MOJOK.CO – Benarkah istilah the power of emak-emak bermakna negatif sampai harus diganti dengan istilah ibu bangsa?
Jumat (14/9) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri General Assembly International Council of Women ke-35 di Yogyakarta. Pada acara tersebut, Ketua Umum Kowani (Kongres Wanita Indonesia) Giwo Rubianto mengkritik istilah the power of emak-emak. Baginya, wanita-wanita di Indonesia sudah memiliki panggilan istimewa, yaitu ibu bangsa.
“Kami tidak mau kalau kita, perempuan Indonesia yang mempunyai konsep Ibu Bangsa sejak tahun 1935, sebelum kemerdekaan, kalau dibilang emak-emak,” tegas Giwo.
Pernyataan Giwo sontak menuai reaksi keras. Tak sedikit yang mendukung, tapi banyak pula yang balas mengkritik.
Politikus Demokrat, Ferdinand Hutahaean, misalnya. Dalam akun Twitter pribadinya, Ferdinand menyayangkan pelarangan penggunaan kata emak untuk merujuk pada ibu-ibu.
Sementara itu, bakal cawapres yang digandrungi oleh banyak emak-emak, Sandiaga Uno, akhirnya buka suara.
Dirinya mengaku bahwa istilah ini pertama kali diangkat oleh pihaknya. Jika kemudian kali ini isu emak-emak mendadak disorot, Sandi menilai hal ini sebagai akibat dari adanya pihak yang kebakaran jenggot. Padahal, penggunaan istilah the power of emak-emak semata-mata dilakukannya untuk memperjuangkan kebutuhan kaum ibu di Indonesia.
“Saya ingin kita mengangkat isu yang kita sebut sebagai (sesuatu yang) sekarang pada kebakaran jenggot, (yaitu) partai emak-emak. Terserah kita menyebutnya seperti apa, saya memanggil ibu saya mama, ada yang memanggil ibu, ada yang memanggil bunda.”
Di acara pembekalan caleg PAN di Hotel Grand Paragon, Jakarta, Minggu (16/9) malam, Sandi menyebut istilah emak-emak ini justru mendapat respons baik dari masyarakat. “Kami yang pertama mengangkat isu ini dan ini isu yang luar biasa mendapat resonansi dan vibrasi di masyarakat. Nyetrum semua di Indonesia,” tambah Sandi.
Tapi, apa bukti bahwa penggunaan istilah emak-emak ala Sandiaga mendapat tempat yang lebih baik di masyarakat dibandingkan ibu bangsa?
“Kami turun di mana saja, emak-emak itu militan datang, dan mereka siap untuk berjuang bersama. Jadi jangan lupa teman-teman PAN, kita bangun koalisi ini dengan koalisi BEM, bukan hanya badan eksekutif mahasiswa, tapi barisan emak-emak militan,” jelasnya lagi.
Perkara istilah the power of emak-emak ini memang menjadi isu yang memanas belakangan. Secara linguistik, emak-emak dinilai memiliki makna peyoratif yang mengakibatkan perubahan makna menjadi sesuatu yang kurang positif. Akibatnya, kata emak-emak dianggap menggambarkan posisi perempuan yang tidak bisa apa-apa.
Tapi, tunggu dulu. Dalam hal istilah the power of emak-emak, perlu diakui bahwa Sandiaga Uno cukup taktis dan membangun. Jika istilah emak-emak dianggap menggambarkan perempuan yang tak punya kemampuan apa-apa, penambahan kata the power di depannya justru menunjukkan bahwa perempuan-perempuan ini menjadi berdaya.
Dengan kata lain, istilah the power of emak-emak menjadi simbol people power yang digerakkan oleh mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang satu ini.
Yah, sekali lagi—mengutip dari pernyataan Sandiaga Uno yang terhormat—meski dikritik Kowani, istilah emak-emak memang mendapatkan resonansi dan vibrasi yang lebih besar di masyarakat hingga berhasil nyetrum di penjuru Indonesia.
Lagi pula, lucu juga kalau tiba-tiba kita pulang ke rumah dan menyapa emak kita, “Hai, Ibu bangsa, makan apa kita hari ini?” (A/K)