MOJOK.CO – Mengintip profesi satpam di salah satu pabrik gula di Jawa Timur. Satria cerita pengalaman nggatheli-nya dimusuhi buruh satu pabrik. ((buruh satu pabriiik))).
Jadi satpam pabrik gula itu enak, kerjanya nggak ribet kayak di bagian produksi. Nggak enaknya, ya jenuh dan—satu lagi—harus siap dimusuhi buruh pabrik yang saya jaga.
Ya gimana, coba aja kamu ngawasi seluruh buruh agar aturan yang diberikan oleh pabrik bisa terlaksana dan tertib. Belum dengan menjaga barang-barang inventaris pabrik, yang artinya jangan sampai ada kehilangan atau pencurian satu barang pun milik perusahaan.
Misalnya, satu contoh pengalaman saya kerja jadi satpam pabrik. Saya diberi tugas di pos jaga parkiran sepeda motor buruh di sini. Aturan dari pabrik tidak boleh pulang kecuali jam 3 sore, namun pada kenyataannya banyak yang pulang setengah jam lebih awal.
Sebagai satpam, tentu saya berkewajiban untuk mengingatkan. Sayangnya, meski udah saya tegur, masih banyak saja yang bandel pulang lebih awal dari waktu aturan pabrik.
Jujur, sebagai satpam pabrik saya kayak nggak ada ajinya sama sekali. Kayak nggak punya kekuatan aja karena nggak didengerin karyawan kalau menegur agar pulang sesuai aturan yang berlaku.
Banyak orang pikir, kerja sebagai satpam itu enak. Tinggal duduk-duduk cantik, nonton tipi tabung 14 inchi, atau ngisi TTS yang covernya foto perempuan cantik. Padahal meski kelihatan santai begitu ada banyak tanggung jawab yang mempertaruhkan karier kami.
Apalagi sistem kemanan parkiran di pabrik yang saya jaga nggak pakai STNK untuk keluar-masuk kendaraan, melainkan pakai kartu parkiran yang ada nomernya. Cuma ditulis aja di buku. Kartunya satu paket, satu dipasang di sepeda motor, satunya dibawa pemilik kendaraan.
Masalahnya adalah, di pabrik yang saya jaga ini, kartu parkiran itu dibawa dua-duanya. Sebagai satpam kita nggak punya penanda mana motor yang masuk. Bakalan runyam kalau kartu parkir itu jatuh—misalnya, lalu ditemu maling. Lah, ya bukan tidak mungkin itu motor bablas.
Sangat mungkin satpam yang jaga pos bakal tetap mengizinkan motor itu keluar karena kartu parkirnya cocok. Motor amblas, meski ada satpam yang jaga di depan pintu. Dan ini jelas menerjunkan kredibelitas si satpam sampai ke kerak neraka.
Dan hal kayak begini, beneran pernah kejadian.
Ada yang kehilangan sepeda motor, karena ditaruh di depan lokasi parkiran, hilang karena waktu itu pabrik gula yang saya jaga sedang musim giling. Karena musim giling begitu, banyak orang berkeliaran lalu-lalang keluar pabrik.
Hal yang lumayan sedikit nggak bikin stres, saat itu posisi sepeda motor diparkir di luar lokasi parkir yang seharusnya. Jadi posisi satpam yang jaga masih aman. Saya nggak bisa membayangkan kalau sepeda motor itu diparkir di dalam. Wah, bisa-bisa teman saya yang kena dan bukan tidak mungkin dipecat Pak Bos.
Meski begitu, bukan risiko kehilangan sepeda motor yang membebani seorang satpam pabrik gula kayak saya. Soalnya kalau motor hilang itu jarang sekali kejadian. Hal yang lebih bikin pusing bagi satpam kayak kami ini adalah laporan kehilangan helm.
“Saya di sini jaga sepeda motor, kalau jaga helm, mana bisa nengeri satu per satu dari ratusan helm yang ada di gudang sepeda, Pak?”
Saya tahu, para buruh berhak menyalahkan saya kalau ada kasus pencurian helm, tapi jangan dipikir teguran itu tidak dianggap serius oleh satpam kayak saya. Demi reputasi profesi satpam, saya tetap melacak itu helm setelah dikasih tahu ciri-ciri helmnya. Bahkan sampai semalaman kadang saya nggak bisa tidur karena kasus ini.
Selain kasus helm hilang, ada satu lagi kasus yang bikin saya harus ngelus dada. Yakni kasus kunci buruh pabrik masih nancep di sepeda motor, udah gitu kadang mesinnya masih hidup. Udah kayak undangan VIP untuk maling rasanya, kayak ngawe-ngawe ke maling motor, “Silakan, Mas, motornya dimualing aja. Masih idup lho ini.”
Alasan yang sering saya denger ketika saya mengamankan hal kayak gini ya karena ada buruh yang datang hampir telat datang, jadi buru-buru. Ya, ya, alasan yang masuk akal meski kadang bikin emosi saya terpental-pental karena malah jadi rutinitas latihan jantung (karena takut kalau beneran kemalingan).
Datang hampir telat juga sering bikin sepeda motor para buruh diparkir morat-marit kayak kecambah tumpah. Padahal kami sudah kasih garis jalur agar parkirannya bisa rapi, namun masih saja pada parkir semrawut. Kayak sepeda motor yang diparkir malah jadi blokade jalan keluar-masuk—misalnya. Makin ruwet lagi kalau dalam situasi kayak gitu ada aja beberapa oknum buruh yang pulang sebelum waktunya.
Kalau kita tegasin perihal situasi kayak di atas, biasanya saya yang malah kena. Dikata-katain sama para buruh pabrik jadinya. Wajar saja, saya masih satpam baru, baru setahun lagi. Dengan pengalaman minim kayak gitu, saya suka gagap kalau menghadapi orang banyak. Maklum, belum pengalaman mengontrol kerumunan massa.
Ya kan prinsipnya sederhana, sebagai negeri demokratis, siapa yang lebih banyak kan yang lebih menang ya kan?
Meski begitu, kadang saya juga masih suka bingung. Mau saya tegasin, kok saya malah dimusuhi terus, tapi kalau pakai cara lembut kok waktu negur malah sering diremehin.
Cara paling efektif yang bisa saya lakukan sih ya cuma kasih foto dan laporan ke Komandan Regu. Dari Komandan Regu hal kayak gini lantas dilanjutkan ke kepala bagian pabrik. Dari sana nanti baru muncul teguran atau surat peringatan kepada buruh yang melanggar aturan.
Sebenarnya saya nggak ingin menggunakan cara-cara cupu kayak gitu, sebab sebagai satpam saya seharus berani menghadapi para buruh. Toh kedisiplinan ini kan agar sama-sama enak kok sebenarnya. Masalahnya, kalau udah sampai adu argumentasi, saya pasti kalah. Lidah saya jadi kena parkinson ketika berdebat.
Akhirnya yang keluar malah omongan nggak jelas dan nyendat-nyendat kayak karburator motor yang habis lewat genangan air Jakarta. Bukannya didengerin, malah seringnya diketawain.
Meski begitu, tak mengapa. Barangkali memang begitu risiko jadi satpam buruh pabrik. Profesi yang kalau ada masalah-masalah bakal jadi pihak yang kena paling pertama, tapi kalau minta sesuatu untuk ketertiban bersama, justru jadi pihak yang didengerin paling akhir.
Saya sih menikmati aja walaupun pahit kayak kopi kemarin pagi dan terus berprasangka baik atas apa yang terjadi.
Lagian saya juga sadar kok kalau saya ini juga cuma satpam, siapa juga yang mau dengerin ocehan nggak guna kayak gini? Satpam kok didengerin, satpam kok nulis terus dibaca, satpam kok dimuat di Mojok. Heleeeh, mana mungkin ya kan?
Satpam pabrik ini.
BACA JUGA Satpam BCA Dielu-elukan Netizen Tanda Profesi Ini Memang Krusial bagi Perusahaan atau tulisan ESAI lainnya.