Made Supriatma: Gebuk: Satu-satunya presiden Indonesia yang pernah kena gebuk adalah Soeharto. Ya, Soeharto si Jendral Besar bintang lima yang kehadirannya sekarang dirindukan di pantat-pantat truk itu.
Lho bukankah justru Soeharto yang presiden yang pernah menyerukan ‘gebuk’ yang saat ini ditiru oleh Jokowi itu? Iya. Itu terjadi sesudah dirinya sendiri kena gebuk.
Ceritanya begini.
Pada bulan April 1995, Soeharto berkunjung ke Jerman. Saat itu, negara ini sudah bersatu. Tidak ada lagi Jerman Barat dan Jerman Timur. Soeharto melakukan kunjungan bilateral kesana.
Kunjungan ini memiliki makna khusus. Ini karena salah satu menteri kesayangan Soeharto, BJ Habibie — Menristek saat itu — adalah lulusan Jerman dan sangat fasih berbahasa Jerman. Tidak dapat disembunyikan bahwa Jerman juga memanfaatkan Habibie untuk kepentingannya.
Ini bukan kunjungan pertama Soeharto ke Jerman. Dia sudah berkunjung kesana pada tahun 1991. Ketika itu pun dia sudah didemo, terutama oleh para aktivis yang tergabung dalam Watch Indonesia! Mereka memprotes terkekangnya kebebasan di Indonesia dan aneksasi Indonesia atas Timor Leste.
Kunjungan kali ini berkaitan dengan Hannover Industrial Fair. Indonesia adalah negara partner dalam pameran industri itu. Soeharto juga dia dijadwalkan berkunjung ke kota Dresden.
Di kota Dresden ini, Soeharto dan rombongan rencananya akan mengunjungi Museum Zwinger yang terkenal itu. Kebetulan saat itu ada pameran lukisan Raden Saleh, pelukis Jawa jaman kolonial yang amat mashyur itu. Selain itu dalam jadwal ada rencana menonton opera dan menandatangani buku tamu. Namun kedua acara ini dibatalkan karena demo.
Pada kunjungan ke Museum Zwinger itulah terjadi insiden ngeri-ngeri sedap nan epik itu. Soeharto disambut oleh ratusan demonstran di pintu kedatangan museum tersebut. Kebanyakan demonstran adalah orang Jerman, beberapa orang Timor Leste, dan segelintir orang Indonesia.
Para demonstran ini menyambut Soeharto dan rombongan dengan membuat suara gaduh. Mereka memukuli alat-alat dapur seperti panci dan penggorengan. Seorang pelukis Indonesia yang tinggal di Jerman ketika itu menggambarkan, “persis seperti kami di kampung mengusir ayam”.
Para demonstran juga melempari Soeharto dan rombongan denga telor busuk. Ini memaksa pengawal Soeharto mengembangkan payung untuk melindungi junjungan mereka.
Ketika mendekati pintu masuk Museum itulah beberapa aktivis kemerdekaan Timor Leste berhasil mendekati Soeharto. Menurut banyak kesaksian, salah seorang dari mereka menggebuk kepala Soeharto dengan gulungan koran hingga kopiahnya terjatuh.
Beberapa orang yang menyaksikan mengatakan bahwa wajah Soeharto merah padam ketika keluar dari Museum. Ini bisa dimengerti karena Soeharto selalu melihat dirinya sebagai ‘raja Jawa.’ Untuk raja Jawa, kepala atau “prabu” itu adalah bagian tubuh yang paling sakral.
Namun persoalan belum selesai hingga disana. Rombongan Soeharto yang menggunakan bis-bis itu dikerubungi demonstran ketika hendak pergi dari Museum. Para demonstran menggoyang-goyang bis-bis tersebut.
Bisa dibayangkan betapa marahnya Soeharto. Juga betapa ketakutan para pembantu-pembantunya. Pada saat itulah, diplomat paling terkemuka Indonesia, Ali Alatas, sang Menteri Luar Negeri Indonesia, terlihat mengacungkan jari tengahnya kepada para demonstran.
Terlihat dia amat frustasi dengan situasi yang tidak bisa dikendalikan itu. Polisi-polisi Jerman ternyata tidak mengambil tindakan apapun terhadap demo itu.
Ketika pulang dari kunjungan itu, di atas pesawat, Soeharto memberikan keterangan pers. Dia berkata akan “menggebuk” mereka yang mendalangi demo terhadap dirinya di Jerman. Maka mulailah dia menangkapi oposisi di dalam negeri. Salah satunya adalah Sri Bintang Pamungkas, yang sialnya ketika itu kebetulan berkunjung ke Berlin. Ini hanya untuk menghilangkan rasa malunya saja.
Gebukan terhadap Soeharto itu terlihat sebagai ‘poetic justice’ dari rakyat Timor Leste. Namun ‘poetic justice’ yang mahal sekali harganya. Sepertiga dari rakyat Timor Timur tewas akibat invasi Indonesia. Tentu itu tidak sebanding dengan jatuhnya kopiah Soeharto akibat gebukan gulungan kertas koran.
Setahun setelah peristiwa ini, Akademi Nobel di Norwegia memberikan hadiah Nobel perdamaian kepada dua orang Timor Leste, Jose Ramos-Horta dan Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB. Sejak saat itu isu Timor Leste, yang (dalam istilah Ali Alatas) menjadi ‘kerikil dalam sepatu’ diplomasi Indonesia, semakin keras disuarakan di dunia internasional.