MOJOK.CO – Beberapa baliho caleg yang tersebar di Indonesia bisa dibaca pakai analisis semiotika adilihung. Haya tentu setelah memenuhi kaidah 4 sehat 5 sempurna.
Lembaga Survei Charta Politika baru-baru ini merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa pemilihan anggota legislatif kalah pamor dibandingkan keriuhan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Hm, iya juga sih. Kalau dilihat-lihat memang benar juga hasil survei itu.
Bahkan Catra tak perlu bikin survei pun rasanya kita sudah sama-sama tahu bahwa Pilpres lebih banyak menyedot perhatian kita sampai mengisi perbincangan baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Di Facebook misalnya, dalam sekali scroll saja kamu mungkin akan mendapati beberapa status atau berita yang isinya tentang junjungan Cebong dan Kampret. Setelah itu coba arahkan pandangan pada jumlah komentar, ratusan? Ribuan? Ah, itu mah sudah biasa.
Sekarang coba kamu hitung-hitung berapa kali menemukan status atau berita yang isinya tentang Pileg?
Perbincangan tentang Pileg di Facebook mungkin kalah jumlah dengan status julid emak-emak. Sebagai contoh, di beranda saya sejauh ini perbicangan soal Pileg hanya diisi oleh kurang dari 10 orang. Padahal teman Facebook biasanya kan sampai ribuan.
Selain itu coba kamu ingat-ingat lagi, sudah sejauh mana kamu mengenal para calon anggota legislatif yang bakal mewakili dapilmu di parlemen nanti? Haya tentu kecuali caleg tersebut adalah keluarga sendiri, saya yakin informasi yang kamu dapat nggak sebanding dengan informasi mengenai Jokowi atau Prabowo.
Sebagai contoh saja, saya nggak tahu tuh siapa nama cucu dari caleg di dapil saya. Karena itu memang nggak penting. Tapi saya tahu Jan Ethes, bahkan kecemburuan Kaesang terhadapnya. Saya juga tahu Titiek Soeharto mantan istri Prabowo yang sekarang “rujuk koalisi”.
Sama halnya saya juga tak tahu soal program yang dibawa oleh para caleg di daerah saya. Malah saya lebih tahu tentang janji-janji Jokowi atau Prabowo ketika salah satu di antara keduanya terpilih nanti.
Saya hanya ingin bilang bahwa untuk informasi yang sebenarnya tak penting pun Pilpres jauh di atas ketimbang pileg. Ya fenomena ini tak salah juga sih sebenarnya.
Bahkan menurut Yunarto Wijaya, selaku Direktur Rksekutif Charta Politika, hal itu wajar terjadi. Selain karena konsep pemilu yang serentak, menurut Yunarto, “masyarakat memang menganggap pemilihan mayor itu pemilihan Presiden.” Gitu katanya.
Oke deh, saat ini kebanyakan dari kita sudah menentukan siapa yang akan dipilih sebagai Presiden. Mau coblos siapa sebagian besar rakyat udah menetukan. Nah, ini berbeda dengan pileg, beberapa orang masih belum menentukan pilihannya. Bahkan ada juga yang nggak tahu betul mau pilih partai apa, mau pilih caleg siapa.
Padahal mengetahui lebih dalam tentang siapa caleg yang akan kita pilih itu sebenarnya merupakan hal penting juga lho. Ya kan rugi kalau nanti sudah kita pilih, eh, dianya malah lebih sering bikin puisi, bikin musik, bikin musikalisasi puisi.
Ya nggak apa-apa kalau puisinya bagus, kalau jelek? Lha kan nyesek. Udah kita bayar pajak buat gaji dia, eh dia malah bikin karya ekstrakulikuler yang jelek aja belum.
Atau jangan sampai kita memilih orang yang nantinya memprotes suatu aturan yang ternyata dia sendiri terlibat dalam pengesahan aturan tersebut. Contohnya? Ah, nggak usah disebut lah ya. Ada UU ITE jeh.
Oleh karena itu saya ingin membantu kamu, kamu, kamu, untuk lebih mengenal calon wakil rakyat kita. Bagaimana caranya? Ya dengan melihat foto yang mereka pampang di baliho. Iya foto-foto baliho caleg itu.
Kenapa baliho? Ya karena hanya itu yang dimiliki oleh para caleg dalam mengenalkan diri mereka. Mana mau mereka membaur sama rakyat jelata kayak kita. Kita kan miskin dan kotor. Mana level lah mereka. Apalagi caleg kayak Tommy Soeharto, yang dapilnya tiba-tiba nyelonong masuk sampai ke Papua.
Lagian kan kata Roland Barthes suatu objek (gambar) tak hanya menyampaikan sebuah informasi, melainkan juga memiliki nilai dan makna tertentu. Jadi ya biar disebut soksokan anak semiotika yang adiluhung, kita kaji dengan brutal nih, bagaimana sih baliho caleg menggambarkan kepribadian calegnya.
Oke, untuk yang pertama. Baliho caleg yang hanya menampilkan foto caleg dengan senyuman pasif-agresif ke kamera.
Nah, model foto begini adalah pose yang paling umum dipakai. Nyaris setiap caleg akan menggunakan pose seperti ini. Mirip-mirip kayak foto ijazah gitu lah. Cuma ya desainnya agak keren dikit.
Caleg yang menggunakan pose tersebut biasanya ingin menampilkan sesuatu yang jamak, mereka nggak mau yang ribet-ribet. Ikut aturan, sak klek, dan kaku. Yah, kadang masih menganut budaya-budaya klasik orde baru yang keren.
Caleg seperti ini biasanya sudah yakin bahwa mereka punya basis massa, sehingga tak perlu lagi menguras pikiran untuk mengenalkan dirinya ke masyarakat.
Tentu berbeda dengan baliho yang foto baliho calegnya terbalik terus ada jargonnya, “siap jungkir balik untuk rakyat.” Yang kaya gitu mah bisa ditebak karena basis massanya memang belum matang, sehingga perlu adanya sesuatu yang norak unik untuk mengenalkan diri.
Akan tetapi, karena pose baliho jenis normatif sudah sangat umum digunakan, maka boleh dibilang caleg seperti ini cenderung main aman. Yah, model anak sekolah yang apa-apa ikut sama suara terbanyak teman-temannya aja.
Lha gimana? Sejak dari desain baliho saja sudah ikut-ikutan. Mana ada inisiatifnya kalau jadi anggota legislatif?
Jenis baliho caleg kedua, foto calegnya nggak sendirian.
Biasanya model baliho caleg ini di sudut tertentu dipasang foto tokoh yang sudah dikenal masyarakat. Misalnya foto caleg yang berdampingan dengan Presiden Soekarno atau Presiden Soeharto.
Caleg jenis kedua ini sudah jelas merupakan caleg yang nggak pede. Merasa popularitasnya belum terkenal-terkenal amat. Bertolak belakang dengan jenis pertama, caleg seperti ini cenderung merasa insecure, sehingga perlu untuk membonceng tokoh lain untuk kampanye.
Kalau pun tidak kenal tokoh-tokoh nasional, beberapa baliho caleg kadang perlu nebeng ke sosok yang udah terkenal duluan. Kayak artis, aktor, atau tokoh masyarakat setempat. Kayak, saya pernah lihat ada caleg yang nulis di bawah namanya begini: “Papanya Cynthia Lamusu.”
Bahkan yang absurd lagi. Pernah saya lihat ada juga baliho caleg yang nampilin foto David Beckham cuma gara-gara nomor urutnya angka 7. Yaelah, Beckham mah udah lama ganti ke nomor 23. Ke mana aja elu, Pak.
Yah, bisa ditebak caleg seperti ini tak jauh beda dengan jenis pertama. Di parlemen paling juga cuma numpang nama saja. Kerjaannya? Ya, serahin saja ke staf. Kelar. Nanti kan tinggal titip presensi. Lha gimana? Waktu kampanye aja suka nyatut-nyatut nama orang kok.
Ketiga. Baliho yang foto calegnya tak memandang ke arah kamera.
Jujur saja, kamu pasti sering menemukan caleg dengan foto begini kan? Yang fotonya seperti tak menghadap ke kamera. Pose seperti ini menunjukkan bahwa si caleg ingin terlihat sebagai sosok yang visioner, memandang jauh ke depan.
Masalahnya, pose model begini kadang bikin masyarakat justru merasakan ada jarak dengan si caleg. Maksudnya, si caleg dianggap membuang muka dari persoalan kiwari. Ngapain memandang ke depan kalau masalah di depan aja belum selesai?
Kayak ngomong sama rakyat tapi nggak lihat rakyat yang diajak ngomong. Soalnya yang perlu dilihat tentu proyek-proyek pemerintah yang sudah menanti dong. Duh, jadi kemecer.
Keempat. Baliho caleg yang menampilkan pose mengepalkan tangan.
Maksud dari foto seperti ini adalah ingin mengesankan diri agar si caleg terlihat bersemangat dan juga tegas. Biasanya juga diiringi dengan jargon-jargon tak pandang bulu. Misalnya no korupsi, no SARA, no narkoba, no sex bebas. Ealah, masukin aja semuanya, Pak.
Namun perlu diingat, semangat dan tegas tak selalu beriringan dengan kepentingan rakyat. Bisa saja dong semangat yang muncul malah semangat nipu rakyat serta tegas dalam menindas.
Ya gimana-gimana kan udah keluar duit banyak untuk nyalon. Ya bisa jadi tangan terkepal itu kamuflase kekhawatiran nggak bisa balik modal aja kalau akhirnya nggak jadi menang.