MOJOK.CO – Terlepas dari sikapnya yang menyebalkan, Donald Trump adalah sosok yang lucu dan menggemaskan.
Harus diakui, ada bagian-bagian yang saya suka dari Donald Trump, sangat teknis sifatnya, walaupun itu tentu saja tidak menjadikan saya sebagai seorang pendukung, apalagi fans fanatik Donald Trump secara ideologis.
Salah satu hal teknis yang saya suka dari Trump adalah sikap refleknya dalam mengatakan “Thank, I appreciate it.” Ia sangat sering mengatakan hal tersebut dalam setiap konferensi pers utamanya di sesi tanya jawab.
Mungkin itu adalah kata-kata yang sudah jarang saya dengar di Indonesia. Sudah jarang orang mengatakan “Terima kasih” di negeri ini. Walaupun dalam konteks Donald Trump, kata-kata tersebut berlaku bagi orang-orang yang mendukungnya atau wartawan yang memberikan berita baik untuk Gedung Putih.
“Thank, I appreciate it.” Kata-kata ini adalah kebalikan dari sikapnya yang “straight to the point” dalam menyerang lawan, tanpa basa-basi, langsung dor, langsung ke nama lawannya. Sebut saja misalnya saat ia menyebut Joe Biden dengan sebutan Sleepy Joe. Atau Nasty Kamala. Atau Crooked Hillary. Atau Grazy Bernie. Atau Pocahontas Elizabeth Warren.
Selain itu, hal lain yang saya suka adalah Donald Trump selalu serius menghafal nama orang dengan baik. Kalau anda pernah ikut atau menonton acara live perjalanan dinasnya atau kampanyenya ke negara-negara bagian sebelum dan di saat kampanye, anda akan melihat Trump menyebut dan memuji senator, anggota House of Representative, gubernur, walikota, tokoh, baik lokal maupun federal, yang berasal dari negara bagian tersebut, tanpa melihat teks, dan dipujinya satu per satu di depan publik.
Juga, saya cukup suka dengan lagu-lagu rock di setiap panggung sebelum pidato Donald Trump di luar gedung putih. Mulai dari rock klasik sampai punk-rock, pernah bergema dari speaker acara-acara Donald Trump, dan biasanya diakhiri dengan lagu God Bless USA, sebelum Donald Trump memulai pidato. Lagu terakhir adalah perlambang cinta dan loyalitas kepada Amerika di satu sisi, tapi juga raungan nasionalisme dalam bentuk alunan musik dan lirik di sisi lain, yang sangat sinkron dengan platform (nyaris) ultranasionalisme Donald Trump.
Selanjutnya, kelebihan Trump yang saya perhatikan adalah bahwa ia bisa dengan mudah memberikan mic kepada orang yang sedang bersamanya, siapa pun itu, tanpa melihat status dan level, untuk bicara langsung di podium seorang presiden. Di panggung di mana ia sering mengekspresikan pernyataan yang dinilai banyak pihak rasis, divisif, dan menghina, justru di sana pula ia sering mempraktikkan sikap egaliter yang sangat layak untuk dihargai
Dan terakhir sekaligus yang paling saya suka adalah, Donald Trump punya hubungan yang harmonis dengan stand up comedy. Donald Trump adalah peniru yang baik. Ini adalah salah satu teknik stand up yang kerap dikenal dengan teknik impersonate. Trump bisa menirukan gaya Joe Biden saat berbicara pelan layaknya orang yang sedang mengantuk. Trump juga sering menirukan cara bicara Biden yang santai, tapi diimprovisasi dengan gaya lunglai oleh Trump, gaya kakek-kakek berbicara sambil mengantuk. Karena itu, Trump menyebut Biden dengan sebutan “Sleepy Joe.”
Trump juga pernah mempraktikkan hal itu saat ia sedang berbicara dengan Muhammad Bin Salman si Pangeran Arab Saudi, via telpon. Trump mereka ulang bagaimana ia berbicara dengan MBS secara santai di panggung, memuji sang diktator dan menyebutnya “friend of mine” lalu mengatakan bahwa di satu sisi selama ini Amerika selalu berusaha melindungi Arab sebagai salah satu “ally” strategis Amerika, dan di sisi lain Arab punya banyak uang. Maka dari itu, Arab harus menambah belanja persenjataan dari Amerika. Serta tak lupa, Trump memuji dirinya sendiri karena telah meng-goal-kan sebuah penjualan senjata bernilai besar dengan sekali angkat telpon.
Saya jadi ingat kata-kata spontan Trump pada Rex Tillerson yang to the point. Di akhir 2017 jelang 2018, Department of Defense dan Pentagon hampir sepakat untuk mengirim senjata antitank “Javelin” ke Ukraina. Laporan masuk ke Rex Tillerson, yang menjabat sebagai Secretary of State kala itu. Tillerson lalu pergi ke ruangan presiden Trump, menyampaikan laporan tersebut dan menawarkan kepada Trump opsi untuk mengirim Javelin ke Ukraina. Lalu Trump secara reaktif menjawab:
“Are you out of your fucking mind? Why are we giving them anything?”
Jawaban itu dengan jelas bermakna bahwa jika Javelin dijual ke Ukraina, maka Putin benar-benar akan tersinggung, dan Trump menghindari itu. Kejadian itu adalah seteru awal Rex Tillerson dan Trump. Perbedaan terus berlanjut sampai pada keputusan Trump untuk keluar dari Paris Climate Accord dan diikuti dengan keputusan untuk menarik diri dari JCPOA terkait denuklirisasi Iran. Rex Tillerson benar-benar tak bisa lagi membela sang presiden. Bahkan, keluar kata-kata keras dari mulutnya, dengan menyebut Donald Trump dengan sebutan “Fucking Morron”.
Pertentangan makin meruncing saat Tillerson tak sepaham dengan presiden soal kekuasaan besar yang diberikan kepada Jared Kushner, sang menantu. Sampai pada satu hari di tahun 2018, Trump mengunggah twit soal pemecatan. Dan keesokannya Rex Tillerson tak bisa lagi kembali ke kantornya. Hanya Donald Trump yang memecat menterinya dengan sebuah twit.
Selain itu, saya juga ingat saat tahun 2016 Trump diwawancarai oleh ABC New soal keberhasilannya menjual Villa Palm Beach seluas 6 hektar ke oligark Rusia, Dmitry Rybolovlev.
“The primary thing I did with Russia, I bought a house in Palm Beach at a bankruptcy,” kata Trump. “I bought it for about $40 million. I sold it for $100 million to a Russian,” Trump melanjutkan dengan santai.
Dari wawancara tersebut kita paham bahwa bagi Donald Trump, tak penting dengan urusan intervensi Rusia atau apapun namanya, bahkan ia sendiri menyebut investigasi soal intervensi itu sebagai “Witch hunt” alias aksi memburu penyihir yang tak jelas juntrungannya. Ya begitulah.
Sementara Joseph H Biden, saya perlu memberi komentar yang serius. Saya nyaris sudah membaca semua tulisannya di majalah Foreign Affair, walau boleh jadi bukan beliau yang menulis, termasuk tulisan-tulisannya bersama Michael Carpenter dan sebuah buku yang ditulis pasca Beau Biden meninggal. Semuanya serius, sama seperti tulisan-tulisan Al Gore, mantan wakil presiden Bill Clinton. Kalau saya seriusi juga, maka saya akan gagal menjadikan Amerika sebagai bahan tertawaan, toh.
Donald Trump adalah salah satu faktor yang sangat jarang ada di Amerika, yang membuat orang seperti saya, yang notabene bukan orang Amerika, bisa menikmati Amerika dari sisi kelucuan yang sangat nikmat, kelucuan yang dihadirkan oleh satu-satunya bakal calon presiden Amerika yang pernah di-roasting oleh para selebriti Amerika di acara salah satu episode Comedy Central tahun 2011 lalu. Karena itu pula, ketidakbersediaan Donald Trump untuk hadir di acara inagurasi Joe Biden perlu saya anggap sebagai sajian humor beliau yang terakhir. Tidak perlu dikomentari, tapi dinikmati sembari senyum saja.
Pada akhirnya, kita memang harus menerima kenyataan, bahwa Donald Trump akan kehilangan hampir dua pertiga panggungnya karena sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden Amerika.
Amerika akan kehilangan salah satu status supernya setelah Donald Trump keluar dari Gedung Putih, yakni negara superlucu, status yang langsung disabet Negeri Paman Sam sesaat setelah Inagurasi presiden yang kalah suara di Popular Vote tapi tetap jadi presiden karena karena berhasil menguasai kursi mayoritas di Electoral Vote.
BACA JUGA Aksi Blusukan Risma sebagai Mantan Walikota Berprestasi, Menteri Sosial, dan Bakal Calon Gubernur DKI 2022 dan tulisan Ronny P. Sasmita lainnya.