Sate Klopo Ondomohen Bu Asih yang terletak di Jl. Walikota Mustajab No. 36, Ketabang, Kecamatan Genteng, merupakan warung sate legendaris di Surabaya. Berdiri sejak 1945, warung ini punya alasan sendiri, mengapa semua karyawannya perempuan.
***
Saya tahu, warung Sate Klopo Ondomohen milik Bu Asih menjadi salah satu warung sate legendaris dan amat laris di Surabaya. Pengunjung yang datang seperti tak habis-habis, silih berganti memenuhi warung sate yang buka tiap pukul 07.00 WIB-22.00 WIB tersebut. Pengunjungnya pun dari berbagai kalangan, dari orang biasa, orang kantoran, wisatawan, bahkan pejabat-pejabat provinsi hingga Ibu Kota pun kerap mampi ke warung ini.
Tiba di lokasi pada pukul 12.15 WIB, Sabtu (11/12/2021) siang itu saya mendapati warung Sate Kelopo Ondomohen Bu Asih penuh sesak oleh pengunjung.
“Nanti kalau ada tempat kosong, langsung duduk saja, Mas. Sedang ramai soalnya,” ujar salah seorang pelayan yang semula sibuk mengangkut-antarkan pesanan.
Sambil clingak-clinguk memastikan ada kursi yang sudah kosong atau tidak, saya mendekat ke meja pesanan. Di tengah kesibukannya mencatat pesanan para pengunjung, mbak-mbak pelayan yang duduk di sana memberi tahu saya kalau Bu Asih baru akan datang sebentar lagi. Tentu setelah sebelumnya saya utarakan maksud saya untuk mewawancarai beliau.
“Sebenarnya yang jadi andalan di sini itu sate daging, Mas. Tapi ini sudah habis. Jadi diganti apa?” ucap mbak-mbak yang duduk di meja pesanan ketika saya memesan menu andalan di warung Sate Klopo Ondomohen. Sate daging yang dimaksud oleh pelayan adalah sate daging sapi.
“Ya sudah, sate ayam saja. Minumnya es teh,” sahut saya.
Saya pun lekas duduk di salah satu kursi yang baru saja ditinggalkan pemiliknya. Namun, belum juga pesanan saya tersaji di meja, perempuan sepuh yang saya tunggu ternyata sudah datang. Bu Asih Soedarmi (79), demikian nama aslinya, dengan gerak yang sudah melamban lalu mengambil duduk di kursi kasir.
Dari tempat saya duduk, lamat-lamat saya amati mbak-mbak penjaga meja pesanan tadi berbisik kepada Bu Asih sambil menunjuk ke arah saya. “Monggo, Mas, silakan kalau mau wawancara sama Bu Asih,” ucap mbak-mbak itu beberapa saat kemudian.
Resep sate warisan ibu mertua
Bu Asih menceritakan, warung sate yang ia kelola saat ini sebenarnya merupakan warisan dari mertuanya yang merupakan orang asli Madura.
Seturut penuturan Bu Asih, mertuanya tersebut sudah berjualan sate sejak tahun 1945, kira-kira pada masa-masa awal kemerdekaan RI. Pada masa-masai itu, mertua Bu Asih belum memiliki warung sendiri. Jadi cara menjualnya dengan dipangkul keliling dari satu kampung ke kampung lain.
Baru beberapa tahun kemudian, mertua Bu Asih memiliki cukup uang untuk menyewa tempat di seberang jalan di sekitar Jl. Walikota Mustajab yang pada saat itu masih bernama Jl. Ondomohen. Sebelum akhirnya pindah lagi ke lokasi yang Bu Asih tempati saat ini.
“Kenapa dikenalnya Sate Ondomohen? Karena sesuai nama jalannya, Mas. Dulu ini kan namanya Jl. Ondomohen, jadi disebut Sate Ondomohen. Sampai sekarang masih pakai nama itu, karena ya kalau kata orang-orang biar lebih bersejarah saja,” ungkap perempuan sepuh yang ramah itu.
“Sayangnya saya kok ndak pernah dapat cerita dari mertua saya dulu waktu jualan keliling di masa awal kemerdekaan itu kayak gimana, jadi ya ndak tahu hehehe.”
Bu Asih lalu membeberkan kenapa akhirnya ia lah yang justru mendapat warisan warung sate tersebut dari sang mertua, bukannya suaminya.
Bu Asih menikah dengan suaminya pada kisaran tahun 1970-an. Saat itu warung Sate Kelopo Ondomohen yang dikelola mertuanya sudah memiliki cukup banyak pelanggan. Namun di tahun-tahun pertama pernikahannya, Bu Asih masih belum terlibat sama sekali di warung tersebut. Lagipula sang suami yang merupakan pegawai di salah satu perusahaan milik BUMN tidak menekankan Bu Asih untuk turut bantu-bantu.
Hingga kemudian, ketika anak perempuan semata wayangnya menginjak kelas tiga SD, Bu Asih memutuskan untuk sekadar bantu-bantu di warung sate milik mertuanya itu.
“Persisnya tahun berapa saya lupa, Mas. Pokoknya pas anak saya kelas tiga (SD), saya ikut bantu-bantu sampai mertua saya wafat. Dan ndak tahu ternyata resep dan warung satenya diwariskan ke saya. Suami saya ndak masalah. Karena kata dia, mungkin karena kerja saya baik alhasil mertua saya memberi kepercayaan ini pada saya,” ujar Bu Asih.
“Kalau ditotal, waktu warungnya masih di lokasi yang lama, mertua saya megang warung ini 40 tahunan lah. Habis itu saya sendiri yang megang kira-kira 20 tahunan kalau ndak salah. Terus pindah ke sini (lokasi yang sekarang),” sambungnya menjelaskan.
Bu Asih mengungkapkan, sejak masih bantu-bantu hingga akhirnya jadi pemilik warung Sate Kelopo Ondomohen, ia nyaris tak pernah meminta uang sepeserpun kepada suami. Bu Asih sepenuhnya memenuhi kebutuhannya sendiri dari uang hasil jualan sate.
Bahkan seturut pengakuannya pula, biaya sekolah puteri semata wayangnya pun ia tanggung sendiri sampai kuliah. Hingga saat ini, ia juga masih ikut membiayai kebutuhan dua cucunya yang seturut keterangannya sudah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
“Bukan karena bapak (suami) ndak tanggung jawab. Tapi saya ingin mandiri. Jadi kalau untuk kebutuhan saya pribadi, saya pakai uang saya sendiri, saya penuhi sendiri. Bapak ya gitu, pakai uangnya sendiri. Kalau ada hal-hal lain yang menyangkut rumah tangga, baru bapak yang turun tangan,” akunya.
“Sekarang bapak sudah istirahat saja di rumah. Saya mengelola warung saya ini dibantu sama anak saya. Dulunya anak saya itu kerja kantoran, Mas, tapi saya suruh berhenti, biar bantu-bantu saya di warung. Sekalian biar belajar. Karena warung ini nantinya juga bakal dia yang ngelola,” terang perempuan asli Kampung Ondomohen, Ketabang, Kecamatan Genteng itu.
Tak berniat buka cabang
Melihat geliat warung Sate Klopo Ondomohen milik Bu Asih saat ini, cukup masuk akal jika Bu Asih kemudian memutuskan untuk membuka cabang. Namun Bu Asih tak pernah berpikir sampai ke sana. Kepada saya Bu Asih mengaku sudah merasa cukup dengan satu warung yang ia kelola saat ini.
“Cukup satu saja lah, Mas. Ndak nyabang-nyabang. Karena kalau toh buka banyak cabang, yang namanya rezeki kan dibagi rata. Jadi sebanyak apapun cabangnya kalau rezekinya setara dengan satu warung kan ya sama saja to, Mas? Jadi cukup satu ini saja lah,” tutur Bu Asih sambil tertawa kecil.
Alasan lain adalah, Bu Asih ingin memaksimalkan satu warung yang ia kelola saat ini. Baik dari aspek kualitas menu maupun dari aspek pelayanan. Kalau bisa, masih menurut Bu Asih, akan terus dan terus ditingkatkan lagi. Tidak lain adalah guna menjaga selera dan kepercayaan para pelanggan.
Terlebih jika membuka cabang, secara otomatis Bu Asih harus membagi waktu dan tenaga untuk mengontrol warung-warungnya tersebut. Sementara usianya sudah 79 tahun, jadi dikhawatirkan akan kurang maksimal.
Sebenarnya, seandainya membuka cabang, Bu Asih bisa saja meminta anaknya yang mengelola cabang tersebut. Namun Bu Asih ingin kelak anaknya meneruskan apa yang sudah dilakukan Bu Asih selama ini. Mengoptimalkan yang sudah ada. Di samping juga agar kedekatan dengan karyawan-karyawan yang telah bekerja bersama Bu Asih selama ini terus terjaga.
“Intinya barokah saja, Mas, kalau saya. Caranya ya dengan menjaga mutu sate kami. Dari situ kan pelanggan suka. Bikin suka pelanggan itu kan nantinya jadi barokah juga buat kami,” ucapnya.
“Kalau buka cabang, nanti kesan bersejarahnya malah agak hilang. Kalau masih mempertahankan yang satu ini itu kan akhirnya jadi patokan. Orang kalau mau nyari Sate Klopo Ondomohen itu ya di sini ini tempatnya,” imbuhnya.
Saking melegendanya warung Sate Klopo Ondomohen milik Bu Asih, tidak jarang sate ini jadi jujukan para wisatan (baik domestic maupun mancanegara) hingga pejebat-pejabat tinggi. Bu Asih sendiri sebenarnya tidak mengenali wajah dari pejabat-pejabat tinggi yang kerap mampir ke warungnya. Namun dari atribut dan kesan yang ditunjukkan, Bu Asih bisa mengerti kalau yang sedang bertamu ke warungnya adalah orang penting.
“Biasanya ada yang sudah pesan sehari sebelumnya. Jadi besoknya warung ini harus steril, ndak boleh ada pembeli. Karena memang disediakan khusus buat pejabat-pejabat tadi,” akunya.
“Saya tahu kalau itu pejabat penting ya dari anak saya. Tapi saya sendiri ndak kenal, jadi ya anggap saja pejabat penting dari Jakarta. Lah wong makan saja dikawal ketat kok sama polisi dan tentara,” tambahnya menjelaskan.
Dan karena dinilai memiliki cita rasa yang gurih, khas, dan tentunya nikmat, tak jarang Sate Kelopo Ondomohen Bu Asih menerima jasa prasmanan dan catering untuk berbagai acara.
Semua itu berkah dari kejujuran serta upaya untuk terus menjaga mutu dan pelayanan kalau kata Bu Asih. Dengan begitu ia hanya ingin fokus untuk mengupayakan hal tersebut, tidak berpikiran untuk buka cabang. Sekalipun membuka cabang adalah perkara yang mudah saja ia realisasikan.
Hanya mempekerjakan perempuan
Saat ini ada sebanyak 24 karyawan yang bekerja untuk Bu Asih, dan kesemuanya adalah perempuan. Bu Asih memiliki alasan sendiri kenapa hanya mempekerjakan perempuan di warungnya.
Pertama, ia paham betul bahwa ada banyak perempuan di luar sana yang dituntut untuk mandiri. Entah karena kondisi keuangan keluarga yang tidak baik, atau karena memang ingin jadi perempuan mandiri saja sebagaimana dirinya sewaktu masih muda. Atas kenyataan itu lah Bu Asih hanya mempekerjakan perempuan di warungnya.
Kalau saya amati, sebagian diisi oleh perempuan-perempuan usia 24-25 tahunan, sebagian lain adalah ibu-ibu yang mungkin sudah memiliki anak dan cucu. Bu Asih sendiri tidak tahu detil mengenai hal itu. Yang ia tahu, perempuan-perempuan itu datang agar diberi kesempatan untuk bekerja, dan Bu Asih dengan senang hati memberikannya.
Alasan kedua, ini menurut Bu Asih, perempuan jauh lebih bisa diandalkan (multitasking). Perempuan dianggap lebih cekatan dan lebih bisa mengerjakan banyak hal. Tidak hanya pekerjaan yang secara umum dikerjakan oleh perempuan saja, tapi pekerjaan laki-laki pun bisa diatasi.
“Secara kasarnya gini, kalau perempuan itu bisa mengerjakan ini bisa mengerjakan itu. Di warung ini kan tugasnya banyak. Ada yang bagian bakar sate, cuci piring, melayani, memotong dan mengiris daging di belakang, meracik bumbu, nanak nasi, nyapu, pokoknya semua lah. Itu kan kalau perempuan bisa mengerjakan itu semua,” tutur Bu Asih setelah membenarkan posisi duduknya.
“Beda kalau laki-laki, Mas. Mohon maaf. Memang ada laki-laki yang serba bisa, tapi kan ndak banyak. Lebih banyakan perempuan yang bisa mengerjakan macam-macam,” lanjutnya yang disambut dengan tawa cekikikan dari mbak-mbak karyawan yang duduk di kursi pesanan, persis di sebelah Bu Asih.
Bu Asih tak ingin berhenti bekerja
Di usianya yang sudah sepuh, Bu Asih mengatakan bahwa dirinya masih ingin terus bekerja. Walaupun hanya sebentar-sebentar, ia masih ingin tetap datang ke warung, sekadar mengontrol para karyawannya atau beberapa jam duduk di meja kasir.
Biasanya Bu Asih akan stay di warung dari pagi hingga lepas duhur. Setelahnya komando warung akan diambil alih oleh anaknya, sementara Bu Asih pulang untuk beristirahat.
“Saya sempat berhenti, benar-benat berhenti, sama sekali ndak ke warung. Tapi rasanya jenuh, Mas. Mungkin karena dari dulu sudah terbiasa beraktivitas di warung, jadinya ndak bisa berhenti. Jadi ya sudah akhirnya saya tetap ke warung saja selagi masih kuat,” ungkapnya.
Selain itu, bekerja membuat Bu Asih merasa lebih bugar dibanding dengan harus duduk-duduk di rumah. Karena dengan datang ke warung, ia bisa menggerakkan sendi-sendinya. Minimal untuk menotal harga di kalkulator atau membuka-tutup laci untuk memasuk-keluarkan uang. Tak hanya itu, dengan tetap bekerja, setidak-tidaknya dengan duduk di meja kasir, daya ingatnya masih bisa terjaga. “Biar ndak pikun” kalau kata Bu Asih.
Cita rasa yang membekas di lidah
Beberapa saat sebelum obrolan kami berakhir, Bu Asih membeberkan, dalam sehari ia bisa menghabiskan 100 hingga 70 kg daging sapi serta 30-40 kg daging ayam. Kecuali di masa-masa PSBB dan PPKM beberapa bulan yang lalu.
Di masa-masa tersebut, diakui Bu Asih memang sangat menyulitkan operasional warung. Dalam sehari ia hanya memasok separuh dari persediaan daging di hari-hari normal. Ia bahkan sempat menutup warungnya selama berbulan-bulan.
“Jenengan apa sampai mem-PHK karyawan, Bu, di masa-masa sulit itu?” tanya saya.
“Ndak satupun saya PHK, ndak ada pemotongan gaji. Saya tetap berusaha memenuhi hak-hak mereka sebagai karyawan saya. Karena gimana-gimana, memang sudah tanggung jawab saya buat muter otak biar warung ini tetep operasi dan bertahan di masa sulit,” terang Bu Asih.
Lagipula, menurut Bu Asih, selama berpuluh-puluh tahun ia mengoperasikan warung miliknya, ia sudah kerap kali dihadapkan dengan situasi sulit. Bahkan sempat pula mendekati bangkrut. Tapi Bu Asih sendiri selalu punya strategi untuk membuat warungnya tetap berjaya, sekurang-kurangnya teteap bertahan.
“Ada lah siasatnya. Tapi yang lebih penting kan pasrah dan mohon pertolongan saja sama Gusti Allah. Dan lagi-lagi, ini semua sebab barokah karena bekerja dengan jujur dan memberi pelayanan terbaik,” tuturnya lembut.
“Ya sudah, ibu tinggal dulu, ya. Samean icip-icip saja, biar tahu rasanya,” ucap Bu Asih sesaat setelah saya kecup punggung tangannya.
***
Sesuai pesanan, saya mencicipi sate ayam. Dari gigitan pertama, saya menemukan sensasi rasa yang cukup khas. Memadukan antara bumbu kelapa ala sate Surabaya dan bumbu kacang ala sate Madura. Rasanya gurih, dagingnya tak terlalu empuk, namun begitu membekas di lidah.
Sensasi pedas yang dihadirkan dari cabe rawit juga terasa amat mantap. Taburan serundeng di atas nasi menurut saya sih tidak terlalu berpengaruh. Tapi bagi beberapa orang, serundeng yang ditaburkan di atas nasi membuatnya terasa lebih gurih.
Ada banyak menu yang tersedia di warung Sate Klopo Ondomohen Bu Asih, Di antaranya, sate ayam, sate daging sapi, sate lemak, sate usus (ayam), sate otot (sapi), sate sumsum (sapi), dan juga menu sate campur (ayam dan sapi), dengan harga kisaran antara Rp24 ribu hingga Rp35 ribu.
Sobirin (47), salah satu pelanggan yang saya temui hari itu mengungkapkan, dirinya sudah sejak lama berlangganan di warung Sate Klopo Ondomohen Bu Asih. Pria asal Mulyorejo itu biasanya akan datang tiap akhir pekan bersama keluarganya.
“Ibarat kalau makan sate di sini, itu rasanya membekas nyampe rumah, Mas. Top lah pokoknya. Bumbu kacang yang diracik dengan cabe rawit dan irisan bawang merah di sate ini kalau kata saya benar-benar nikmat. Kalau ngomongin sate kelapa Surabaya, ya sate Ondomohen ini yang paling mantap,” akunya sambil mengarahkan dua jempol ke arah saya.
BACA JUGA Mencicipi Gudeg Jogja di Medan yang Diracik Orang Batak Karo dan liputan menarik lainnya di Susul.