Kalau boleh jujur, dalam hidup saya sebenarnya tidak begitu pandai dalam perkara percintaan. Saya adalah orang yang kurang pandai menjalin hubungan dengan perempuan, yang mana berujung dengan jarangnya saya berpacaran. Mungkin dalam 23 tahun saya hidup, tidak sampai lima kali saya berpacaran. Sekalinya berpacaran, juga tidak pernah lama. Tidak ada yang sampai satu tahun. Menyedihkan, memang, tetapi ya mau bagaimana lagi kalau kenyataanya seperti itu. Namun, ada satu kisah, cerita tentang ngedate pertama yang masih membuat saya terheran-heran sampai sekarang.
Tepatnya tiga tahun lalu, di pertengahan 2017, saya sedang dekat dengan salah satu perempuan. Namanya Dona, saya kenal perempuan ini dari media sosial Line. Kronologi singkat perkenalan saya adalah, saat itu saya sedang aktif menulis puisi dan saya unggah di Line. Ada teman saya, yang juga berteman dengan Dona di Line (ini saya tahu setelah saya ketemu dengan Dona), menekan tombol “like” di unggahan puisi saya, yang mungkin tersebar di lini masanya. Nah, Dona tiba-tiba juga menekan tombol “like” yang mana itu muncul di notifikasi saya. Tidak lama setelah itu, Dona langsung japri saya dan bilang kalau puisi saya bagus dan dia suka.
Saya tentu kaget, sebab jarang-jarang ada perempuan yang suka puisi saya sampai menghubungi saya secara pribadi. “Terima kasih banyak,” balas saya waktu itu. Obrolan berlanjut dan masih membahas masalah puisi dan buku bacaan. Dari awal, saya dan Dona memang berbeda selera bacaan. Saya waktu itu suka dengan buku yang progresif, kritis, dan sedikit roman. Sedangkan Dona, dia suka dengan buku roman receh yang tentu sudah tidak pernah masuk daftar bacaan saya. Namun, tidak masalah, toh beda selera bacaan tidak menjadi penghalang “silaturahmi” ini.
Selama beberapa hari, kami memang cukup intens ngobrol via Line. Ya ala-ala orang yang lagi PDKT, lah. Sesekali ada rayuan kecil yang terlontar dari saya, atau dari Dona. Saya waktu itu memang belum ada rasa yang gimana-gimana, lha wong ketemu saja belum. Saya harus tahu langsung orangnya untuk bisa memunculkan rasa itu. Akhirnya setelah berhari-hari ngobrol via Line, kami memutuskan untuk ketemu secara langsung. Saya juga sekalian membawakan buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dari Pram untuk dia baca.
Saya lupa momen ngedate pertama saya dengan Dona itu bulan apa dan tanggal berapa, tapi saya ingat harinya, yaitu hari Minggu. Saya jemput Dona di rumahnya yang berjarak 20 km dari rumah saya. Pukul 17.00 saya berangkat, dan sekitar 17.45 saya sudah sampai di depan gang rumahnya. Dona sudah menunggu dan itulah pertemuan kami secara langsung. Agak canggung awalnya, maklum ngedate pertama. Selama ini kami saling tahu hanya via Line, dan hanya berbekal foto profil saja. Dona akhirnya saya bonceng, dan kami memutuskan untuk cari tempat ngopi di sekitar Jl. Soekarno-Hatta, Malang.
Inilah momen mengejutkan bagi saya karena baru sepuluh menit jalan, Dona tiba-tiba bilang, “Eh, cari masjid dulu. Kita salat maghrib.” Saya langsung terkejut saat itu, dan dengan agak terbata-bata, saya mengiyakan ajakannya. Saya akhirnya mengarahkan motor saya ke masjid terdekat, dan mau tidak mau saya ikutan salat. Saya agak bingung waktu itu karena celana saya bolong di dengkul dan saya harus cari pinjaman sarung. Beruntung di masjid itu ada sarung yang memang bisa dipakai siapa saja. Mulai dari wudhu, sampai selesai salat, saya masih agak heran, kok dia tiba-tiba mengajak saya salat, tanpa tanya apakah saya “terbiasa” salat atau tidak.
Saya memang Muslim, tetapi saya sudah tidak salat sekitar hampir tiga tahun. Bahkan untuk salat jumat atau salat Id saja, saya tidak pernah. Tidak perlu saya jelaskan, lah, apa alasannya. Itu urusan pribadi. Sepanjang salat itulah saya mikir bahwa ini adalah salat pertama kali saya setelah tiga tahun dan yang mengajak adalah perempuan yang baru saya kenal. Bahkan saya tidak berusaha cari alasan, menolak, atau melawan sedikit pun. Mau cari alasan bahwa saya bukan Islam juga tidak bisa, lha wong nama saya sudah sangat islami. Ya akhirnya saya nurut saja tanpa ada perlawanan apa-apa.
Sepanjang momen ngedate pertama hari itu, kepala saya dipenuhi keheranan, kok bisa saya tidak melawan atau menolak ketika diajak salat. Bukan berarti melawan perintah Tuhan, hanya saja saya sudah lama tidak salat. Ketika kami sudah sampai di tempat ngopi pun, kepala saya tidak bisa fokus dengan Dona dan apa yang dibicarakan. Kepala saya isinya hanya rasa heran saja. Saya juga tidak pernah mengalami situasi ini sebelumnya. Sejak saat itu saya yakin, bahwa saya memang tidak ditakdirkan dengan perempuan ini. Saya takut jadi orang yang terlalu nurut dan tidak mampu melawan.
Itulah pertemuan pertama dan terakhir saya dengan Dona. Setelah itu, saya tidak pernah lagi ketemu dengannya lagi. Ya selain karena saya sudah kurang tertarik, Dona juga harus pergi ke luar kota untuk magang. Komunikasi kami hanya via Line, dan itu pun hanya bertahan sekitar tiga bulan. Sampai saat ini pun Dona tidak pernah menghubungi saya lagi. Ya sudah tidak apa-apa, toh saya juga sudah tidak begitu tertarik. Saya juga sudah merelakan buku Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang saya pinjamkan tidak kembali hingga saat ini. Tidak apa-apa, setidaknya itu jadi pelajaran, supaya nanti kalau saya kencan tidak amburadul seperti ini.
Ngedate pertama memang selalu canggung dan membuat kita tidak menampilkan siapa diri kita sebenarnya. Saya yang lama mangkir ibadah perlu menepis ego untuk turut salat bareng.
BACA JUGA Syarat Kerja ‘Rajin Sholat Lima Waktu’ kok Terasa Begitu Ganjil, Ya? dan tulisan Iqbal AR lainnya.