MOJOK.CO – Esai ini merupakan respons atas esai “Perjuangan Buruh Kok Minta Naik Upah Melulu” yang tayang di Mojok Selasa kemarin.
Bagi buruh, upah memang masalah sentral karena menyangkut pemenuhan kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidupnya. Upah adalah bagian yang diterima buruh dari hasil produksi perusahaan. Kalau bukan upah, lantas apa lagi? Setiap tahun buruh menuntut kenaikan upah minimum sebagai proteksi agar upahnya tidak jatuh ke tingkat terendah upah subsisten (hanya cukup untuk bertahan hidup).
Awalnya, penentuan upah menggunakan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang diatur dalam Permenakertrans 13/2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL. Pemerintah memberikan jatah 60 item KHL sebagai dasar dari penentuan upah. Dari 60 item tersebut, di antaranya ada beras 10 kg, daging 0,75 kg, ikan segar 1,2 kg, celana dalam 6/12 potong, kaos dalam atau kutang 6/12 potong, sepatu 2/12 pasang, dan rekreasi 2/12 kali dalam bulan. Untuk mengetahui jenis item dan jumlahnya, silakan membaca permen ini.
Memang hebat KHL ini, urusan beli sempak saja diatur. Buruh harus ingat baik-baik, hanya boleh beli 6 sempak, 2 pasang sepatu, dan 2 kali rekreasi di objek wisata terdekat dalam 1 tahun. Kalau lebih dari itu, berarti tekor.
Masalah tidak berakhir di kuantitas item, tapi juga kualitasnya. Sebelum perundingan upah di Dewan Pengupahan, pihak serikat buruh dan pengusaha diperkenankan melakukan survei pasar untuk mengetahui harga item-item ini.
Pihak serikat akan melakukan survei harga barang dengan melihat kualitasnya. Sebaliknya, pengusaha melakukan survei barang yang harganya termurah. Kawan saya pernah bilang, “Duh, Mbak, kalau pengusaha yang survei, mereka bisa dapat harga Rp10 ribu untuk tiga celana dalam.”
Saya jadi ingat kejadian di 2014 dalam penentuan upah minimum di Jawa Tengah. Gubernur Ganjar Pranowo merasa geram karena buruh perempuan mengusulkan BH Triumph dimasukkan ke dalam komponen KHL. Media lalu memberitakan pernyataan Gubernur tanpa penjelasan dari serikat buruh. Tidak ada prinsip jurnalistik cover both sides. Buruh dihakimi habis-habisan di media sosial karena harga BH Triump itu Rp700 ribuan.
Saya yang tidak percaya buruh menuntut kutang harga selangit menghubungi serikat buruh di Semarang untuk melakukan konfirmasi dan ini jawabannya:
“Saat pihak Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) melakukan survei pasar, mereka mengajukan harga BH sebesar Rp15 ribu. Kami tidak mau, karena itu tidak layak. Maka, kami ingin melakukan survei pasar di swalayan yang kualitas barangnya lebih baik. BH merek Triumph yang kami maksud adalah yang KW (tiruan). Di lapangan ada banyak BH Triumph KW dari KW 1 sampai KW 10. Harga BH Triumph yang kami maksud sekitar Rp100 ribu,” kata orang yang saya hubungi.
Buruh perempuan menginginkan kutang yang lebih berkualitas agar tidak cepat molor dan lebih nyaman. Apalagi ruang kerja biasanya panas sehingga buruh perempuan berharap menggunakan kutang dengan bahan yang bagus untuk menyerap keringat dan tidak gatal. Kutang harga Rp100 ribu juga akan mendongkrak nilai upah minimum sebesar Rp50 ribu.
Kalau harga kutang Rp15 ribu, artinya buruh hanya mendapatkan jatah Rp7.500 sebulan untuk membeli kutang. Sudah beli kutangnya dua bulan sekali, harganya Rp15.000 pula! Nggak kebayang gatalnya. Bekerja sambil garuk-garuk itu nggak enak.
Dengan kata lain, jatah uang pembeli kutang adalah Rp15 ribu x 6 potong = Rp90 ribu dalam satu tahun. Bisa aja sih beli kutang harga Rp30 ribu per potong, tapi berarti cuma bisa beli tiga kutang dalam satu tahun. Gimana ngaturnya?
Urusan kutang aja udah panjang begini, gimana 59 Komponen KHL lainnya? Survei berhari-hari di berbagai tempat seperti pasar tradisional, toko ritel modern, sampai warung dekat rumah untuk mencari harga rata-rata untuk satu item. Semoga dengan mengetahui proses ini, pembaca yang budiman bisa memahami bahwa buruh itu tidak hanya nuntut, nuntut, dan nuntut, tapi juga mikir.
Setelah selesai survei, kedua belah pihak membawa data masing-masing di meja perundingan. Pihak pemerintah dan akademisi yang terlibat dalam perundingan juga membawa data sendiri. Perundingan memakan waktu berhari-hari. Buruh datang ke lokasi perundingan siang dan malam tidak saja untuk mengawal, tapi juga menonton.
Dalam survei harga dan perundingan upah, posisi buruh perempuan menjadi penting. Beberapa di antaranya menjadi juru runding. Karena tak ada yang bisa mengalahkan perempuan dalam pengetahuan harga-harga barang dan kualitasnya. Di sinilah kita bisa menyaksikan The Power of Emak-Emak yang sesungguhnya.
Pada 2012, kenaikan UMK sebesar 30% sebetulnya tidak cukup menutupi penurunan upah riil. Dalam kondisi upah mencapai Rp2,2 juta pada 2012, upah riil buruh turun hampir 50% dalam 15 tahun yang diukur berdasarkan perbandingan harga beras atau harga emas. Silakan baca di sini.
Dalam hukum kapitalisme, perusahaan memang berusaha mencari laba sebesar-besarnya. Persaingan menjadi hukum besinya. Keberadaan upah minimum justru memastikan pengusaha agar membayar upah buruh secara rata-rata dan mendapatkan keuntungan juga secara rata-rata.
Apabila suatu perusahaan berhasil menemukan cara mengurangi upah, misalnya dengan mendapatkan fasilitas penangguhan upah minimum, persaingan menjadi tidak sehat. Sebabnya, ada perusahaan tertentu yang mampu mendapatkan tingkat keuntungan di atas rata-rata. Kelebihan ini bisa digunakan untuk mengalahkan perusahaan pesaing agar menang dalam persaingan pasar.
Selain itu, keberadaan upah minimum yang ditetapkan oleh negara ini menguntungkan pengusaha. Sebab, buruh akan menjadikan negara sebagai sasaran tuntutan. Ketika kapitalisme muncul di Inggris dan menyebar ke Eropa dan AS, buruh menuntut upah langsung ke majikan sehingga perselisihan terjadi di lingkungan pabrik yang membuat aktivitas produksi tidak kondusif. Coba tanya deh ke pengusaha, lebih senang mana: buruh demo di depan pabrik atau buruh demo ke kantor pemerintah?
Sejak PP 78/2015 tentang Pengupahan disahkan, perundingan di Dewan Pengupahan menjadi sekadar formalitas. Pemerintah menetapkan besar kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Penentuan KHL juga disurvei setiap lima tahun sekali. Tidak ada lagi tontonan seru perundingan. Padahal saya mau usul agar disiarkan secara live. Buruh bisa menyaksikan di layar tancap di depan ruang perundingan dan tidak perlu lagi ngintip-ngintip lewat jendela.
Nilai upah yang murah, yang tidak sebanding dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan, menjadikan buruh harus mengambil jam kerja tambahan yang disebut lembur. Banyak sekali buruh yang menambah jam kerja dua jam menjadi 10 jam sehari, bahkan masih bekerja di hari Sabtu dan Minggu.
Baru-baru ini ada satu kasus buruh marah-marah ke atasannya sambil membawa gunting karena tidak diberikan lemburan. “Kamu mau bunuh saya? Dari mana saya bayar utang cicilan saya kalau tidak ada lembur?” kata si buruh.
Lembur menjadi candu yang mengalahkan waktu bersama keluarga dan bersosialisasi. Begitu tergantungnya buruh dengan lembur, sampai tidak mau ikut pendidikan dan pelatihan. Inilah salah satu sebab yang membuat serikat sebagai sekolah kaum buruh gagal dipraktikkan dalam kenyataan. Ketika pengetahuan buruh terbatas, ketergantungannya kepada elite-elite serikatnya juga semakin tinggi.
Selain itu, yang juga jarang diketahui adalah elite serikat buruh biasanya adalah individu-individu yang memiliki jabatan di perusahaan, seperti leader, supervisor, hingga manajer. Mereka biasanya mengembangkan hubungan yang erat dengan manajemen dan pemilik perusahaan. Kepatuhan buruh kepada elitenya adalah kepatuhan terhadap atasan itu sendiri. Di situasi seperti ini, serikat pekerja sejati sebetulnya sudah hilang menjadi sekadar organisasi aristokrat buruh yang berkedok serikat pekerja.
Saya setuju tuntutan buruh memang tidak harus melulu soal upah. Buruh seharusnya menuntut tidak lagi berdasarkan nilai pemenuhan kebutuhan subsisten. Lebih maju lagi, buruh harus menuntut berdasarkan keuntungan perusahaan. Ini membutuhkan regulasi baru dari pemerintah.
Suatu waktu, saya pernah nimbrung dalam perundingan antara serikat buruh dan bupati di suatu daerah. Saat itu serikat buruh menuntut pencabutan PP Pengupahan. Bupati mengaku tidak bisa memenuhi tuntutan ini karena bukan wewenangnya, tapi wewenang pemerintah pusat. Dia menyarankan agar buruh berunding dengan pengusaha dari hati ke hati seperti orang tua dan anak. Bagaimanapun juga perusahaan adalah ladang bersama yang harus dijaga, katanya.
Saya bilang, “Bu, kita tidak masalah lewat jalur bipartit (perundingan dua pihak, pengusaha dan pekerja). Tapi, pemerintah daerah seharusnya bisa membantu dengan mengeluarkan regulasi agar perusahaan harus membuka buku keuangan perusahaan, agar kita bisa meminta bagian kita berdasarkan data tersebut. Ini bisa banget dilakukan, kan ada otonomi daerah.”
Eh, ibu bupatinya malah bilang, “Maaf, ini siapa dan dari mana, ya? Saya tidak pernah lihat sebelumnya.”
Hampir saja saya diusir keluar. Untungnya Ketua Serikat bilang, “Dia sama saya, Bu. Salah satu pengurus.” Selanjutnya jawaban bupati adalah akan menampung dan mengkaji usulan ini.
Kalau memang pengusaha dan buruh itu satu keluarga dalam menjaga sawah ladang bla bla itu, seharusnya mudah saja membuka buku keuangan perusahaan. Masak sih pengusaha sebagai orang tua nggak bisa berbagi data sama anaknya sendiri?
Tapi, kasus yang saya temukan malah bikin buruh ngeri. Seorang pengurus serikat buruh dilaporkan ke polisi karena dalam perundingan menjadikan data keuangan perusahaan sebagai argumen. Pihak pengusaha menganggap data keuangan adalah rahasia perusahaan yang bukan hak serikat buruh untuk mengetahuinya.
Lha, anak sendiri kok dilaporkan ke polisi karena tahu penghasilan orang tuanya. Keluarga macam apa ini?!