Lebaran tinggal menunggu hari. Ibu-ibu mulai sibuk menyiapkan kue kering Lebaran. Jemaah tarawih hanya tinggal dua baris. Kegiatan yang menonjol di masjid belakangan ini hanya penerimaan zakat fitrah. Panitianya pengurus masjid. Warkono juga Busairi menjadi orang yang paling sibuk. Bergantian, keduanya mencatat satu-satu pembayar zakat fitrah dan mal, mencatat pemberi sedekah dan infak.
Mereka melayani pembayar zakat di teras masjid. Orang-orang biasanya datang menyerahkan zakat pada sore hari sebelum berbuka. Pak Lurah, Pak RT, Mat Piti termasuk yang tertib dan rutin menyerahkan zakat mereka di masjid. Mereka dikenal sebagai orang berpengaruh di kampung. Pak Lurah, selain sebagai pejabat juga dikenal sebagai orang kaya. Mungkin paling kaya. Pak RT dan Mat Piti juga demikian.
Setiap tahun, selain membayar zakat fitrah, mereka menggenapinya dengan membayar zakat mal, sedekah, dan infak. Warkono dan Busairi punya catatannya. Pak Lurah zakat fitrah sekian, zakat mal sekian, infak sekian, sedekah sekian. Belum termasuk istri dan anak-anaknya. Pak RT dan Mat Piti juga demikian. Pokoknya komplit. Mereka seumpama manusia yang punya segalanya.
“Jadi orang kaya itu enak. Mau apa saja keturutan ya, War?”
“Namanya juga orang kaya, Ri.”
“Mau sedekah, mau infak, kapan saja bisa.”
“Kapan kita bisa seperti mereka ya, Ri?”
“Ya nanti kalau kita kaya, War.”
“Untuk sementara kita hanya menerima pemberian mereka ….”
Begitulah obrolan Warkono dan Busairi suatu sore. Tentu yang mereka bicarakan adalah orang-orang kaya di kampung semacam Pak Lurah, Pak RT, atau Mat Piti itu. Dan mereka masih asik berbicara, ketika Cak Dlahom tiba-tiba muncul.
“Wah, tumben, Cak …” Busairi membuka pembicaraan. Cak Dlahom tak segera menjawab. Dia langsung duduk di dekat dua orang itu. Di sebelah tumpukan kantong berisi beras.
“Dapat banyak, Ri?”
“Sampai sore ini dapat 100 kilo beras, Cak. Emas 20 gram. Uang sejuta.”
“Banyak juga, ya?”
“Tahun kemarin lebih banyak, Cak.”
“Orang-orang kaya itu sudah membayar semua?”
“Sudah, Cak. Mereka tertib setiap tahun. Mengerti bahwa pada harta mereka ada hak orang lain. Enak.”
“Enak apanya, Ri?”
“Ya enaklah, Cak. Mau zakat tinggal zakat, mau sedekah tinggal sedekah, mau infak tinggal infak ….”
“Oh, begitu ya?”
“Beda dengan kami, Cak. Mau sedekah saja susah. Jangankan sedekah, untuk makan dan minum sendiri saja masih kurang…,” Warkono ikut menjawab.
“Oh, begitu ya?”
“Iyalah, Cak. Saya kadang iri pada orang-orang kaya itu. Kapan saya seperti mereka.”
“Oh, begitu ya?”
“Kok begita-begitu melulu sih, Cak? Cak Dlahmon ndak ingin seperti mereka? Bisa membayar zakat, bisa bersedekah ke mana-mana, bisa membayar infak, namanya disebut-sebut orang?”
“Aku?”
“Iya, Cak. Sampean ndak ingin?”
“Aku?”
“Ya, sampean, Cak.”
Cak Dlahom diam. Sesaat hening. Wajah Busairi dan Warkono seperti bersalah. Mereka menanyakan kepada Cak Dlahom suatu keinginan atau khayalan yang sebenarnya adalah keinginan atau khayalan mereka yang belum tentu Cak Dlahom punya keinginan yang sama, atau mungkin malah tak punya keinginan seperti mereka.
“Maaf ya, Cak …” Warkono memecah suasana. Cak Dlahom memandang Warkono dan Busairi sembari mesem.
“Apanya yang perlu dimaafkan, War?”
“Pertanyaan kami, Cak.”
“Kenapa harus dimaafkan?”
“Kami kuatir salah atau menyinggung perasaan sampean?”
“Tidak ada yang salah. Dan kenapa aku harus tersinggung?”
“Ya siapa tahu, Cak…”
Suasana kembali hening tapi tak lama, karena Cak Dlahom segera menjawab.
“War, Ri, kenapa kalian ingin seperti Pak Lurah, Pak RT, atau Mat Piti yang kaya itu?”
“Karena mereka kaya dan dengan hartanya mereka beribadah.”
“Tidakkah yang mereka lakukan itu biasa?”
“Maksudnya, Cak?”
“Kalau kalian azan setiap kali waktu salat, biasa atau tidak, Ri, War?”
“Itu tugas rutin kami. Biasa saja.”
“Kalau Pak Lurah melayani keperluan administrasi warganya di desa ini, biasa atau tidak?”
“Sudah tugas Pak Lurah.”
“Polisi menangkap maling, biasa atau tidak?”
“Ya, pekerjaan polisi memang seperti itu.”
“Jadi semuanya biasa saja?”
“Ya, biasa, Cak.”
“Lalu kalian ingin yang biasa-biasa juga seperti itu?”
Warkono dan Busairi tak menjawab karena pembantu Pak Lurah datang menyerahkan takjil. Waktu buka memang sebentar lagi, tapi sore itu, di teras masjid hanya ada mereka bertiga. Mendekati lebaran, semakin sedikit orang yang memilih berbuka di masjid.
“Gimana ya, Cak. Kami kan hanya ingin kaya agar bisa bersedekah, beramal ….”
“Aku paham, Ri. Justru itu aku bertanya; kenapa kalian ingin jadi orang kaya hanya karena orang kaya itu rajin beramal dan bersedekah?”
“Selama ini kami hanya ingin, Cak. Ingin beramal, ingin bersedekah, ingin berinfak, tapi kami tak punya apa-apa. Jadi kami hanya memendam rasa saja; kapan kami jadi seperti orang-orang kaya itu ….”
“Karena kalian tidak mampu?”
“Untuk kebutuhan hidup kami saja susah, Cak.”
“Kalian ingin jadi polisi yang menangkap maling itu? Ingin jadi Pak Lurah yang melayani pembuatan KTP warganya? Ingin berazan seperti yang rutin kalian lakukan? Itu keinginan kalian?”
“Saya tidak paham, Cak…”
Cak Dlahom cekikikan. Warkono dan Busairi saling pandang. Dari tatapan mata mereka, mereka seperti kebingungan.
“Orang kaya bersedekah, beramal, berinfak, itu sudah semestinya, Ri, War. Sudah sewajarnya. Biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sebagian dari mereka bahkan bersedekah minimalis: hanya memenuhi hitungan yang ditentukan syariat. Mereka pelit. Kikir. Menumpuk-numpuk dan menghitung-hitung hartanya. Setiap kali ada orang datang kepada mereka hendak meminta sedekah atau hendak meminjam sesuatu, mereka akan bilang tidak punya sembari bertanya ini-itu, sehingga yang meminta pertolongan harus berbohong dan mengarang cerita. Mereka juga suka dipuji.
Tapi bahkan orang kaya yang bersedekah melebihi ketentuan yang diminta oleh syariat, orang kaya yang tidak pelit, yang tidak kikir, yang tidak suka dipuji, perbuatan mereka sebetulnya juga biasa-biasa saja. Mereka punya harta dan karena itu mudah bagi mereka untuk mengeluarkannya. Tidak ada yang istiewa dari semua perbuatan mereka. Biasa-biasa saja.
Menjadi istimewa apabila orang semacam kalian yang justru bersedekah, beramal, dan berinfak. Benar, kalian mungkin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, tapi justru karena kesulitan hidup kalian itulah, sedekah kalian menjadi luar biasa. Sangat istimewa. Orang miskin yang sanggup berinfak. Orang yang setiap hari hidup pas-pasan, mampu memberi pinjaman kepada orang yang lebih membutuhkan.
Dan kalian tahu, tak semua orang sanggup berbuat seperti itu. Nilainya berbeda. Sangat berbeda. Lalu kenapa kalian ingin dan menunggu jadi kaya, hanya agar bisa bersedekah dan menolong orang lain?”
Busairi dan Warkono terbelalak. Mereka memperhatikan Cak Dlahom seperti tak berkedip.
“Ri, War ….”
“Eh, iya, Cak …. Maaf.”
“Ini aku mau bayar zakat.”
Cak Dlahom menyerahkan sejumlah uang kepada Warkono. Busairi mencatatnya.
“Dan ini sedekahku untuk kalian.”
Busairi dan Warkono kembali terbelalak. Mereka melihat Cak Dlahom mengeluarkan uang Rp.50 ribu dari gulungan sarungnya lalu uang itu diserahkan kepada mereka.
“Tidak usah, Cak. Kami ada, kok.”
“Kalian berbasi-basi atau memang tidak mau?”
“Anu, Cak, anu ….”
“Karena uangnya kecil? Karena yang bersedekah orang seperti aku, lalu kalian remehkan?”
“Ya Allah, Cak Dlahom …. Tidak, Cak, tidak ….”
“Aku juga hanya bertanya kok. Aku juga menemukan uang itu di jalan. Bukan punyaku.”
Busairi dan Warkono hanya mengangguk. Mereka seperti burung beo. Terheran-heran karena Cak Dlahom yang tidak bekerja, yang tidak berpenghasilan, yang dianggap tidak waras, bersedekah untuk mereka.
[Diinspirasi dari kisah-kisah yang disampaikan Syeikh Maulana Hizboel Wathan Ibrahamy]
BACA JUGA tulisan tentang Cak Dlahom dan tulisan Rusdi Mathari lainnya.