Hidup di Surabaya membuat saya harus menyesuaikan diri dengan beberapa hal yang terkesan berbeda, utamanya soal kuliner. Misalnya nasi goreng. Kuliner satu ini adalah favorit saya. Apa pun bentuknya, saya merasa nasi goreng adalah maha karya kuliner yang punya kompleksitas rasa yang membuat saya menobatkannya sebagai makanan favorit.
Yah, meskipun tak sedikit orang menyebutkan makanan ini adalah makanan yang “kurang gawean”. Soalnya nasi sudah matang kok ndadak harus dimasak lagi. Terlebih seharusnya bukan dinamai nasi goreng, melainkan nasi tumis karena dimasak seperti ditumis alih-alih digoreng dengan minyak panas. Begitulah cibiran para haters makanan ini. Biarlah, saya nggak terlalu peduli soal itu.
Akan tetapi semenjak di Surabaya, nasi goreng bukan makanan yang akrab lagi di lidah saya. Pasalnya, ada banyak keanehan yang saya temukan pada kuliner satu ini di Surabaya. Keanehannya membuat saya jadi agak malas membelinya.
Keanehan nasi goreng di Surabaya yang pertama: warnanya merah menyala
Pertama, keanehan nasi goreng di Surabaya yang bikin saya agak malas adalah warnanya yang merah menyala. Menurut saya, menggunakan saos sebagai penguat rasa hingga membuat kuliner satu ini merah menyala adalah hal yang aneh.
Ayolah, warna nasgor itu kalau nggak cokelat karena kecap, ya putih karena nggak pakai kecap. Warna merah itu anomali. Kayak partai aja.
Meski begitu, konsep warna merah menyala ini masih bisa saya terima. Mungkin karena kuliner Jawa Timur identik dengan pedas dan gurih, makanya penggunaan kecap pada nasgor biasanya diganti dengan saos. Okelah, pikir saya. Warna merah ini tak jadi soal.
Akan tetapi selain soal warna, ada hal lain yang menurut saya menjadi kesalahan konsep yang seharusnya nggak diteruskan. Hal itu adalah penggunaan irisan telur rebus sebagai topping pada nasi goreng di Surabaya.
Kehadiran topping telur rebus yang bikin geleng kepala
Banyak nasi goreng di Surabaya, terutama di gerobak yang bertuliskan Nasi Goreng Jawa, menggunakan irisan telur rebus sebagai topping tambahan. Entah ide dari mana.
Kenapa ini menjadi salah satu keanehan yang patut dipertanyakan? Soalnya telur rebus itu punya rasa yang netral alias tawar. Rasanya yang tawar tidak menambah kompleksitas rasa ke nasgor yang seharusnya kaya akan bumbu (kecap, bawang, dll.).
Sebaliknya, keberadaan telur rebus ini justru merusak rasa. Nasgor yang sedap bertemu potongan telur rebus yang hambar bikin momentum rasanya jadi ambyar. Dari sisi fungsi kuliner, ia bukan flavor enhancer.
Kemudian, kalau dalihnya untuk menambah protein, tentu juga nggak bisa diterima. Satu butir telur ayam itu cuma mengandung 6-7 gram protein. Lha, kalau irisan tipis-tipis begitu, yang masuk ke tubuh paling cuma nol koma sekian gram. Lebih baik menggunakan rebon, udang kecil, atau potong ayam suwir sekalian.
Dari sisi tekstur, keberadaan telur rebus ini justru membawa tekstur yang “lembek-padat” tanpa kontras menarik. Teksturnya tidak memberikan crunch atau juiciness, hanya “mengganjal” di mulut. Sementara kita tahu, nasi goreng itu lekat dengan permainan tekstur yang mana nasinya kering lembut, bumbu yang meresap, dan dipadukan dengan topping yang gurih. Sekali lagi, saya nggak paham dengan keberadaan si irisan telur rebus pada nasgor di Surabaya ini.
Telur rebus malah merusak rasa
Satu hal yang paling kentara adalah keberadaan telur rebus ini jadi kayak pemutus integrasi rasa dari tiap komponen nasi goreng. Umumnya, topping nasi goreng di Indonesia itu dipakai secara terintegrasi dengan proses penggorengannya. Misalnya, telur diorak-aring (jarang saya temukan di nasi goreng Surabaya), suwiran ayam yang menyatu, atau sayuran macam sawi. Setelah itu ditambahkan dengan kerupuk.
Adanya telur rebus yang diiris tipis dan diletakkan begitu saja terkesan “menempel belaka”. Ia nggak menyatu dengan jiwa nasi goreng itu sendiri. Ia mencolok sendiri, tapi nggak ada fungsinya. Ngapain menghadirkan sesuatu yang mencolok, tetapi nggak punya fungsi signifikan, ya, kan? Bahkan sebaliknya, seperti yang saya ungkap sebelumnya, malah merusak kompleksitas dari rasa nasi goreng itu sendiri.
Kalau memang alasannya pengin memperbanyak topping dengan biaya hemat, pilihan lainnya banyak, kok. Bisa pakai suwiran ayam goreng, irisan bakso atau sosis, atau malah kerupuk udang. Keberadaan mereka malah lebih cocok dan punya peran yang signifikan.
Soal kerupuk ini, jarang sekali saya menemukan warung nasi goreng Jawa yang kerupuknya gratis. Pasti bayar terpisah. Bahkan lebih parah, nggak menyediakan kerupuk. Aduh, aneh banget.
Pada akhirnya, keberadaan irisan telur rebus pada nasi goreng Surabaya itu ibarat pejabat yang datang potong pita acara rakyat. Tampil mencolok, tapi kontribusinya nihil. Bedanya, pejabat masih sempat difoto wartawan, telur rebus cuma sempat difoto kamera HP sebelum akhirnya disingkirkan ke pinggir piring.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Dosa Penjual Nasi Goreng yang Merusak Rasa, Mengurangi Kenikmatan Makan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















