MOJOK.CO – “Lo sadar nggak, sih? Ruangan sebelah itu nggak ada. Kamar kita paling ujung lorong. Ini benar-benar aneh—benar-benar hotel misterius.”
Di aplikasi belanja online, sebuah promo sedang gencar dilakukan. Di beberapa hotel bintang lima yang harga semalamnya sampai 1 juta rupiah, promo diberlakukan sampai memberikan diskon hingga 80% untuk satu malamnya. Tentu saja, promo ini jadi incaran banyak orang, termasuk Andini, temanku dari Surabaya.
Andini berniat liburan ke Bandung dan mengundangku turut menginap di hotel yang bakal ia book. Ia menolak tawaranku yang mengajaknya tidur di rumah (aku sendiri asli Bandung) dengan alasan liburan kali ini harus terasa seperti liburan, dan hotel adalah salah satu penunjang utamanya.
Dimulailah perburuan Andini. Selama beberapa waktu, ia mengincar sebuah hotel yang terkenal dengan kemewahannya. Sayangnya, berkali-kali, kami harus kehabisan kamar di hotel tersebut.
Karena waktu liburannya kian dekat, Andini memutuskan mencari hotel lain. Singkat cerita, Andini berhasil mendapatkan sebuah kamar di hotel bintang lima tengah kota. Letaknya di sekitar Cihampelas dan harga per malamnya memang dikenal mahal.
Akhirnya, tiba hari di mana kami harus check-in ke hotel yang dimaksud. Tempat ini punya dua gedung: sayap kanan dan sayap kiri. Kami masuk lewat sayap kanan dan diarahkan ke kamar di sayap kiri. Anehnya, sayap kiri ini—kurasa—jauh lebih sepi dan mirip dengan hotel misterius dibandingkan dengan bangunan sayap kanan.
Nuansa jawa kental terasa di sini—sebagaimana tema bangunan ini. Mendadak, aku merasa agak merinding karena tempat ini menyiratkan kesan hotel misterius, tapi buru-buru kutepis karena tak ingin membuat Andini ikut berpikir buruk.
Kami hanya bersantai di kamar sampai Magrib. Malamnya, kami berjalan kaki di sekitar hotel dan kembali sebelum pukul 10.
Karena kelelahan, kami memutuskan tidur.
Anehnya, pintu kamar kami diketuk. Setengah bersungut-sungut, aku membuka pintu: seorang room boy berdiri di depan pintu mengantarkan sajadah.
“Maaf, Mas, tapi kami nggak ada yang minta dibawakan sajadah. Tadi ada yang pesan, ya?”
Mas-mas room boy ini tidak menjawab. Dia cuma diam melihatku, lalu pergi terburu-buru. Mendadak, aku merasa tengkukku panas. Jangan bilang ini beneran hotel misterius, batinku.
Andini, dari dalam, bertanya ada apa. Kujawab sekenanya: mungkin sajadah memang fasilitas dalam kamar yang harus diantarkan—termasuk pada pukul 10 malam.
Andini mengangguk dan kami tidur kemudian. Baru beberapa jam, aku terbangun dan berniat ke kamar mandi. Aku melirik ponselku: sekarang pukul 3 pagi.
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu yang cukup keras. Bukan, itu bukan di pintu kamarku.
“Kamar sebelah, ya?” tanya Andini. Aku kaget karena dia juga terbangun. Kami mendengarkan dengan saksama. Ada suara ketukan yang keras dan agak kasar dari ruangan di sebelah kanan kami. Tak berapa lama, suara teriakan terdengar. Melengking. Seperti suara anak kecil.
Aku tak bisa menjelaskan kenapa, tapi ada jeda cukup lam antara aku dan Andini. Rasanya… ada sesuatu yang tidak benar.
Suara ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih jelas dan—lagi-lagi—datang dari ruangan di kanan kami. Tapi bukan pintu yang diketuk—ini terasa seperti dinding pemisah antara kamar kami dan ruangan sebelah yang berbunyi.
Andini terbatuk. Matanya tiba-tiba terlihat menyiratkan kepanikan.
“Lo sadar nggak, sih?”
Aku menggeleng, belum menangkap ketakutan Andini.
“Ruangan sebelah,” lanjut Andini, “itu nggak ada. Kamar kita paling ujung lorong. Nggak ada ruangan di sebelah kanan kita.”
Suara ketukan terdengar lagi. Benar-benar hotel misterius, pikirku. Aku mengurungkan niat ke kamar mandi. (A/K)
BACA JUGA Hantu di Hotel Besar yang Tidak Boleh Disebutkan Namanya atau kisah-kisah MALAM JUMAT lainnya.