitu, sih.

Ada banyak keresahan, tapi beberapa saja coba saya kasih tahu.

Pertama, soal berteman dengan orang saleh tadi. Setelah saya renungkan, fiks saya memutuskan buat nggak setuju.

Maksud saya gini, orang itu kan macem-macem ya karakter dan sifatnya. Wong dalam Al-Quran juga disebut kok kalau manusia itu diciptakan dengan beragam. Terlebih, kita juga nggak bisa menjudge seseorang hanya dari tampilan luarnya. Jelas juga dalilnya kalau manusia itu sama. Yang membedakan cuma tingkat ketakwaannya. Sementara takwa itu letaknya di hati, kita mana tahu?

Maka itu bukan tugas kita buat menilai. Tugas kita sesama makhluk Tuhan ya saling bersosialisasi saja. Sebatas antara makhluk dengan makhluk. Kalau urusan situ bener atau nggak, salah atau nggak, ya itu sudah wilayah Tuhan. Manusia sudah nggak berhak ikut-ikutan. Akhirnya saya mutusin buat meninggalkan prinsip yang bertahun-tahun saya pegang tersebut untuk mengambil jalan saya sendiri: berteman dengan siapa saja, tanpa pandang bulu.

Kedua, agak general sedikit, tapi lambat laun saya menyadari bahwa jalan menuju Tuhan itu nggak cuma satu. Oke, Tuhan itu cuma satu, tapi cara atau jalan buat sampai/dekat ke Dia ada macem-macem. Dan orang-orang berhak menentukan jalan mana yang dia pilih, yang sekiranya bikin dia nyaman.

Analogi sederhananya, Jakarta itu satu. Namun, alternatif rutenya kan ada banyak. Dan kita nggak bisa maksain dong biar orang lain ngambil rute yang sama kayak kita?

Dari situ kemudian saya menyimpulkan bahwa buat deket ke Tuhan nggak harus dengan jalan yang agamis-dogmatis. Pastinya bisa dengan cara lain. Lebih-lebih, dulu itu saya punya keanehan. Saya ini santri, orang Islam, tapi kok nggak pernah bisa khusyuk kalau lagi baca atau denger ayat suci.

Padahal orang-orang bisa, loh, sampai nangis-nangis gitu. Sementara menurut pak kiai, orang nggak bergetar atau terenyuh hatinya tiap baca atau diperdengarkan dengan ayat suci, berarti dia adalah orang yang jauh dari Tuhan.

Wah, enak saja. Ayat suci kan nggak cuma satu? Pikir saya waktu itu.

Dan bener saja. Saya memang nggak bisa khusyuk dengan hal-hal berbau agamis kayak gitu. Tapi anehnya, tiap saya denger lantunan tembang-tembang Jawa, saya kok malah bisa khusyuk, ya? Singkat cerita, akhirnya saya memilih jalan saya sendiri dalam dunia mistik-kejawen.

Semula saya mengira orang tua saya bakal kecewa dengan jalan yang saya pilih.  Sebab anak yang mereka proyeksikan bisa menegakkan syariat (sesuai yang mereka lakukan) eh malah melenceng jauh jadi tukang nembang dan semedi. Ngajinya juga sudah bukan ngaji kitab berbahasa Arab, tapi malah dari ajaran-ajaran Jawa kuna. Padahal enam tahun saya habiskan waktu saya di pesantren.

Namun, dugaan saya keliru (setidaknya begitulah yang tampak). Kedua orang tua saya malah memberi kedaulatan penuh agar saya menjalani apa yang kini saya yakini, meski agak berbeda dengan apa yang mereka imani. Mereka bilang nggak ada masalah dengan itu, wong Tuhannya juga tetep satu, kok.

“Ibarat kami dulu cuma ngenalin kamu sama teh. Tapi, beranjak dewasa, kalau kamu merasa ternyata kopi jauh lebih mantep dari teh, ya itu sudah jadi hak kamu, Le,” begitu kata ibu. “Dulu kami cuma ngasih tahu kalau jalan ini bisa nganterin kamu ke Tuhan. Tapi, kalau akhirnya ada jalan lain yang menurut kamu lebih nyaman, ya itu sudah hak kamu buat milih jalan yang mana.”

Saya awalnya memang agak ragu buat nunjukin jalan saya ke orang tua. Eh, pas tahu reaksinya, ternyata asyik juga ya punya orang tua yang nggak monopolistik. Apalagi ini urusan keyakinan, loh.

Saya jadi kepikiran, jika di dunia ini nggak ada monopoli kebenaran dan keyakinan, kayaknya hidup jadi bakal gayeng, deh. Nggak ada intoleransi, apalagi sampai terorisme. Namun, nggak tahu juga sih, kalau masih tetep ada Omnibus Law.

BACA JUGA Adipati Wirabraja dan Adipati Wiranegara, Inisiator Islamisasi Lasem yang Terlupakan dan tulisan Aly Reza lainnya.

Baca Juga:  Logika New Normal Jelas Nggak Cocok sama Kehidupan Pesantren, Titik!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 14 November 2021 oleh

Tags: agamaKeyakinan
Aly Reza

Aly Reza

Muchamad Aly Reza, kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Penulis lepas. Bisa disapa di IG: aly_reza16 atau Email: [email protected]

ArtikelTerkait

Saya Menyayangkan Video Reaksi Gus Miftah yang Menegur Ustaz Maheer di YouTube terminal mojok.co

Saya Menyayangkan Video Reaksi Gus Miftah yang Menegur Ustaz Maheer di YouTube

25 November 2020
Kata Sains Ruh, Jin, dan Tuhan Itu Tidak Ada

Kata Sains, Ruh, Jin, dan Tuhan Itu Tidak Ada

30 November 2019
intoleransi

Intoleransi dan Betapa Ngerinya Ujaran Kebencian

3 September 2019
Sebuah Analisis Serius: Apa Sebetulnya Agama Naruto? terminal mojok.co

Sebuah Analisis Serius: Apa Sebetulnya Agama Naruto?

7 Desember 2020
rasisme

Tidak Ada Tempat Bagi Rasisme di Dunia Ini, Sekalipun Dalam Sepak Bola

5 September 2019
Para Penyembah Tembok dan Konsep Agama dalam 'Attack on Titan' terminal mojok.co

Para Penyembah Tembok dan Konsep Agama dalam ‘Attack on Titan’

26 Februari 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

8 Aturan Tak Tertulis Tinggal Surabaya (Unsplash)

8 Aturan Tak Tertulis di Surabaya yang Wajib Kalian Tahu Sebelum Datang ke Sana

1 Desember 2025
Sebagai Warga Pemalang yang Baru Pulang dari Luar Negeri, Saya Ikut Senang Stasiun Pemalang Kini Punya Area Parkir yang Layak

Sebagai Warga Pemalang yang Baru Pulang dari Luar Negeri, Saya Ikut Senang Stasiun Pemalang Kini Punya Area Parkir yang Layak

29 November 2025
Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang (Unsplash)

Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang dengan Pesona yang Membuat Saya Betah

4 Desember 2025
Suzuki Karimun Wagon R Boleh Mati, tapi Ia Mati Terhormat

Suzuki Karimun Wagon R Boleh Mati, tapi Ia Mati Terhormat

1 Desember 2025
3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025
5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru Mojok.co

5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru

2 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.