Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Anak Tapal Batas: Tahukah Kalian Rasanya Menjadi Asing di Negeri Sendiri?

Ulfa Setyaningtyas oleh Ulfa Setyaningtyas
16 Juni 2019
A A
tapal batas negeri

tapal batas negeri

Share on FacebookShare on Twitter

Keluarga saya adalah petualang yang gemar merantau sana sini dan hidup nomaden—tapi tenang, pemikiran saya cukup modern untuk kalian sebut mirip manusia purba. Kalau diingat-ingat lagi, setidaknya saya memiliki 7 sekolah selama pendidikan formal saya. Kami berpindah-pindah bukan karena kebanyakan uang sehingga perlu di buang, akan tetapi untuk mencari peruntungan di tanah orang walau masih dalam satu negeri.

Saya sendiri aslinya ‘wong Sleman tulen sing numpang mbrojol ning Ciracas’. Bertahun-tahun saya tinggal di Pulau Sebatik, cukup memahami bahwa negeri ini ternyata memang sangat luas—sampai-sampai membuat Pemerintah pusat mungkin lupa bahwa setiap negara memiliki batas.

Sekitar tahun 2009, ketika konfrontasi militer Indonesia dan Malaysia dalam merebutkan Ambalat berakhir dengan keputusan diplomatis—masyarakat Sebatik dapat bernafas lega meskipun hingga tahun 2015 Malaysia terus melakukan aksi pelanggaran. Pasalnya apabila Indonesia dan Malaysia memutuskan bertindak sebaliknya, maka ancaman terhadap anjloknya kesejahteraan ekonomi masyarakat Sebatik menjadi taruhannya. Tentu saja, mengingat kedekatan sejarah dan budaya kedua negara telah terbangun begitu lama.

Sebelum Pulau Sebatik ramai dibicarakan akibat berita rumah dengan ruang tamu yang berada di garis wilayah Indonesia dan dapur masuk wilayah Malaysia menjadi viral—bukan terbelah lautan loh ya gaes—nggak seluas itu rumahnya. Kalau kalian ingat penampakan rumah dua bocah mirip tuyul di serial Malaysia Upin dan Ipin—tidak terlalu mirip tapi setidaknya begitulah penampakannya.

Masyarakat Sebatik memang sangat bergantung pada Malaysia—bukannya malah Indonesia sebagai negara ibunya. Bukan tanpa alasan—hampir seluruh produk di pasaran, bahasa, hingga kebudayaan cenderung berkiblat ke Malaysia karena kedekatan wilayah strategis dan akses apapun yang lebih mudah. Bahkan diketahui bahwa warga Sebatik yang tinggal di wilayah terdekat dengan patok perbatasan memiliki identitas ganda—bukan transgender—dua KTP.

Tidak hanya itu, masyarakat Sebatik juga bebas menyebarangi dan memasuki wilayah Malaysia dengan identitas seadanya—misalnya KTP atau bahkan Kartu Pelajar bagi pelajar—dan begitu pula sebaliknya.

Kenyataan pahit lainnya, tanpa bantuan tambahan berupa saluran parabola yang waktu itu harganya cukup mahal, channel televisi di Pulau Sebatik hanya berisi channel televisi Malaysia. Tidak heran jika masyarakat Sebatik lebih up to date berita dan sinetron Malaysia dari pada Indonesia.

Setelah  Sebatik semakin menarik perhatian dan konflik wilayah perbatasan semakin santer di bicarakan—berbagai peraturan kedua negara menjadi lebih ketat termasuk perihal identitas dan perizinan bahkan untuk warga asli setempat.

Baca Juga:

5 Pekerjaan yang Bertebaran di Indonesia, tapi Sulit Ditemukan di Turki

Pengalaman Melepas Penat dengan Camping ala Warlok Queensland Australia

Sebatik pun menjelma menjadi zona wisata sekaligus destinasi langganan favorit para politisi dan petinggi negara untuk sekedar melenggang di jalanan rusak dan berlubang khas pulau ini. Lalu pertanyaannya—adakah yang berubah setelah kunjungan para petinggi negara itu? Ada—apalagi kalau bukan headline media massa, kenthir memang.

Menurut hemat Bapak saya, sekarang ini kecepatan pembangunan di Pulau Sebatik termasuk yang paling cepat daripada wilayah perbatasan lainnya. Kemudian menurut hemat saya, pesatnya perkembangan pembangunan ekonomi di Pulau Sebatik tak lepas dari peran besar Malaysia. Hal ini menunjukkan semakin meningkat pula impor barang-barang dagangan dari luar negeri—terutama Malaysia—meskipun tingkat prosedur dan perizinan juga menjadi jauh lebih rumit setelah era klimaks dari kasus wilayah Ambalat.

Mata uang yang digunakan pun masih tetap ada dua—Rupiah dan Ringgit. Secara ekonomi, tentu lebih menguntungkan penggunaan kurs mata uang Ringgit mengingat kurs mata uang Ringgit memang lebih besar dari pada Rupiah, umumnya 1 Ringgit dihargai 3.500 rupiah di pasaran. Biaya distribusi barang-barang asal Malaysia juga jauh lebih murah dari pada biaya distribusi dari pusat produksi di kota-kota besar di Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat masih sangat bergantung dengan produk-produk dan penggunaan mata uang Ringgit.

Perihal pendidikan sangat jauh ketinggalan—sampai kehadiran dua universitas besar dari Jogja menjadi pembuka sekaligus universitas pertama asal pulau Jawa yang menyentuh Sebatik 4 tahun yang lalu—yaitu UGM dan UMY melalui program KKN. Di Sebatik pun saat ini telah dibangun sekolah tapal batas dengan kondisi minim fasilitas untuk menampung dan memberikan pendidikan bagi anak-anak TKI yatim piatu dan anak-anak TKI yang kurang mampu. Namun sayangnya, banyak siswa-siswi asal Sebatik kurang disambut baik oleh banyak universitas negeri besar di luar sana.

Mengingat fasilitas pendidikan dan pengajaran yang kurang memadai dan tak sebanding dengan tingkat pendidikan yang berkembang di Pulau Jawa, siswa-siswi Sebatik dituntut untuk memenuhi ekspektasi dan standar pendidikan di kota maju. Mereka justru bagai terjerat kenyataan pahit akibat ketertinggalan ilmu pengetahuan teknologi yang terbentuk akibat sistem pembangunan terpusat di kota-kota besar di Indonesia dan pendidikan yang sangat tidak merata. Jika melihat sejarahnya—tentu saja Malaysia menjadi sangat berjasa bagi masyarakat Sebatik.

Akses yang jauh dari pusat pemerintahan membuat wilayah ini menjadi semakin terbelakang di negeri sendiri. Terlebih lagi permasalahan pendidikan, keterbatasan akses dan pengetahuan serta ketidakfahaman masyarakat menjadi kendala untuk memajukan pendidikan di wilayah Sebatik.

Saya tidak bisa mengatakan bahwa pelajar Sebatik tidak menyadari pentingnya sebuah pendidikan, namun yang membuat saya banyak sedikit miris adalah mereka tidak lebih mengenal negara mereka sendiri dari pada negara sebelah. Saya masih ingat, ketika masa sekolah dasar, setiap upacara kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di luar itu, apa yang lebih sering dinyayikan oleh kawan-kawan saya di luar sekolah? Yup—lagu kebangsaan Malaysia yang mereka hafal mati.

Saya tidak sedang membicarakan masalah nasionalisme, patriotisme, dan segala tetek bengeknya. Namun, pengetahuan yang berkembang, lingkungan, hingga kenyataan hidup di wilayah yang berbatasan langsung dengan negara sebelah, membuat saya terkadang mempertanyakan nasionalisme saya sendiri ketika di sini bahkan sejatinya nasionalisme itu sendiri—ada kalanya konsep tersebut nampak begitu absurd.

Di salah satu daerah dataran tinggi di Pulau Sebatik, ada sebuah Tugu Elang “NKRI Harga Mati”—begitu katanya. Setiap upacara kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, membaca UUD, dan Pancasila. Soal nasionalisme sudah ditanamkan sejak lama di hati kami—namun bagaimana jika itu semua hanya sekedar doktrin yang tertanam sebagai formalitas?

“Kami nasionalis kok, kami cinta Indonesia”. Saya pribadi bisa katakan, “Ya, bisa jadi memang benar—siapa saya yang berani menghakimi rasa nasionalisme seseorang”.

Akan tetapi, tahukah kalian bahwa sebagian besar dari mereka saja tidak mengenal UGM atau UI itu apa dan di mana. Kenyataan lainnya—bisa dikatakan hampir seluruh produk yang mereka gunakan sepanjang kehidupan mereka berlabel Made in Malaysia, product of Malaysia, produced and exported by X Malaysia. Tak ketinggalan soal kampung halaman mereka yang katanya di Tawau dikarenakan sebagian keluarga besar mereka justru tinggal di Tawau, Sabah. Hal itu membuat pengetahuan soal Sabah sebagai kota terdekat menjadi lebih akrab di telinga  mereka.

Kami memang tinggal dan hidup di Indonesia, tapi separuh kehidupan kami di hidupi oleh Malaysia. Begitulah singkatnya pengalaman yang pernah saya rasakan selama tinggal di Pulau Sebatik.

Hari ini saya sangat bersyukur, distribusi berbagai produk Indonesia mulai banyak menyentuh area Sebatik dan beberapa jenis lembaga pendidikan Indonesia menjadi semakin concern terhadap kemajuan pendidikan dan semangat belajar siswa-siswi Sebatik sehingga pola pikir pemuda Sebatik semakin lama menjadi semakin terbuka terhadap negeri mereka sendiri.

Soal nasionalisme? Jangan ditanya—upacara di Pulau Sebatik sesungguhya lebih sakral loh dengan kehadiran para pasukan militer di perbatasan. Semakin masifnya penjagaan dan banyaknya pos-pos militer yang ada di Sebatik beberapa tahun belakangan ini membuat masyarakat menyadari bahwa tanah ini ternyata masih milik negeri kita sendiri, Indonesia. Selama tinggal di sini, saya saja terkadang bisa lupa. hahaha

Terakhir diperbarui pada 17 Januari 2022 oleh

Tags: AsingIndonesiaNegeri SendiriPulau SebatikTapal Batas
Ulfa Setyaningtyas

Ulfa Setyaningtyas

ArtikelTerkait

Membandingkan XXI dan CGV, Penguasa Bioskop di Indonesia, Mana yang Lebih Unggul?

17 April 2022
Sisi Gelap Eropa Menghapus Perasaan Inferior terhadap Bule, Ternyata Mereka Nggak Sesempurna Itu Mojok.co

Sisi Gelap Eropa Menghapus Perasaan Inferior terhadap Bule, Ternyata Mereka Nggak Sesempurna Itu

5 Februari 2024
Aktor Indonesia yang Bikin Kamu Pengin Selingkuh dari Nicsap dan Reza Rahadian Part 2 terminal mojok

Aktor Indonesia yang Bikin Kamu Pengin Selingkuh dari Nicsap dan Reza Rahadian Part 2

13 November 2021
4 Hal yang Saya Rasakan Saat Tinggal di Pulau Terluar Indonesia Terminal Mojok

4 Hal yang Saya Rasakan Saat Tinggal di Pulau Terluar Indonesia

2 Juni 2022
Aktor Indonesia yang Bikin Kamu Pengin Selingkuh dari Nicsap dan Reza Rahadian Part 1 terminal mojok

Aktor Indonesia yang Bikin Kamu Pengin Selingkuh dari Nicsap dan Reza Rahadian Part 1

11 November 2021
cocoklogi

Cocoklogi Bencana di Indonesia: Kok Salah Pak Jokowi?

5 Agustus 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Telaga Madiredo, Telaga Underrated di Kabupaten Malang yang Meskipun Nggak Sebesar Sarangan, tapi Tetap Indah dan Pedagangnya Nggak Resek

Telaga Madiredo, Telaga Underrated di Kabupaten Malang yang Meskipun Nggak Sebesar Sarangan, tapi Tetap Indah dan Pedagangnya Nggak Rese

6 Desember 2025
3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang Mojok.co

Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang

5 Desember 2025
4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang Mojok.co

4 Hal yang Membuat Orang Solo seperti Saya Kaget ketika Mampir ke Semarang

3 Desember 2025
Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025
Saya Sudah Menyerah Recook Resep Viral TikTok dan Instagram. Mending Beli, Jelas Lebih Murah dan Enak!

Saya Sudah Menyerah Recook Resep Viral TikTok dan Instagram. Mending Beli, Jelas Lebih Murah dan Enak!

6 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.