Jangan remehkan pergumulan yang terjadi di grup WhatsApp keluarga besar, karena dari sinilah para ahli cangkeman dan prodigy buzzer kenamaan akan lahir. Setidaknya itulah kesan pertama saya ketika beberapa waktu lalu dimasukkan ke dalam grup WhatsApp trah keluarga besar kakek dari jalur almarhum bapak saya. Artinya, saya adalah benang putus yang diharapkan mau menyambung kembali basa basi komunikasi dengan keluarga bapak.
Sayangnya, alih-alih murni sebagai ajang silaturahmi, grup WhatsApp yang dihuni oleh hampir seluruh jalur silsilah keluarga ini bisa sangat kejam kontennya. Dalam hemat saya, grup WhatsApp ini malah lebih cocok disebut sebagai kawah candradimuka sebelum menghadapi sosial media. Sepertinya Tuhan memang belum rela melepaskan saya dari ujian iman dan kesabaran lewat konten grup WhatsApp yang nggak karuan. Terakhir kali, saya pernah menulis tentang untung rugi tergabung dalam grup WhatsApp kompleks perumahan.
Bagaimana tidak? Grup WhatsApp keluarga besar itu salah satu lingkaran dengan sebaran titik latar kehidupan yang paling acak. Bisa digolongkan berdasarkan usia, tempat tinggal, kota tempat kuliah atau kerja, jenis atau bidang pekerjaan, hingga sumber bacaan atau mazhab informasi yang dianut. Parahnya lagi, semua perbedaan latar belakang itu juga akan makin ruwet dengan pengaruh circle pertemanan yang berbeda pula.
Awalnya sih bisa sangat tidak mencurigakan, misalnya dengan kembali memperkenalkan diri lengkap dengan alamat domisili saat ini. Lantas mulai saling upload foto lengkap terkini anggota keluarga inti, hingga saling pamer cucu cicit yang kelihatannya lucu tapi akhirnya malah curcol dan sambat Si Cucu kepalang rewel. Makin kesini mulai terasa atmosfer mencurigakan dari grup WhatsApp keluarga besar, misalnya tentang konten video singkat sarat informasi sesat yang tentu saja nggak pernah jelas asal usulnya.
Pertanyaan tentang kapan kawin dan postingan foto masa kecil lengkap dengan ingus serta kulit kusam nan buluk mungkin hanya tingkat terendah dari level perdebatan di grup WhatsApp keluarga besar. Paling-paling kita cuma akan dicie-ciein konten foto gebetan atau pacar yang sering diunggah ke story Instagram. Kejadian konyol lainnya paling banter akan disandingkan konten then and now foto jadul dengan wajah glowing saat ini yang sudah penuh dengan asam garam dan cerita petualangan gonta-ganti lokasi skin care-an.
Ada lho pembahasan tanpa muara kata sepakat berkat polarisasi politik cebong kampret yang bikin mendidih ubun-ubun. Untunglah saling hujat tokoh junjungan yang berlangsung sejak 2014 itu mulai mereda karena sikap “legowo” Pak Prabowo yang mau mengabdi sebagai menteri. Meskipun demikian, di luar dugaan bergabungnya Sandi beberapa waktu lalu justru kembali bikin perpecahan di grup WhatsApp keluarga besar. Pemanas suasananya bukan lagi kedua kubu, melainkan hanya terjadi di kubu kampret.
Sekelompok penghuni grup WhatsApp keluarga besar yang tadinya bersatu padu mendukung Prabowo Sandi jelas berasal dari pecahan kelompok yang sama, simpatisan PKS atau mantan pendukung organisasi dakwah dan sayap kampus yang berafiliasi dengan PKS. Tentu saja ada yang kecewa dengan keputusan Sandi bergabung dalam kabinet, ada pula yang tetap setia yang memuja setinggi-tingginya Akhi Sandi yang diceritakan dimana-mana katanya hobi puasa sunnah dan salat Dhuha.
Dari sinilah pertarungan saling sanggah makin meruncing, tausiyah harian berganti konten seputar kesabaran dalam menegakkan perjuangan dakwah. Pihak yang terlanjur kecewa wis kebacut mrengut dan memilih jalan ninja menekuni buku-buku kiri dan memproklamirkan diri jadi penganut golput sejati. Adik-adik seumuran SD-SMP-SMA yang makin bosan belajar di rumah malah nggak peka dan terus-terusan latihan bikin konten TikTok harian, berharap viral kaya Chika Chandrika katanya.
Sementara para cucu dan mantu laki-laki di bawah usia 30-an malah janjian mabar dan memilih nggak urusan dengan sengketa grup WhatsApp keluarga besar yang semakin menajam. Saya sebagai jebolan anak Maiyahan dan pengikut Nahdlatul Muhammadiyyin, lebih memilih menjadi jalan tengah. Membumikan konsep begawan ala Mas Sabrang tentang apa yang benar, bukan siapa yang benar. Meyakinkan soal akhlak itu letaknya di ruang tamu, dan kebenaran justru paling bijak disembunyikan di dapur.
Dengan demikian, saya harap lewat grup WhatsApp keluarga besar ini, bukannya diimpor segala kekacauan politik dan perkembangan budaya. Akan tetapi, justru diupayakan terciptanya insan-insan yang akal pikirannya mengendap, jernih keputusan dan perbuatannya. Sehingga jika pun kelak jadi satu di antara relawan dan pasukan buzzer lima tahunan, saya bisa dengan tenang dan percaya bahwa kerabat saya itu bukanlah jadi muara onar dan kekacauan media sosial.
BACA JUGA Dilema Privasi Saat Ingin Keluar dari Grup WhatsApp dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.