Desas-desus diusulkannya UU Perlindungan Guru menguat seiring banyaknya kasus perundungan guru dari para wali murid yang tak terima akan perlakuan pada anak didiknya. Perlindungan terhadap guru memang sudah jadi perhatian banyak orang, mengingat tenaga pendidik kerap jadi sasaran atas ketidakpuasan para wali murid, meski tak didasari dengan alasan yang masuk akal.
Sebenarnya aturan perlindungan guru sudah ada, tapi usulan tersebut mungkin lebih pada penegakan yang lebih tegas dan aturan yang jauh lebih rinci.
Oleh karena ini masih desas-desus, saya tak bisa bicara banyak atau menilainya dengan dalam. Pada dasarnya, saya setuju. Tapi selain perlindungan guru, saya kira harus ada aturan yang tegas agar orang tua murid tidak bisa seenaknya.
Misal kita berkaca pada kasus Supriyani, guru honorer yang dituduh menganiaya murid. Ini contoh terbaik kalau orang tua murid bisa seenaknya, tidak ada tenaga pendidik yang bisa merasa aman. Cara membenahinya ya dengan memberi perlindungan pada guru, dengan membuat undang-undang guru tidak bisa dituntut selama dia tidak melanggar panduan yang ada. Orang tua murid, juga tidak bisa seenaknya mencak-mencak pada tenaga pendidik berdasar asumsi mereka sendiri.
Kemendikbud di periode mendatang sebaiknya segera bikin panduan untuk guru, agar apa? Agar mereka tidak perlu ketakutan dan paham bahwa selama mereka tidak melanggar batasan, mereka tak perlu memikirkan konsekuensi yang tak perlu.
Posisi guru yang amat rentan
UU Perlindungan Guru ini menurut saya harus hadir karena memang posisi guru ini rentan, amat rentan malah. Mereka tidak mendapat kepastian ekonomi yang baik, pun harus berurusan dengan orang-orang yang nggak tahu dan nggak mau tahu beban guru. Di saat yang sama, mereka punya tanggung jawab moral untuk membentuk masa depan negara.
Sudah gajinya bercanda, tanggung jawabnya tingkat dewa.
Ini masih ada beban-beban macam administrasi dan beban mental seperti murid yang tak kooperatif, tapi begitu ditegur, orang tuanya yang tantrum. Kalian perlu tahu bahwa tingkat kurang ajarnya murid di masa kini itu lumayan mengerikan, setidaknya dibanding di zaman saya. Zaman saya ya banyak yang kurang ajar sih, tapi kadang jika dengar cerita para guru, kok ngeri juga ya.
Maka rasa-rasanya, tak ada alasan yang bisa membuat orang-orang menolak pembuatan UU Perlindungan Guru yang lebih rinci dan tegas.
Bukan free pass
Tapi tak berarti UU Perlindungan Guru ini memberikan free pass guru untuk sak penake alias bisa memberikan hukuman yang nggak ngotak. Saya tetap tidak setuju guru melakukan hukuman fisik, come on man, we gotta do better than that. Makanya, kudu ada panduannya juga, dan semua orang tua murid harus mau memahami panduan tersebut.
Nah, itulah yang mungkin jadi tantangan UU Perlindungan Guru ini. Nggak semua orang bisa paham dan mau memahami hal-hal beginian. Ini masalah Indonesia secara general sih, tidak bisa memahami dan tak mau memahami aturan. Merokok sambil berkendara, tidak mau pake helm, tidak mau bayar BPJS, contoh paling mudah dan gamblang akan betapa parahnya orang Indonesia perkara patuh terhadap aturan.
Untuk perkara teknis, biarkan Kemendikbud yang ngurus. Saya mah cuman urun opini saja. Cuma, saya harap tidak ada lagi guru yang memilih untuk tidak menegur karena takut risiko yang kelewat besar. Betul, pekerjaan memang sepaket dengan risiko. Tapi jika risiko tersebut adalah dituntut puluhan juta oleh orang tua yang tak mau memahami, ya prei.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya