MOJOK.CO – “Dan perutnya,” tambahnya sambil mengelus bagian perut si wanita, “dikirimi santet cukup banyak.” Selesai ia berkata, paku dan jarum berkarat muncul dari perut wanita tadi.
Namaku Yeni, usiaku masih 25 tahun. Belum menikah, tapi sebentar lagi pacarku seharusnya datang melamar. Dia sudah berjanji.
Kami—aku dan pacarku, Mas Dano—tinggal di Magelang. Nama kampung kami sebaiknya tidak aku sebutkan, tapi yang jelas lingkungan tempat kami tinggal memang masih penuh dengan budaya leluhur, termasuk kemenyan, sajen, dan perapalan doa-doa lewat media air. Orang tua Mas Dano kebetulan adalah tokoh masyarakat yang biasa membantu orang-orang terkait hal-hal mistis. Jadi, yah, sedikit banyak, aku tahu bagaimana mereka bekerja.
Suatu hari rasanya aku mengantuk sekali. Rumahku kosong—bapak dan ibu sedang pergi ke rumah sakit menjenguk kawannya. Malam masih menunjukkan pukul 8, tapi di luar sudah gelap. Maklum, ini kan di kampung. Selepas magrib, malam rasanya langsung pekat.
Seseorang mengetuk pintu rumah. Aku membukanya dan menemukan seorang wanita tua di depan pintu.
“Ada apa, Bu?” tanyaku, setelah membuka pintu. Ibu itu menatapku dan berkata, “Maaf, Mbak, rumah Pak RT di mana, ya?”
“Oh, masih agak jauh, Bu. Lebih dekat kalau lewat kebun di sebelah sana,” aku menunjuk ladang di dekat rumah kami.
“Boleh minta tolong antarkan saya, Mbak? Saya perlu bertemu beliau.”
Wanita ini adalah wanita asing—tidak seharusnya aku mengiyakan ajakannya dengan mudah, apalagi malam sudah kian larut. Tapi anehnya, aku seperti tidak ingin menolak. Dengan segera, aku bersiap pergi.
“Jalan kaki, Bu?”
“Nggak, Mbak, saya diantar becak. Itu di sana,” si wanita tua tadi menunjuk ke arah becak yang ditunggui seorang pria. Kami menaikinya melewati kebun yang tadi aku tunjuk.
Tapi, ada yang aneh. Kebun ini tidak seperti kebun yang biasanya. Mendadak, kami memasuki tempat yang lebih pantas disebut hutan—pohonnya tinggi-tinggi dan lebat, seperti tak tampak jalan masuk dan keluarnya. Saat aku sedang berusaha mendongak dan melihat puncak pohon, aku baru menyadari becak yang kami tumpangi berhenti. Bukan cuma itu, ibu-ibu tua di sebelahku mendadak hilang, begitu juga dengan tukang becak yang ada di belakangku.
Aku sendirian di tempat yang seperti hutan ini.
“Bu? Bu?” panggilku, berulang. Aku mencari wanita tua yang tadi mengajakku pergi. Suasana mendadak terasa merinding waktu tiba-tiba kepalaku sakit seperti ditusuk. Perutku tak kalah nyerinya—rasanya seperti sesuatu dipaksakan masuk lewat kulitku. Tapi, tak ada apa pun yang menyentuh perut dan kepalaku kecuali tanganku sendiri.
Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Mungkin, aku harus masuk ke hutan lebih dalam—siapa tahu ada orang yang bisa menolong, atau rumah Pak RT sudah dekat.
***
Kampung kecil di Magelang geger. Seorang wanita disebut ‘kesurupan’ dan bertingkah gila setiap dua jam sekali. Berteriak kesakitan, tapi kadang mendadak diam dan memandang kosong—seperti dikirimi santet orang tak dikenal.
“Dia bukan dirinya sendiri. Benar, kena santet,” kata salah seorang petinggi desa. Ia segera meminta beberapa pria mengelilingi si wanita dan merapalkan ayat kursi tanpa henti. Menurut si petinggi, dirinya akan ‘menjemput’ jiwa wanita tadi. “Jiwanya tersesat, tubuhnya diisi siluman sekarang. Dan perutnya,” tambahnya sambil mengelus bagian perut si wanita sambil berkomat-kamit, “dikirimi santet cukup banyak.” Selesai ia berkata, paku dan jarum berkarat muncul dari perut wanita tadi. Para pria di sekitarnya bergidik ngeri, tapi tetap melanjutkan ayat kursi.
Si petinggi desa kini duduk bersila dan mulai fokus. Dirinya berpesan agar tak ada seorang pun bersikap gegabah dengan mengganggu si wanita. Dia sendiri berencana untuk “menjemput jiwa tersesat si wanita yang kena santet”.
Proses itu berjalan cukup cepat, seharusnya. Sayangnya, malam itu terlalu panjang.
Jiwa si wanita tak bisa selesai dicari.
“Dano,” kata si petinggi desa, geram, “Dano anakku sendiri yang mengirim ini untuk Yeni. Tega betul!”
***
Aku masih di tengah hutan—kali ini di dekat pohon aneh yang rantingnya membelok ke kanan saja. Sedari tadi, aku berkeliling minta bantuan, tapi tak ada yang datang.
Oh ya, namaku Yeni, usiaku masih 25 tahun. Belum menikah, tapi sebentar lagi pacarku seharusnya datang melamar. Dia sudah berjanji. Aku tak peduli walaupun kemarin ada yang bilang Dano berselingkuh dengan Randu, anak perempuan Pak RT yang baru lulus SMA. (A/K)