MOJOK.CO – Munculnya hasrat selingkuh itu sebenarnya masuk akal. Toh nyatanya ada paribahasa “selimut tetangga lebih anget dari selimut sendiri” kan?
Selingkuh. Baik itu dari skala rendahan (baca: cemen) seperti kencan sama pacar orang buat nonton bareng, sampai yang skalanya tinggi (baca: pro) seperti ngajak istri orang buat nonton bareng, memang selalu didasari perasaan rasa tidak puas terhadap pasangan yang sudah ada.
Untuk urusan selingkuh, film Ada Apa dengan Cinta 2 cukup mewakili betapa urusan selingkuh-selingkuhan ini memang terlihat asyik, menyenangkan, dan menggairahkan (ya iyalah, wong partner selingkuhnya aja Babang Nicholas Saputra).
Satu-satunya yang bikin kita nggak kesal pada Rangga, si lelaki tukang ambil calon istri orang, adalah karena film ini diambil dari sudut pandang Rangga. Titik.
Kalau kisah Cinta itu terjadi di kehidupan nyata, sudah pasti Rangga bakal digebukin sama emak-emak dari pihak Cinta maupun calon suaminya. Ni anak, gedung sudah dipesan, katering udah dicicil, WO sudah dibooking, tahu-tahu malah digaet sama anak senja nggak jelas yang datang dari Amerika.
Well, kita pada akhirnya sama-sama tahu, kisah mengharukan tentang Rangga yang sukses merebut Cinta dari calon suaminya memang nggak semudah membulatkan niat berbisnis ternak lele.
Namun munculnya hasrat selingkuh itu sebenarnya masuk akal. Soalnya, pada dasarnya, manusia memang selalu menyukai hal yang tidak ia miliki.
Orang jomblo ingin nikah; orang nikah ingin jomblo; anak kecil ingin dewasa; orang dewasa ingin kembali menjadi anak kecil; mahasiswa ingin lulus; yang sudah lulus ingin kembali menjadi mahasiswa.
Yap, gara-gara bawaan orok yang seperti itu, maka terbitlah peribahasa, “Selimut tetangga lebih anget dari selimut sendiri,” eh, bukan ding, “Rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri.”
Perasaan seperti ini memang manusiawi dan wajar untuk dimiliki. Paling tidak, dengan memiliki perasaan iri, manusia dipaksa untuk mempertahan eksistensinya di muka bumi.
Dengan alasan eksistensi pula, hormon cinta bernama dopamin dan didukung dedengkotnya adrenalin, menjadi penyebab manusia mengartikan perasaan berdebar setiap kali bertemu dengan lawan jenis sebagai rasa suka, cinta sejati, atau belahan jiwa.
Dan, ketika dua insan manusia ini sudah menikah apakah mereka akan bahagia selamanya seperti kisah dongeng Cinderella? Sayangnya nggak gitu, my looove.
Dua insan manusia yang sedang dimabuk hormon pasti bahagia di awal pernikahan. Namun kebahagiaan ini akan menjadi sebuah kebiasaan sehingga tidak lagi memompa hormon kebahagiaan untuk tumpah ruah seperti dulu kala.
Dulu, waktu status masih gebetan, cuman kena lirik aja rasanya kesengsem luar biasa. Begitu udah sah untuk berkembang biak tanpa didobrak bapak-bapak ronda, rasa deg-degannya justru menguap begitu saja. Yah, emang hormon cinta itu sebegitu menipunya.
Menghilangnya perasaan berdebar bersama pasangan sah bukan pertanda buruk kok, itu pertanda kenyamanan. Jadi, nggak usah buru-buru merasa jadi manusia paling sial karena salah memilih pasangan.
Siapapun pasangannya, mau babang artis Korea kek, mau pangeran Charles kek, pasti akan memiliki dampak yang kurang lebih sama aja. Yah, walaupun jika kamu benar-benar berjodoh dengan babang Lee Min Ho, hormon berdebarnya bisa bertahan sedikit lebih lama sih.
Hormon berdebar itu akan aktif kembali jika kamu melihat adanya lawan jenis potensial lain yang kira-kira berkualitas untuk dijadikan partner berkembang biak. Memang kok, biadab benar hormon cinta dalam diri manusia. Seolah kita memang dirancang untuk selingkuh. Minimal selingkuh hati selama lima detik, alias selemah-lemahnya niat selingkuh.
Oleh karena itu, manusia menciptakan sebuah sistem yang bernama norma sosial. Supaya, kita setidaknya tidak bertingkah seperti kucing kampung yang kerjanya cuman eek dan gonta-ganti pasangan. Meskipun norma sosial tidak memberikan hukuman pidana, tetapi hukuman tak kasat mata juga punya daya hantam yang warbiyasyah.
Pertama, kamu berpotensi jadi bahan gosip emak-emak sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kedua, dianggap sebagai invisible man sampai maut menjemput. Dan ketiga, dijauhi seperti sedang mengisap penyakit menular.
Emang, nggak enak kalau sudah berhubungan sama norma sosial karena hakimnya, emak-emak kompleks atau kampung, bisa lebih kejam dibandingkan hakim Mahkamah Agung.
Selain tipuan hormon, ilusi juga berperan dalam membuat diri kita menjadi merindukan seseorang that we can’t have. Ilusi ini sendiri pemicunya macam-macam. Bisa dari drama korea, lagu, buku, teman.
Anggaplah saya ketiban durian runtuh dan benar-benar menikah dengan babang Lee Min Ho yang—misalnya—kebetulan baru aja mualaf. Di awal pernikahan saya sangat bahagia karena mendapat pasangan yang sangat sempurna; ganteng, saleh, kaya, dan punya tabungan yang banyak buat masa-masa lockdown.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya menyadari bahwasanya Lee Min Ho ini ternyata kalau kentut baunya naudzubillah jabang bayiiik (((ingin mengumpat tapi tak sampai hati karena ini ceritanya sama Lee Min Ho))).
Selain itu, ternyata temperamen Lee Min Ho buruk pula. Sering banting barang dan ngambek nggak jelas. Malasnya juga luar biasa. Handuk basah ditaruh di atas kasur. Baju kotor ditaruh dekat kamar mandi sembarangan. Yah, seperti gambaran rusuh rumah tangga pada umumnya laaah.
Kesimpulannya, rasa cinta nggak mesti harus ditandai dengan perasaan berdebar. Rasa nyaman untuk bisa kentut di depannya saja sudah bisa menjadi faktor bahwa kita mungkin sudah menemukan seseorang yang tepat untuk menemani perjalanan hidup sampai tua nanti.
Jika nanti dalam perjalanan hidup kita menemukan lagi seseorang yang kembali mengaktifkan perasaan yang berdebar seperti ini, mungkin sebaiknya segera mengartikan ini dalam konteks yang benar. Bukan dalam konteks bahwa itu waktu yang tepat buat selingkuh. Bukan.
Bahwa benar kita memang tertarik lalu kepikiran ingin selingkuh, bahwa benar ini hanya soal tipuan hormon supaya kita bisa berkembang biak sebanyak-banyaknya, dan bahwa benar di niat selingkuh itu sebenarnya hanya janji-janji politisi yang lebih palsu dibandingkan dengan kenyataan yang sudah kita miliki.
Terakhir, saya ingin bagikan sebuah nasihat pernikahan dari teman yang cukup absurd tapi menarik. Jadi, setelah bertahun-tahun menikah, banyak-banyaklah nonton film bertema thriller dan misteri tapi yang berlatar rumah tangga.
Soalnya, film seperti itu akan bikin horor dalam kehidupan rumah tangga kita, kayak utang KPR rumah selama 20 tahun atau dighibahin tetangga jadi terlihat sepele. Sehingga kita akan merasa jadi lebih gampang bahagia karena ternyata ada penderitaan yang lebih pedih dari yang pernah/sedang kita rasakan.
BACA JUGA Pengakuan Lima Pria tentang Mengapa Mereka Selingkuh atau tulisan ESAI lainnya.