Pascapilkada DKI dan Ahok akhirnya dibui, khotbah Jumat kembali stabil. Sebelumnya, tahu sendirilah, sejak Pilpres 2014 yang brutal itu, residu politik terbawa-bawa hingga mimbar Jumat, di mana-mana. Khotbah Jumat malah menjadi terompet provokasi dan corong ujaran kebencian.
Bagi saya, khotbah Jumat adalah salah satu fase menyegarkan kembali pikiran umat Islam yang sebelumnya dedel-duel mengurusi pernak-pernik duniawi. Hari Jumat bisa menjadi oase, ajang instrospeksi, sekaligus disambung dengan pijat refleksi. Enak, to?
Meski kadang terlambat, saya berusaha menahan diri agar tetap melek mendengarkan khotbah, dan beberapa kali gagal. Tidak apa-apa, maklumi saja, manusiawi kok. (Bahkan saran saya, penderita insomnia akut bisa datang lebih awal mengikuti prosesi salat Jumat. Sebab, mungkin saja penyakit sulit tidurnya bisa diterapi dengan mendengarkan khotbah. Hoaaaawmmmh.)
Baiklah, jamaah Jumat pembaca yang dimuliakan Allah …. Hari Jumat memang sangat istimewa. Rasulullah menyebutnya sayyidul ayyam, hari yang utama. Sedangkan para malaikat menyebutnya Yaumul Mazid, karena pada hari ini pintu rahmat dibuka oleh Allah. Pada hari Jumat pula, menurut Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, Allah menumpahkan berbagai keutamaan (yafidlu min al-fadli) dan berbagai keistimewaan (yabsuth min al-khairi). Keren, kan?
Pada zaman Jahiliyyah, hari sebelum Sabtu ini bernama ‘Arubah. Setelah Islam datang, ‘Arubah diganti menjadi Jumu’ah yang berarti “hari berkumpul”. Maksudnya, agar kaum muslimin berkumpul pada hari itu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bersama-sama mendirikan salat.
Oke, itu aspek sejarahnya. Biar kita tahu dan lebih menghargai salat Jumat dengan tidak telatan dan nggak ngantukan.
Selanjutnya, agar jamaah Jumat kuat lebih melek, dan agar tulisan ini semanis senyum Jonru Tatjana Saphira, saya menyarankan para takmir masjid menyediakan cangkir-cangkir kecil kopi espresso dengan kadar kepahitan di atas rata-rata. Tentu indah sekali jika para takmir dengan seragam doreng putih bersarung itu menyambut jamaah di halaman masjid, lalu menawarkan kopi dengan senyum manis dan gestur ramah seperti kasir Indomaret. Dan, tim takmir sebaiknya memberi saran agar jamaah bersungguh-sungguh berkumur sambil melem-melek saat berwudu. Selain merupakan sunah wudu, tentu saja berkumur menjadi salah satu prasyarat agar penikmat kopi tadi tidak klamut-klamut saat duduk mendengarkan khotbah.
Cara ini saya kira efektif untuk mengurangi jumlah jamaah yang sengaja memindahkan waktu bobok siangnya di masjid sambil (pura-pura) mendengarkan khutbah. Kopi punya kandungan kafein, dan jika dimanfaatkan dengan baik, lumayan bisa membuat hadirin melek.
Agar tidak diprotes jamaah, sebaiknya dana beli kopi Jumat ini disayembarakan melalui pengumuman menjelang khotbah. Siapa yang mau nyumbang, monggo. Dengan cara ini, ada dua pembagian wilayah: uang kas masjid yang dihimpun kotak amal tidak bercampur dengan uang kopi Jum’at. Enak, kan?
Ayolah, sesekali takmir masjid mesti kreatif sedikit, sambut jamaah dengan senyum dan secangkir kopi. Daripada jamaah sumpek melihat sales khilafah membagi-bagikan buletin Al-Islam yang isinya istikamah begitu-begitu melulu, seistikamah gaya rambut Mas Felix Siauw.
Itu urusan menjelang khotbah. Lantas bagaimana mekanisme seorang khatib menyampaikan khotbahnya? Macam-macam, Anda tahu sendirilah. Ada yang kalem, ada yang tegas dengan intonasi teratur, ada pula yang bergaya orator, sebagian malah pakai gaya propaganda. Yang terakhir ini biasanya mengusung tema politik. Kalau bukan politik, biasanya nyinggung bid’ah, neraka, sambil tuduh sana-sini. Hadeeeh.
Sampai sekarang saya lebih nyaman mendengar khotbah Jumat mengenai akhlak, pembenahan ruhani, introspeksi diri, dan beberapa tema yang menganjurkan menengok ke dalam diri secara lebih jernih. Ini gaya kiai-kiai kampung yang sederhana dan tidak muluk-muluk. Saking ademnya, khotbah model begini kerap membuat jamaah terlelap. Penderita insomnia dijamin sembuh sebentar.
Di kota, khususnya Surabaya, saya beberapa kali menjumpai khotbah agak keras. Mungkin karena pengetahuan khatibnya yang kosmopolit dan jamaah Jumat yang multikultural sehingga tema khotbahnya lebih realistis dengan pembahasan sosial-politik. Kalau begini, biasanya jamaah jarang terlelap, tapi khotbah jadi mirip orasi politik yang meminggirkan etika berkhotbah. Kata-kata yang terlontar bahkan lebih mirip provokasi.
Akhirnya, terserah kita punya kecenderungan yang mana. Meskipun saya sudah bisa mafhum, khotbah yang menggebu-gebu mirip provokasi itu penyaluran rasa frustrasi SEBAGIAN kecil umat Islam atas problem yang terjadi dan BUNTUNYA saluran politik mereka. Embuhlah, saya juga mumet kalau lihat khatib teriak-teriak begitu.
Sidang Jumat pembaca yang dimuliakan Allah dan senantiasa terlihat tamvan memesona ….
Tiba-tiba saya ingat, di awal kekuasaan Dinasti Umayyah, khotbah Jumat menjadi ajang pelecehan atas pribadi dan kemuliaan Sayidina Ali Karramallahu Wajhah. Beginilah kalau politik digeret ke wilayah agama. Sakralitas menjadi banal.
Kelak, karma berlaku. Di akhir-akhir kekuasaan Umayyah, muncul sosok misterius yang mengibarkan panji hitam dengan sorak-sorai bergemuruh. Dia memperkenalkan diri sebagai Muslim ibn Muslim Abu Muslim (seorang Islam yang merupakan anak dari orang Islam dan bapak orang Islam). Kita mengenalnya sebagai Abu Muslim al-Khurasani: propagandis ulung nan karismatik.
Dia menjadikan khotbah Jumat sebagai ajang propaganda antipemerintah Umayyah. Orasi politiknya yang memukau, membuat Abu Abbas Assafah, khalifah awal Dinasti Abbasiyah, terpesona dan mereka pun menjalin koalisi. Duet maut yang meruntuhkan anak-cucu Umayyah.
Malang tak dapat ditolak, pada akhirnya, nasib Abu Muslim tak kalah tragis. Suatu hari, Abu Ja’far al-Mansur, pengganti Abu Abbas, mengundang Abu Muslim ke istana, mempersilakannya masuk ke ruangan pribadi, lalu memerintahkan pengawal menutup pintu dan mengeksekusinya. Jenazah Abu Muslim dibuang ke sungai. Menyedihkan.
Maka jangan sekali-sekali mempermainkan khotbah. Ini yang hendak saya sampaikan, wahai sahabat Mario Tegap yang zuperrrr!
Sebelum saya akhiri khutbah Jumat tulisan ini, saya ingatkan kembali problem klasik yang berlaku selama berabad-abad di kalangan umat Islam: dalam setiap khotbah Jumat, jamaah model kura-kura selalu ada dan berlipat ganda. Mereka duduk, mendengarkan khotbah, kesirep, dan kepala mereka hilang jika diamati dari belakang. Ajaibnya, kepalanya nongol kembali saat ikamah berkumandang. Persis kepala kura-kura.
Saya sendiri adalah loyalis kelompok kura-kura ini. Mereka bukan antek PKI, Asing, Aseng, dan Asu, mereka hanya antek dari rasa kantuk. Kopi mana, kopi?