Saya menjalani ritual pagi hari seperti biasanya, membaca-baca timeline twitter sembari menikmati telur rebus setengah matang dan segelas susu. Tapi siapa sangka, susu yang saya dapat kali ini berlebihan, tidak hanya segelas, tapi malah se-timeline twitter!
Jumat, 10 April 2015, netizen digemparkan dengan munculnya beberapa foto semlohay Mbak Pamela. Bukan, bukan mbak Pamela Anderson yang uhuy itu. Yang dimaksud disini Mbak Pamela Safitri, salah satu personel Duo Ratu Dribel yang gaya pantul kedua bolanya itu dapat membuat lengah pertahanan para pria dan menghasilkan tembakan three-point pada beberapa lembar tisu.
Melalui akun instagram Mbak Pamela di @pamelasafitri, kebesaran ilahi dalam membesarkan bagian tubuh yang (dianggap) paling sensual terungkap. Bola yang biasa Mbak Pamela dribel dalam goyangannya itu, terekspos begitu saja tanpa dibalut apapun. Terbuka. Bahkan lebih terbuka dibanding sistem pemilihan ketua Perbasi beberapa waktu yang lalu.
Keterbukaan ini tentunya menuai berbagai opini publik. Pro dan kontra. Mulai dari yang bersyukur hingga yang melontarkan cercaan penuh kebencian—seakan dirinya lebih suci daripada tempat wudlu masjid. Pujian dan kecaman. Semuanya memiliki satu persamaan, yakni menjadikan Mbak Pamela sebagai objek. Ya objek tontonan, objek tertawaan, objek hinaan, atau mungkin objek tulisan—seperti saya.
Sesungguhnya kasus Mbak Pamela ini mengingatkan saya dengan banyaknya kasus remaja cewek masa kini yang foto pribadinya disebar-luaskan oleh cowok-cowok tidak bertanggung jawab.
Salah satu contoh kasus yang paling saya ingat, dan sempat menggegerkan netizen di tahun 2012 lalu, adalah Amanda Todds Story. Buat yang belum tahu, awalnya Dik Manda Todd ini cuma cewek abege biasa, seperti remaja pada umumnya, yang sedang sangat ingin eksis. Terbuai bujuk rayu pria hidung belang yang memujinya terus-terusan, Dik Manda iya-iya aja waktu diminta memperlihatkan kemolekan tubuhnya via webcam.
Ndilalah, kok Dik Manda ini akhirnya malah dikuntit dan foto syur-nya itu disebarkan ke orang sekitarnya. Meski udah beberapa kali pindah rumah dan pindah sekolah, Dik Manda tetep diteror kayak gitu. Dia depresi berat, sampe akhirnya gak kuat dan milih kendat.
Baik Mbak Pamela maupun Dik Manda, mereka sama-sama memiliki tingkat awareness yang rendah terhadap konten yang mereka bagikan ke orang lain. Mungkin dulu waktu masih dimabuk cinta, Mbak Pamela rela-rela aja diminta pose syur sama pacarnya.
Namanya juga cinta, kalo logis ya dia gak akan nunggu Rangga sampai 12 tahun. Namanya juga cinta, pose kayang di puncak Semeru aja bisa di-iyain, apalagi sekadar pose syur. Tapi namanya juga pria, makhluk dermawan, punya foto syur ya kenapa gak dibagi-bagi? Daripada mubazir disimpen sendiri, kan? Selain Mbak Pamela dan Dik Manda, di luar sana masih banyak juga dedek-dedek gemes yang rentan menjadi korban.
Di Surabaya saja sudah pernah terjadi kasus yang sedikit mirip-mirip Dik Manda. Si pelaku akhirnya mmang tertangkap, tapi sayangnya hanya dihukum beberapa tahun. Lha daripada kita mengutuk sistem hukum yang cuma memberatkan beberapa tahun atas hancurnya masa depan salah satu generasi muda penerus bangsa, mendingan pihak Kominfo menggalakkan penyuluhan tentang pembagian konten sensitif.
Usul saya sih gitu.
Mencegah lebih baik lho, Pak Menteri, daripada mengobati tapi malah salah obat pakai blokir. Daripada melulu sibuk menanggulangi hilir konten internet, kenapa nggak sekali-sekali membenahi hulunya? Dan ini semua demi kemashalatan generasi penerus bangsa.
Selamatkan Pamela Safitri, selamatkan dedek-dedek gemes!