Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Cerbung Berbalas Fiksi

Orang Seumur Kita Tidak Pantas Mencintai, Hanya Saling Menggembirakan

Robby Julianda oleh Robby Julianda
1 April 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Baca cerita sebelumnya di sini.

“Kalau dipikir-pikir betul juga, ya, orang seumur kita tidak pantas mencintai. Kita hanya saling menggembirakan. Nanti setelah kita tua dan lemah, baru kita bisa saling mencintai. Barangkali, bisa saja kita menjalani hidup dan tak pernah jatuh cinta, tak pula menemukan seseorang yang mencintai kita.

“Yah, mati memang pantas buat dicoba, tapi hidup yang macam tai anjing begini pun terlalu indah buat dilewatkan. Dan rasanya, sekarang aku tak mau lagi memimpikan hal yang muluk-muluk sebab Tuhan bakal tertawa andai aku menceritakan semua rencana-rencanaku,” ujarnya terdengar putus asa.

Kalian berada di depan sebuah swalayan 24-jam, duduk di kursi yang sudah ada begitu saja dekat pelataran parkir, sembari menunggu kopi panas yang diseduh dalam gelas stirofoam laik buat diseruput. Kata Kalis, habis mabuk bagusnya minum kopi. Kau setuju sekaligus tidak setuju.

Lima belas menit sebelumnya, kalian habiskan mencari warung mi ayam. Tak berhasil. Lagi pula, siapa yang mau makan mi ayam—selain kalian—pukul empat pagi?

“Kau pintar mengoceh juga, ya, ternyata?” katamu kepada Kalis. Kau lalu menyalakan rokok. “Aku tidak bodoh-bodoh amat. Kurasa kau baru saja menggabungkan kalimat Camus, Morrissey, dan Woody Allen sekaligus,” katamu. Mau tak mau, kau teringat Sal. Dia jenis manusia yang bisa menggabungkan tiga-empat nama orang dalam satu kalimat dan membuatnya terdengar masuk akal.

“Hanya kalau habis mabuk,” jawab Kalis lemah.

“Tapi kalimatmu terdengar jauh lebih menyedihkan: Mati memang pantas buat dicoba, tapi hidup yang macam tai anjing begini pun terlalu indah buat dilewatkan.”

“Nah, kalau yang itu gara-gara alkohol yang masih menggenang di lambung atau pankreas atau apalah itu namanya.” Kali ini Kalis terkekeh. Nantinya kau mengetahui, Kalis alumni sebuah perguruan tinggi ternama meski beberapa kebijakan rektornya terdengar ngawur, dan rasanya tak berdosa andai seseorang mau berbaik hati melumuri tempat duduknya dengan lem setan.

Kau percaya dunia belum kiamat karena Tuhan masih menikmati segala ketololan yang dibikin manusia. Kalis, misalnya. Menurutmu, harusnya dia tak kesulitan membedakan mana laki-laki baik untuknya dan mana laki-laki yang bagusnya dikarungi buat dijadikan makan malam anjing pelacak. Sekarang, lihat apa yang dia lakukan setelah putus cinta?

Tentu saja, kau jauh lebih menyedihkan dari Kalis.

Hanya karena memandangi lesung pipi Kalis, ingatan kembali membawamu ke masa-masa yang telah lewat. Kekasihmu meninggalkanmu karena kesalahan yang tak seharusnya kau lakukan. Yang kau sesalkan hanya satu: dia tak memberimu celah untuk memperbaiki kesalahan itu. Kenyataan itu betul-betul membuatmu hancur dan remuk dan hancur dan rasanya kau tak tertarik lagi pada kehidupan jika mengingat hal-hal yang pernah kalian lakukan; menghabiskan waktu di kedai kopi, mengitari lapangan tanpa alasan yang jelas, menyesap bir dingin sembari mengoceh tentang rencana kalian membikin kebun kecil di belakang rumah, dan seterusnya.

Barangkali semua orang pernah melakukannya, tak ada bedanya dengan tidur atau mengisi bensin atau mencukur rambut kemaluan. Namun, tetap saja, kau merasa itulah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupmu. Kau memejamkan mata dan masih bisa merasakan tangannya mengusap kepalamu, lembut. Dua tahun telah berlalu dan kau tetap merasa perpisahan itu sebuah hal yang keliru.

Bunyi kaki kursi yang beradu lantai saat digeser membuyarkan lamunanmu. Kalis memperbaiki ikatan rambutnya. Kau meregang tubuh seperti kucing bangun tidur, melemaskan otot-ototmu, lalu melayangkan pandangan ke seberang jalan, berharap mendapati sesuatu yang menarik di sana. Deretan lampu jalan geming berdiri sebagaimana laku lampu jalan di mana pun. Satu dua kendaraan melintas tiap lima detik.

Iklan

Kau memalingkan wajah, menatap Kalis sambil menjentikkan puntung rokok ke lantai. Kalis balik menatapmu, lalu menopang dagu dan tak mengucapkan apa-apa. Kau mengusap kepala plontosmu dan begitulah…. Kalian tak mengucapkan apa-apa selang berapa lama. Sesekali kalian membuang pandang.

Kau salah tingkah dan merasa tak nyaman seolah keheningan yang mengapung pagi itu adalah dengung yang kelewat nyaring, tak tertahankan menghajar telingamu.

Beberapa tahun silam, kau pernah menonton film Before Sunrise. Ingatanmu buram sebab film itu hanya berisi percakapan dan percakapan lalu percakapan. Namun, kau mengingat dengan jernih sebuah adegan: Jesse dan Celine sedang berada dalam sebuah bilik pemutar musik, mendengar lagu “Come Here”-nya Kath Bloom yang diputar lewat piringan hitam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Barangkali, adegan itu adalah penjelasan yang paling masuk akal mengenai situasi kalian saat ini: canggung yang memabukkan.

Tiba-tiba kepala Kalis terangguk dan ia kaget sendiri. Kau lalu merasa menjadi orang paling tolol sedunia. Jesse dan Celine? Canggung yang memabukkan kepala plontosmu! Rupanya Kalis berada di ambang kantuk dan terjaga.

“Kau mengantuk, ya?”

“Ya.”

“Kau mau pulang, kan?”

“Ya.”

“Kuantar ke rumah?”

“Ya”

“Atau jadi ke tempatku?”

“Ya.”

“Aneh sekali. Sekarang kau bisanya cuma bilang ‘ya’, ya?”

“Ya.”

“Mau dengar tebak-tebakan?”

“Boleh.”

“Kenapa ikan tidak pernah bisa tidur?”

Kalis menegakkan kepala, memperbaiki tumpuan sikunya di meja, kemudian meneguk kopinya dua kali.

“Barusan kau bilang apa?”

“Kenapa ikan tak pernah bisa tidur?”

“Karena tempat tidurnya basah.”

“Harusnya kau bilang ‘nggak tahu’.”

“Tapi mau bagaimana lagi? Aku memang tahu jawabannya.”

“Ya sudah. Tidak apa-apa.”

“Kau marah, ya?”

Tentu saja kau tidak marah. Kau hanya kecewa. Tadinya kau berharap Kalis tak tahu jawabannya, atau semati-mati angin, pura-pura tidak tahu. Setidaknya, Kalis menyadari selera humormu boleh juga. Tetapi itu jelas kesalahanmu. Kau melontarkan tebak-tebakan cap kambing, yang barangkali jawabannya hampir diketahui semua orang.

Harusnya kau melontarkan soal cerita tentang persamaan linear tiga variabel. Terlalu ruwet, memang. Sementara, kau hanya ingin membuat Kalis tertawa dan berharap bisa memandang lesung pipi itu, sekali lagi.

Tiba-tiba kau menyadari, azan Subuh sudah berkumandang sejak tadi ketika telingamu tak sengaja menangkap seruan terakhir.

Kau melihat langit terbentang dalam spektrum warna biru dan merah dan oranye, lalu teringat sebaris sajak kuno yang senantiasa diulang para pelaut sembari berusaha menghabiskan satu tong rum buat melenyapkan rasa cemas yang menghantam mereka sepanjang hidup: langit merah waktu pagi, pelaut mesti berhati-hati.

Kau bisa saja menjadi seorang seniman atau diplomat. Atau barangkali menjadi seorang petinju andai saja dulu laki-laki itu tak mematahkan lenganmu ketika berusaha menghalangi kebiasaan buruknya menghajar ibumu.

Namun, kenyataannya, kau tak memilih apa-apa dan sekarang kau bukan siapa-siapa. Dan itu bukan masalah. Kau tak menyesali segala hal yang pernah kau lakukan. Tidak pula segala hal yang terjadi padamu, meski pada saat-saat tertentu, seperti pagi ini, kau merasa itu adalah hal yang keliru.

Baca cerita berikutnya di sini.

Terakhir diperbarui pada 4 April 2019 oleh

Tags: CamuscerpenmabukPatah Hatitai anjing
Robby Julianda

Robby Julianda

Robby Julianda menetap di Nagari Sungai Landia, Kab. Agam, Sumatera Barat dan sudah menerbitkan novel "Menunggu Minggu Pagi" (2018). Novelanya, "Omong Kosong yang Menyenangkan" (2019), diterbitkan oleh Buku Mojok.

Artikel Terkait

Aktual

Berkat Pagar Nusa Saya Tak Lagi Minum Miras, Kini Saatnya Bela Korban Penusukan Santri Krapyak

29 Oktober 2024
Refleksi Akhir Tahun: Kisah-kisah Move On Karena Cinta yang Kandas MOJOK.CO
Ragam

Refleksi Akhir Tahun: Kisah-kisah Move On dari Cinta yang Kandas

26 Desember 2023
patah hati mojok.co
Liputan

Derita dan Tawa Patah Hati: Nangis-nangis Dahulu, Merayakan Kemudian

26 Juni 2023
merayakan patah hati mojok.co
Hiburan

Pengin Merayakan Patah Hati Bersama Mojok, Simak Nih Caranya!

17 Juni 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.