Alih-alih takut dan kapok, di Lorong Waktu episode 3 ini Zidan malah ketagihan bertualang pakai mesin mesin waktu.
“Ini namanya habis manis sepah dibuang,” protes Zidan
“Bukan begitu,” sanggah Ustad Addin.
“Buktinya Zidan nggak boleh ikutan jalan-jalan lagi,”
“Eh, Dan… Dan… Dan, lu itu bukan diajak jalan-jalan, bukan. Lu itu kebawa. Ngikut. Jadi nggak sengaja,” protes Haji Husin.
“Biar nggak sengaja, tapi kan Zidan sudah berjasa sebagai kelinci percobaan yang baik.”
Mereka bertiga lalu berdebat keras soal Zidan boleh ikut lagi apa nggak. Satu lawan dua, Zidan lawan Haji Husin dan Ustad Addin, nyatanya Zidan yang menang. Soalnya Haji Husin sakit kepala disamberin Zidan mulu. Akhirnya mereka sepakat, Zidan boleh ikut dengan alasan “demi pendidikan”.
“Tapi gue musti ngingetin lu nih, lu musti bisa pegang rahasia, pegang amanah, jangan khianat. Ye?” Haji Husin ngasih syarat ke Zidan.
Mereka lalu bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Setelah Ustad Addin menekan tombol enter di komputernya, tidak lama kemudian Haji Husin dan Zidan mendarat di sebuah taman. Haji Husin mendarat di perosotan, Zidan mendarat di mangkuk putar. Haji Husin ngoceh, Zidan kegirangan.
Dari taman, kita kemudian diajak melihat penjual durian. Ada Mang Amin dan Go’is. Durian yang baru saja diatur oleh Go’is diprotes kemudian diatur ulang oleh Mang Amin.
“Mang, Mang, Mang. Mang Amin, kenapa dibongkar lagi durennya, Mang? Ini memang saya ngaturnya kurang rapi ya, Mang?” tanya Go’is.
“Ngatur lu kelewat rapi, jadi duren-duren yang jelek kagak kelihatan,” terang Mang Amin
“Ya, maksudnya biar yang jelek-jelek, nanti biar laku juga gitu, Mang,” Go’is membela diri.
“Bukan begitu cara mamangmu dagang, Is. Pembeli harus dikasih tahu mana duren yang bagus, mana duren yang jelek. Ini amanat, Is, dari Allah. Harus kita pegang teguh,” Mang Amin menjelaskan.
Haji Husin dan Zidan datang hendak membeli durian. Go’is berusaha menipu Haji Husin, tetapi dicegah oleh Mang Amin. Tapi Mang Amin dan Go’is merasa heran karena durian itu dibeli untuk buka puasa. Soalnya di dunia mereka, Haji Husin dan Zidan sedang dalam masa Ramadan, sementara di tempat yang mereka datangi saat itu puasa Ramadan masih enam bulan lagi.
Sementara Haji Husin sibuk dengan urusan durian, di tempat Ustad Addin tiba-tiba terjadi mati listrik. Paniklah dia.
Balik lagi ke urusan perdurianan. Mang Amin pamit salat, sementara Go’is diminta jaga dagangan. Haji Husin dan Zidan nongkrong di depan kios tempat jualannya Mang Amin.
“Eleh… eleh, bagaimana mau untung besar kalau dagangnya seperti Mang Amin. Jangan disamain sama nabi dong!” Go’is ngomong sendiri.
“Nabi kan juga pedagang, Bang. Tapi pedagang yang jujur,” sahut Zidan.
“Eh, kamu tuh anak kecil, tidak tahu apa-apa,” Go’is tampak kesal.
Tak lama kemudian seorang perempuan bernama Bu Ali mendatangi tempat jualan Mang Amin dan Go’is. Sama seperti Haji Husin, Bu Ali juga awam soal durian. Celah itu dipakai Go’is untuk membohongi Bu Ali. Sudah dikasih durian jelek, harganya pun dinaikkan. Zidan yang melihat kejadian itu langsung nimbrung tanpa diminta, wqwqwq.
“Jangan mau, Bu. Harganya 10 ribu, dijual 20 ribu. Mau dagang apa mau ngerampok? Nggak salah apa ini?” tanya Zidan. Go’is lagi-lagi dibuat kesal.
“Pak Haji, saya minta tolong sekali lagi, kasih tahu cucunya, ini bukan urusan dia,” Go’is meminta pada Haji Husin.
Bu Ali yang percaya pada kualitas durian dagangan Mang Amin percaya-percaya saja pada omongan Go’is. Dalam perjalanan pulang, Bu Ali melewati masjid tempat Mang Amin salat. Mang Amin yang baru keluar kaget melihat durian yang dibawa Bu Ali. Sesampainya di tempat jualan, ia memarahi Go’is. Durian jelek yang dibeli Bu Ali dibanting di hadapan Go’is. Sebagai hukuman, Go’is disuruh membawa durian bagus untuk Bu Ali, sekalian kelebihan uangnya.
“Aduh, Mang. Saya kan berbuat seperti ini biar kita dapat untung banyak, Mang,” Go’is beralasan.
“Untung, untung. Terus-terusan lu dagang kayak begitu, di akhirat bakal buntung lu,” Kata Mang Amin, emosi.
Melihat Go’is dihukum, Zidan tertawa puas. Di masjid, Ustad Addin semakin panik karena melalui telepon, dia dapat kabar bahwa listrik baru bisa menyala dua jam kemudian.
Merasa lapar, Haji Husin dan Zidan berniat pulang. Mereka berusaha menghubungi Ustad Addin, tetapi tidak ada respons. Bagaimana bisa merespons kalau di masjid masih mati listrik. Sebagai usaha, Ustad Addin pun berjalan ke luar masjid. Beruntung, di luar sedang ada orang syuting. Ustad addin pun meminta bantuan pasokan listrik kepada sang sutradara. Setelah diizinkan, Ustad Addin langsung melanjutkan tugasnya.
Mesin waktu berhasil dinyalakan kembali, meski terlambat 10 menit dari waktu pengembalian seharusnya, Haji Husin dan Zidan pulang dengan selamat, lengkap dengan durian yang sudah dibeli. Sayangnya, ada yang aneh, Zidan menyadari durian yang mereka beli tampak mengecil. Ustad Addin coba menjelaskan penyebabnya, tetapi Zidan tetap tidak mengerti.
Selain durian, Haji Husin juga menyadari ada yang aneh pada dirinya. Haji Husin bingung, entah kepalanya yang mengecil ataukah pecinya yang kebesaran. Untuk menenangkan, Ustad Addin meyakinkan Haji Husin bahwa pecinya yang kebesaran.
Sementara itu, dalam perjalanan pulang, Zidan disapa oleh Ayu yang lagi main ayunan. Zidan sempat hampir keceplosan menceritakan petualangannya barusan, tetapi untung ia cepat tersadar. Ayu berusaha membuat Zidan mengaku, tetapi Zidan masih bisa menahan diri. Setelah dikasih oleh-oleh durian, Ayu pun pulang, demikian halnya dengan Zidan.
Sebagai penutup Lorong Waktu episode 3, di kamarnya tampak Ustad Addin merasa galau.
“Program ini masih jauh dari sempurna. Ya Allah, berikanlah selalu petunjukmu, agar Aku bisa mengembalikan mereka ke bentuk yang semula.”
Ikuti sinopsis Lorong Waktu musim 1 di sini serta tulisan Utamy Ningsih lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.