MOJOK.CO – Apakah Jokowi melakukan blunder? Apakah Habib Rizieq akan kehilangan kepercayaan pendukungnya? Apa kemungkinan terbaik bagi keduanya setelah SP3 kasus Habib Rizieq?
Dari sekian kasus yang melibatkan Habib Rizieq dan laporan ke polisi, hanya dua yang Berita Acara Pemeriksaannya sudah lengkap dan kini, dua-duanya sudah di-SP3 oleh penyidiknya. Kasus ini memang berada pada kewenangan kepolisian, tapi semua orang yakin, semua keputusan itu dipengaruhi oleh Jokowi. Sekarang para spekulan politik amatir maupun profesional sibuk menganalisis, apa yang sebenarnya sedang direncanakan Jokowi?
Gerindra sebagai partai yang dekat dengan FPI di satu sisi menyambut gembira keputusan SP3 ini. Sejak awal mereka satu suara dengan Habib Rizieq, kasus ini fitnah bikin-bikinan. Kalau saya tidak silap, memang di semua kasus yang berkenaan dengan UU Antipornografi, semua terduga pelakunya selalu menolak tuduhan kecuali di satu peristiwa, ketika Maria Eva mengakui video pornonya dengan anggota DPR Yahya Zaini.
Di sisi lain, Gerindra adalah oposisi, kata yang hari ini berarti ‘pihak yang selalu menganggap pemerintah adalah udang yang suka bersembunyi di balik batu.” Jadi, selain senang, Gerindra juga punya analisis bahwa SP3 kasus chat Habib Rizieq bukan perkara “tidak cukup bukti” semata.
“Ya bisa juga ada (muatan politis) terkait SP3 ini. Bisa saja pemerintah menyadari ternyata upaya-upaya (sikap kepada ulama) yang dilakukan menuai protes dari masyarakat. Karena ini memasuki tahun politik, pemerintah mencoba berbaik-baik kepada ulama,” ujar Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria Sabtu kemarin, dikutip dari Republika.co.id.
“Berdamai (niat SP3) karena menjelang Pemilu. Bagaimana pun juga suara umat Islam adalah ceruk terbesar di Republik Indonesia ini,” kata Wakil Sekjen DPP Gerindra Andre Rosiade, dikutip dari Viva.co.id.
Gerindra ini kok kayak mantan yang kita ngapa-ngapain aja, tetap disalahin ya :'(
Tapi, untuk ukuran sekjen dan wasekjen partai besar, analisis keduanya jelas receh. Semua orang juga otomatis mikir gitu. Di media sosial sendiri berbagai spekulasi menguar, yang kira-kira kalau digeneralisasi, ada beberapa pendapat utama.
Pertama, senada dengan Gerindra. Jokowi memang sedang panik sampai-sampai terpaksa meladeni permintaan Persaudaraan Alumni 212 yang disampaikan pada pertemuan mereka 22 April 2018.
Tapi, analisisnya tidak sampai di situ saja. Dengan keputusan meng-SP3 kasus Habib Rizieq, Jokowi telah mengecewakan para pendukungnya, mereka-mereka yang ingin kasus Habib Rizieq dibuktikan di pengadilan. Jika sampai terjadi dan lebih-lebih terbukti, menyaksikan imam besar sebuah kelompok polisi moral jadi pesakitan di ruang pengadilan sembari membicarakan perkara amoral tentu memberi rasa puas bagi khalayak yang kadung sebal dengan FPI.
Orang-orang kecewa ini juga tidak percaya mentah-mentah pada pernyataan kepolisian bahwa kasus Habib Rizieq di-SP3 “cuma” karena “tidak ada bukti yang cukup”. Kalau nggak ada bukti cukup, kok statusnya bisa naik jadi tersangka? Kalau alasannya karena BAP-nya nggak kunjung P-2121, kenapa Habib Rizieq nggak dijemput pulang buat diperiksa?
Orang-orang yang kecewa kemudian membuat manifesto, kami akan golput di pilpres 2019. Jokowi lemah! Jokowi bikin dua blunder! Berusaha menggalang suara umat Islam, yang nggak bakal luluh juga karena menganggap niatnya nggak tulus, sekaligus menggembosi suara pendukung lamanya.
Tapi, masih ada skenario kedua. Yakni…
…”Kasus ini dapat dibuka kembali bila ditemukan bukti baru.” Sekarang yang bilang adalah Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Mohammad Iqbal, dikutip dari Tempo.co.
Artinya, ada kemungkinan skenarionya begini: Habib Rizieq pulang karena merasa aman sudah nggak terlibat kasus hukum à polisi buka kasusnya lagi sambil ngeluarin perintah larangan ke luar negeri.
Mungkin saja… tapi terlalu mudah ditebak.
Sedangkan skenario ketiga lebih bersifat psikologis.
Ketika semua orang menganggap ada peran Jokowi dalam SP3 kasus Habib Rizieq—anggapan yang disangkal kepolisian tapi netizen mana mau percaya—otomatis Habib Rizieq punya utang budi kepada Pak Joko. Dengan demikian, kelak ketika Habib Rizieq pulang dan kembali menjadi oposan pemerintah yang kafah, orang akan selalu membenturkan sikap oposisi Habib Rizieq dengan kekalahan Habib Rizieq yang bersedia “dibantu Jokowi” alih-alih… ya pasti nyambung ke sini: bersikap ksatria seperti Ahok yang dengan berani menghadapi kasus hukumnya.
Anda bisa bayangin kalau cerita Teuku Umar berakhir ketika dia menyerah kepada Belanda saja. Tanpa kisah lanjutan soal taktiknya ketika dia mendapat suplai senjata dan kemudian pakai jurus aikido untuk melawan Belanda lagi, Teuku Umar nggak akan jadi nama jalan.
Ada kredo bahwa tidak ada yang mustahil dalam politik. Semua skenario punya kemungkinan terjadi, tinggal orang menghitung-hitung persentase peluangnya. Rekam pertemuan Jerman dan Meksiko di Piala Dunia menyiratkan Jerman akan unggul, nyatanya bisa kalah. Jadi, rasanya Mojok sah-sah mengeluaran skenario keempat yang isinya begini:
Habib Rizieq balik, lalu menjadi cawapres Jokowi.
Terdengar gila? Tidak juga. Lihat saja pemilu Malaysia.
Apa yang minus dari Jokowi di mata orang-orang yang tidak memilihnya? Suara terbesar menyoroti bahwa ini rezim anti-Islam. Dan Habib Rizieq adalah figur yang bisa menambal kekurangan itu. Sebaliknya, di mata pendukung Jokowi, Habib Rizieq adalah sosok berangasan yang kalau jadi pemimpin rezim, pasti bikin situasi Indonesia diskriminatif, sarat persekusi, dan apa ya doi bisa mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Kekurangan ini jelas akan ditambal Jokowi.
Logikanya menjadi, daripada kita lelah melihat dua kubu gontok-gontokah, udah deh, sekarang damai. Duet sekalian malah. Rasional di mata pendukung Jokowi karena Jokowi akan menjaga Habib Rizieq supaya nggak ugal-ugalan, demikian juga sebaliknya.
Jika skenario ini terjadi, anggapan bahwa Jokowi menggembosi suaranya pendukung lamanya akan hilang. Juga pandangan miring bahwa Habib Rizieq “dimaafkan” musuh. Skenario ini memungkinkan Habib Rizieq dan Jokowi sama-sama jadi pahlawan yang mengorbankan ego mereka untuk sesuatu yang lebih besar: persatuan Indonesia~
Lho, kalau gitu, kenapa pasangannya nggak TGB, Gatot Nurmantyo, Prabowo, AHY, atau Cak Imin sekalian?
Di kasus Prabowo, yang jelas antara dia dan Jokowi nggak akan ada yang mau ngalah jadi cawapres. Jika Jokowi berpasangan dengan TGB, AHY, Pak Gatot, atau Cak Imin, spekulasi umum menganggap wakil Jokowi berpeluang besar jadi presiden 2024. Situasi kayak gitu, kalau kata PDIP, bahasanya: “Mlz bgt.”
Dan apakah Habib Rizieq tidak berpeluang jadi presiden 2024? Nggak mungkin, namanya nggak berakhiran o.
Ya, kira-kira gitulah empat tebakan tentang langkah Jokowi sesudah SP3 kasus Habib Rizieq. Akhirulkalam, kita harus ingat esensi tebak-tebakan. Semakin ngawur tebakannya, semakin lucu.
Kecuali bagi penjudi.