Saya kira di dunia ini cuman ada tiga kecanduan yang paling berbahaya. Yang pertama kecanduan narkoba, yang kedua kecanduan rokok yang ketiga kecanduan mie instan. Soalnya saya masuk ke dalam golongan ketiga. Apalagi saat bulan tua, makan mie instan sudah jadi kenikmatan tiada tara.
Tapi ternyata saya salah, akhir-akhir ini saya kecanduan mendengarkan sebuah lagu yang viral dari aplikasi Tik Tok, awalnya karena sering muncul di explore Instagram saya tonton sekali, dua kali, tiga kali eh, kok rasanya liriknya menempel di kepala seperti lem tikus. Pernah suatu siang di kampus, sebelum berangkat ke kampus entah kenapa lagu dengan lirik awal “entah apa” itu terputar di handphone saya, lalu siangnya saya sedang berdiskusi dengan teman saya terkait tugas kuliah, tiba-tiba saya menyeletuk “Eh, lu nyanyi entah apa ya?” sontak kawan saya itu bengong. “Lah dari tadi nggak ada yang nyanyi” jawabnya sewot.
Tuh kan, saya sadar dari situ bahwa saya telah terkena kecanduan ke-empat. Lagu “Entah Apa yang Merasukimu” terngiang-ngiang di kepala saya seperti kenangan bersama mantan, sulit dilupakan. Setelah mencari tahu mengenai kecanduan baru saya ini, ternyata lagu asli Entah apa ini berjudul Salah Apa Aku dari band asal Lubuk Linggau, Sumatra Selatan bernama ILIR7. Dan gawatnya lagi, apa yang saya dengar selama ini di aplikasi Tik Tok adalah versi remixnya. Waduh saya kecanduan sesuatu yang tidak original nih. Pantas saja kalau di dengarkan dengan seksama saya merasa ada efek suara gagak di lagu ini. “Wakkk…waaaakkk…waaakk” begitu.
Viralnya lagu “Entah apa” ini berbarengan dengan viralnya berita demonstrasi dan penolakan RUU KPK dan aksi turun ke jalan besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa di Indonesia. Dalam lirik lagu yang bertuliskan “Entah apa yang merasuki mu” seolah-olah bertanya mengenai apa yang telah merasuki tubuh demokrasi Indonesia, mengapa mahasiswa harus turun kembali ke jalan seperti tahun 1998.
Secara pribadi, versi original lagu Salah Apa Aku menurut saya lebih enak didengar telinga tapi versi remix-nya terasa lebih representatif terhadap keadaan sekarang. Saya mulai berkonspirasi, Anda bisa tidak percaya atau sangat tidak percaya, itu terserah Anda. Tapi pertanyaan saya, kenapa di versi remix-nya harus dimasukan efek burung gagak? Kenapa tidak hewan lain saja? Biar lebih ganas misalnya, efek suara harimau atau kalau memang sang dj adalah pecinta burung, kenapa tidak burung kutilang atau merpati. Kenapa harus gagak?
Burung yang memiliki warna bulu yang relatif hitam ini. Biasanya berkicau di malam hari itu pertanda bahwa akan ada kemalangan yang akan menimpa seseorang yang mendengar kicauannya. Bahkan di pulau jawa, Burung gagak dilambangkan sebagai simbol kematian sedangkan di Amerika burung gagak dianggap sebagai sebuah firasat mengenai adanya masalah besar yang akan datang. Apakah ini pertanda bahwa demokrasi kita sebentar lagi akan mati atau negara ini akan dilanda masalah besar? Sekali lagi saya tegaskan, Anda boleh tidak percaya atau sangat tidak percaya dengan konspirasi saya. Tapi kalau dibilang sebuah kebetulan, kenapa bisa?
Ah, saya terlalu banyak bertanya-tanya. Perubahan UU KPK setelah direvisi nyatanya telah menimbulkan banyak polemik, mungkin yang kelihatan di jalan-jalan kebanyakan mahasiswa karena mereka semua pakai almamater, kalau tidak pakai almamater tidak akan kelihatan mahasiswanya. Belum lagi pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP, kebakaran hutan di kalimantan dan riau, RUU ketenagakerjaan yang disinyalir tidak berpihak pada pekerja, dan desakan disahkannya RUU PKS adalah beberapa poin tuntutan dari aksi turun ke jalan. Tuntutan yang berturut-turut berasal dari masalah yang tak kunjung selesai atau memang tidak dicoba diselesaikan.
Menjelang pelantikan yang ke dua, Presiden Joko Widodo nampaknya telah “kerasukan” sesuatu, yang membuat lagu Salah Apa Aku sangat pas ditanyakan kepada beliau. Jika benar ada yang “merasuki” beliau saya harap itu bukan ego dan indikasi sistem otoriter yang bisa membungkam demokrasi di Indonesia. Catatan kelam Indonesia di tahun 1998 tidak perlu terulang kembali, sejarah yang baik patut di ulang tapi tidak untuk yang buruk. Lagu Salah Aku Apa cukuplah represetatif dalam versi originalnya saja, tidak perlu ada efek burung gagak segala, sama seperti keadaan Indonesia sekarang. Cukuplah mendengarkan tuntutan rakyat dan buktikan konsistensi dalam janji politik sebelum kembali terpilih beberapa bulan lalu. Cukuplah “efek” gagak yang kita dengar di aplikasi Tik Tok sambil berjoget, tidak perlu hitamnya gagak mewarnai demokrasi kita yang sesungguhnya. (*)
BACA JUGA Pak Jokowi, Jangan Buat Rakyat Marah Lagi atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.