Tempat Pelelangan Ikan Tasik Agung Rembang bisa dibilang sebagai jantung ekonomi di sektor perikanan bagi masyarakat Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di sini banyak ditemui ibu-ibu yang bekerja untuk mencari penghidupan di sana.
Mojok.co menemui beberapa ibu–ibu tangguh di sana. Berbagai cerita dan persoalan hidup menjadi latar belakang bagi ibu-ibu tangguh ini sehingga harus turut berjibaku mencari penghidupan.
***
Sekitar pukul 07.00 WIB, suasana di Kampung Bahari Nusantara TPI Tasik Agung Rembang sudah riuh rendah oleh ibu-ibu yang tengah bersiap-siap menunggu ikan diturunkan dari kapal.
Hari itu, Kamis (6/01/2022), usai memarkir motor di tempat parkir umum, saya lantas berjalan-jalan menyisir TPI Tasik Agung Rembang sembari menikmati sinar matahari yang terasa hangat menyentuh wajah saya. Sambil sesekali mengambil gambar aktivitas orang-orang di TPI Tasik Agung dengan menggunakan kamera ponsel.
“Bagi yang rumahnya di Kecamatan Sluke atau Kragan jam enam pagi begitu sudah harus nyegat angkutan, Mas,” ujar Solekhah (41), salah satu ibu-ibu yang bekerja sebagai buruh di TPI Tasik Agung yang pagi itu saya temui. Kecamatan Sluke dan Kecamatan Kragan merupakan dua kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari Tasik Agung Rembang. Kira-kira sekitar 24 km.
Seturut keterangannya, cukup banyak ibu-ibu dari dua kecamatan tersebut yang bekerja di TPI Tasik Agung Rembang. Termasuk Solekhah sendiri yang sedianya baru menjadi buruh di TPI Tasik Agung dalam kurun dua tahun terakhir.
“Kalau kerjanya sendiri jam delapan kami sudah harus mulai memilah-milah ikan sesuai permintaan dan arahan dari mandor kami,” sambungnya yang ditingkahi dengan bisik-bisik dari ibu-ibu lain di belakangnya.
Jam di ponsel saya menunjukkan pukul 07.19 WIB saat saya mulai berbincang dengan Yu Sol, demikian ia kerap dipanggil. Masih ada cukup waktu untuk mendengar cerita dari Yu Sol sebelum pukul 08.00 WIB si mandor bakal meneriakinya—bersama ibu-ibu yang lain—untuk segera mengambil keranjang-keranjang berisi ikan.
Tak ingin jadi beban suami
Yu Sol awalnya agak kikuk ketika saya mengutarakan maksud saya untuk mewawancarainya. Maklum saja, saat itu ia memang sedang duduk bersama banyak ibu-ibu lain. Maka agar lebih leluasa dalam bercerita, saya menawarkan Yu Sol untuk berbincang di bawah pohon cemara di dekat gapura masuk Kampung Bahari Nusantara.
“Isin (malu) eg, Mas, kalau cerita di dekat orang banyak. Biasa, ibu-ibu, nanti malah jadi bahan gosip,” tuturnya sambil membenarkan letak kerudungnya yang berantakan diterpa angin.
Tidak sendiri, Yu Sol juga mengajak salah satu temannya, Mbak Ita (29) untuk menemani. Tentu saja saya persilakan. Cerita dari Mbak Ita sepertinya juga menarik untuk didengarkan.
Kepada saya Yu Sol mengaku baru bekerja di TPI Tasik Agung pada 2020 lalu. Pada tahun-tahun sebelumnya, ia hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Hari-harinya ia habiskan untuk mengurus rumah dan dua anaknya. Sementara sang suami merantau sebagai TKI di Malaysia.
“Laki-laki dari Kecamatan Sluke itu kan kebanyakan memang merantau, Mas. Antara di Kalimantan sama di Malaysia,” ujarnya.
Yu Sol menceritakan, sekitar tahun 2018 kondisi keuangan keluarganya agak memburuk. Sang Suami diakuinya sampai harus bekerja berkali-kali lipat lebih keras agar bisa mengirimkan cukup uang ke rumah. Kondisi tersebut terasa makin runyam lantaran kebutuhan sekolah dua anaknya yang semakin meningkat.
Anak pertamanya, pada tahun 2018 itu, sebentar lagi akan meneruskan ke perguruan tinggi. Sementara anak keduanya sudah akan masuk SMA. Yu Sol memantapkan niat untuk mencari kerja karena ia ingin meringankan beban suaminya yang sudah bekerja terlalu keras.
Yu Sol, atas izin suami, akhirnya memutuskan untuk menjadi buruh di salah satu pabrik rajungan di Dusun Pendok, Kecamatan Sluke. Dalam benaknya saat itu, selama ini ia tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali. Ijazah yang ia miliki pun hanyalah ijazah SD. Maka yang paling mungkin ia kerjakan adalah menjadi buruh di pabrik rajungan karena tidak membutuhkan keterampilan khusus. Yang penting sabar dan teliti saja.
“Aku sempat mau nyusul suami saja, Mas, minta dicarikan kerja di sana (Malaysia). Jadi pembantu (ART) kan ya tidak masalah, to. Tapi sama suami tidak boleh. Ya sudah nyari kerja di sini-sini saja,” tuturnya.
Namun, ternyata Yu Sol tidak bertahan lama di pabrik pengolahan rajungan tersebut. Ia mengaku tidak betah. Tidak lebih dari tiga bulan, Yu Sol memutuskan berhenti dan berniat mencari pekerjaan lain.
“Lara kabeh (sakit semua), Mas. Kalau ngupas rajungan itu sering tertusuk cangkangnya. Aku tidak kuat,” ungkapnya.
Beberapa kali Yu Sol juga sempat mencoba menjadi pesuruh di beberapa toko kelontong di Pasar Sluke. Sayangnya, ia seperti selalu terantuk nasib sial. Di toko kelontong pertama, ia sempat bekerja hingga akhir 2018. Namun, pemilik toko mendadak menutup tokonya secara permanen lantaran bangkrut. Alhasil Yu Sol harus memutar otak untuk mencari pekerjaan lagi.
Di pertengahan tahun 2019, Yu Sol bekerja di salah satu toko kelontong yang juga masih di sekitar Pasar Sluke. Hanya saja ia memilih berhenti atas keinginannya sendiri karena merasa tidak cocok dengan sifat si pemilik toko. Sampai akhirnya pada awal-awal tahun 2020 ia menjajal untuk menjadi buruh di TPI Tasik Agung Rembang dan masih bertahan hingga sekarang.
“Kerjanya tentu lebih berat di sini (TPI), Mas. Tapi tidak apa-apa, saya pilih di sini saja. Lagipula bayarannya lebih gede dari pas di toko dulu,” akunya.
“Setidak-tidaknya bayaran di sini kalau buat nambal kebutuhan-kebutuhan kecil di dapur atau uang jajan anak bisa lah, Mas,” imbuhnya.
Seturut pengakuan Yu Sol, bayarannya sebagai buruh di TPI Tasik Agung per harinya adalah Rp50 ribu jika jam kerja normal (08.00 WIB-17.00 WIB). Kalau lembur, yakni hingga lepas magrib, ia bisa mendapatkan bayaran hingga sebesar Rp75 ribu. Angka yang lebih mendingan ketimbang upah waktu ia jadi pesuruh di toko kelontong.
Hanya memang tidak bisa dimungkiri, sepulang dari TPI, masih seturut pengakuan Yu Sol, sekujur badan terasa remuk redam. Apalagi kerja di TPI memang tidak mengenal libur. Hanya di Hari Raya Idul Fitri saja mereka mendapatkan jatah libur. Adapun di luar itu, libur hanya didapat jika izin/sengaja tidak masuk. Entah untuk karena sakit atau karena ada urusan keluarga.
Yu Sol menambahkan, sebenarnya sang suami sempat menyarankan agar Yu Sol berhenti bekerja. Suaminya merasa tidak tega jika mendengar kabar istrinya tiap hari harus berangkat pagi dan pulang lepas magrib. Itu belum ditambah kesibukan lain untuk mengurus rumah.
Namun, Yu Sol bersikukuh ingin tetap bekerja. Pertama, karena ia sudah terlanjur terbiasa bekerja di luar, sehingga mungkin akan bingung (gabut) jika seandainya lebih banyak berdiam diri di rumah. Kedua, dan ini yang paling utama, Yu Sol sudah tidak mau menjadi beban bagi sang suami. Toh, menurutnya, anak-anaknya juga sudah beranjak dewasa, tidak terlalu repot mengurusnya.
Tidak jauh berbeda dengan Yu Sol, motif Mbak Ita bekerja di TPI pun demikian; tidak ingin menjadi beban bagi suami.
Ibu satu anak itu mengungkapkan, sebelumnya ia sempat bekerja di salah satu pabrik pengolahan ikan yang cukup terkenal di Rembang. Ia memilih pindah karena merasa hak-haknya sebagai buruh tidak terpenuhi dengan selayaknya.
“Suamiku kuli serabutan, Mas, penghasilannya tidak tentu. Jadi ya lebih baik aku bantu (bekerja) biar bebannya ditanggung berdua,” ujar perempuan asal Sluke itu singkat saja, menyusul teriakan dari ibu-ibu lain yang mengisyaratkan kalau jam kerja sudah dimulai.
“Istirahat jam 12 sampai jam satu siang. Kalau pulangnya paling cepat jam lima sore,” jawab Mbak Ita ketika saya tanya mengenai jam istirahat dan jam pulang, guna mencari celah untuk melakukan wawancara lagi dengan ibu-ibu yang lain.
Terpaksa menjadi tulang punggung keluarga
Keesokan paginya, Jumat (7/1/2022) saya kembali lagi ke TPI Tasik Agung Rembang untuk menyambung wawancara. Karena saya batal melanjutkan waancara di hari sebelumnya lantaran ada urusan lain. Namun, kali itu saya berbincang dengan Sukanah (49), seorang ibu-ibu yang bekerja sebagai buruh, yang juga masih berteman dengan Yu Sol.
Sukanah, perempuan asal Kragan itu sebelumnya tidak pernah menyangka bahwa ia harus menjadi bagian dari ibu-ibu yang bekerja serta menjadi tulang punggung keluarga. Awal mula ia adalah ibu rumah tangga biasa. Sehari-hari mengurus rumah dan satu anaknya yang masih SMP. Hingga peristiwa memilukan menimpa keluarga kecilnya di penghujung tahun 2017.
Sang suami yang sehari-hari berprofesi sebagai nelayan dilaporkan tenggelam di laut. Pencarian sempat dilakukan selama hampir satu minggu. Baik dengan bantuan Tim SAR setempat maupun “orang-orang sakti” di daerah tempatnya tinggal. Namun nahas, hasilnya nihil. Jasad suami tidak ditemukan bahkan hingga saat ini.
“Nyesek, hidupku juga sempat tidak karu-karuan. Tapi aku ingat, aku masih punya anak dan ibu yang harus aku urus. Abot (berat), Mas, tapi aku nyoba netegke ati (menguatkan hati). Sejak saat itu aku kerja jadi buruh di TPI. Pindah-pindah. Dulu di Kragan, terus Sarang, terus awal tahun 2021 pindah di sini (TPI Tasik Agung),” tuturnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Anakku dua. Satu baru saja berkeluarga, yang kecil masih kelas dua SMP. Kan tidak mungkin kalau aku nunut (numpang) makan ke anakku yang gede. Wong dia juga ngurus keluarganya sendiri. Jadi ya mau tidak mau aku harus kerja sendiri,” sambungnya.
Yu Kanah (panggilan akrab Sukanah) melanjutkan, pekerjaan menjadi buruh di TPI baginya adalah pekerjaan yang paling mudah dan paling mungkin dijangkau oleh ibu-ibu yang bekerja seperti dirinya. Pertama, tidak membutuhkan ijazah dan keterampilan khusus. Kedua, tidak ada batasan usia. Itu lah alasan kenapa ia selama ini hanya bergelut sebagai buruh di TPI, meski berbeda-beda tempat.
“Kalau ditanya capek ya capek, Mas. Bangun jam tiga pagi. Itu sudah harus masak, nyuci, bersih-bersih, dan lain-lain. Ibuku sudah tua, jadi tidak bisa dipasrahi ngurus rumah. Pulang malam itu pun tidak langsung istirahat. Masih harus cuci piring lah, ini lah, itu lah,” ucapnya.
“Uang dari pabrik sebisa mungkin aku cukup-cukupkan buat kebutuhan rumah, berobatnya ibu, sama kebutuhan anak. Tapi ya tetep saja lebih banyak hutangnya, Mas. Ya sudahlah, Mas, memang nasibnya ditakdirkan kayak begini,” lanjutnya sembari menundukkan kepala. “Yang penting aku sudah berusaha, bekerja sekuat-kuatku,” ujarnya menambahkan.
Awal-awal bekerja sebagai buruh di TPI diakui Yu Kanah memang sangat melelahkan. Ia bahkan mengaku hampir menyerah dan berhenti. Namun, ia sadar kalau ia tidak punya tempat lain selain di tempat yang becek dan bau amis itu.
Ia juga sadar kalau ia lah kini tulang punggung keluarganya. Maka ia pun dengan sekuat hati terus menjalani rutinitasnya sebagai buruh di TPI. Lambat laun Yu Kanah juga semakin terbiasa dengan sekujur badan yang seperti remuk redam tiap sepulang dari TPI; bau amis yang sangat menyengat; juga hal-hal tak menyenangkan lain seperti mendapat sumpah serapah dari si mandor kalau ada sedikit kesalahan atau kala berhadapan dengan ibu-ibu julid.
“Namanya juga ibu-ibu, Mas. Ya ada lah yang julid. Modelnya geng-gengan. Kalau tidak cocok sama kelompok mereka ya tidak bakal ditemani. Malah yang ada kita-kita ini jadi bahan rasan-rasan (ghibah),” tutur Yu Kanah.
“Tapi lama-lama juga kebal, kok, hehehe,” tambahnya.
Hari tua yang masih abu-abu
Di sisa sedikit waktu sebelum pukul 08.00 WIB, saya mencoba bertanya perihal rencana Yu Sol dan Yu Kanah di hari tuanya kelak. Mengingat, tentunya ada masa di mana Yu Sol dan Yu Kanah akhirnya benar-benar berhenti jadi ibu-ibu yang bekerja sebagai buruh di TPI. Persoalan usia memang tidak bisa dibantah.
Meski pada dasarnya menjadi buruh TPI tidak ada batasan usia, tapi keduanya sepenuhnya menyadari bahwa tubuh renta mereka kelak pastinya sudah tidak akan sanggup lagi digunakan untuk berjibaku lagi dari pagi hingga petang hari. Pun kerja mereka pastinya sudah akan melamban. Bukannya membantu banyak, kondisi tersebut justru akan merepotkan buruh-buruh lain yang lebih muda.
Yu Sol sendiri mengatakan kalau pasti tiba masanya ia benar-benar berhenti jadi buruh di TPI. Ia mengaku ingin istirahat di masa tuanya kelak. Demikian pula dengan Yu Kanah. Hanya saja keduanya masih belum berani membayangkan lebih jauh masa tua seperti apa yang akan mereka hadapi jika mereka tidak sanggup bekerja lagi. Sementera mereka berdua sama-sama bertekad untuk tidak akan merepotkan anak mereka masing-masing.
“Yang penting tugas sebagai orang tua selesai dulu. Dalam artian, ya kalau sudah menyekolahkan anak sampai lulus, terus sudah menikahkan anak, ya sudah, selebihnya biar anak-anak mengurusi rumah tangganya sendiri. Aku sebagai orang tua tidak ingin merepotkan dan menambahi beban mereka,” ucap Yu Kanah.
“Heem. Urusan nanti kami, orang-orang tua ini bagaimana, yawes sak mangan-mangane, sak mlaku-mlakukne (semakan-makannya, sejalan-jalannya) saja lah. Yang penting separuh tugas sebagai orang tua sudah terlaksana,” sambung Yu Sol menambahi.
Reporter : Muchamad Aly Reza
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Jejak Bathoro Katong, Anak Prabu Brawijaya V yang Dirikan Ponorogo dan liputan menarik lainnya di Susul.