MOJOK.CO – BEM SI mengultimatum Presiden Jokowi agar mau mengangkat puluhan pegawai KPK yang dipecat jadi ASN. Hm, ada yang kurang pas kayaknya itu.
Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) sedang jadi sorotan usai memberi ultimatum ke Presiden Jokowi per tanggal 23 September kemarin. Bersama dengan Gerakan Selamatkan KPK (GASAK), BEM SI memberi surat tuntutan ke Presiden.
Isinya begini.
“Kami Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan GASAK memberikan ultimatum kepada Presiden Jokowi untuk berpihak dan mengangkat 56 pegawai KPK menjadi ASN dalam waktu 3×24 jam sejak hari ini. Jika Bapak masih saja diam, maka kami bersama elemen rakyat akan turun ke jalan menyampaikan aspirasi yang rasional untuk Bapak realisasikan.”
Secara semangat dan gairah anak muda yang menggebu-gebu begitu, tidak ada yang keliru dari tuntutan BEM SI ke Presiden. Keresahan kawan-kawan mahasiswa ini sebenarnya juga cukup mewakili banyak keresahan masyarakat terutama ketika melihat kelakuan wagu KPK akhir-akhir ini.
Mulai dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dalam pelaksanaan punya masalah menurut Ombudsman dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Komnas HAM, sampai dengan sanksi untuk Ibu Komisioner KPK yang disebut Dewas KPK melakukan “pelanggaran berat” tapi kenyataannya hanya mendapat “hukuman ringan”.
Keresahan publik ini bahkan tergambar dengan hasil survei soal tingkat kepercayaan publik terhadap KPK yang menurun. Hasil survei Cyrus Network misalnya, menunjukkan tingkat kepercayaan KPK hanya 80,7 persen. Polisi yang “kayak gitu” aja malah lebih baik dari KPK yang mendapat tingkat kepercayaan 86,2 persen.
Akan tetapi, meski secara ghirah dan semangat keresahan mahasiswa itu senada dengan masyarakat, pada dasarnya tuntutan yang diberikan BEM SI ke Presiden itu agak mlucrut sedikit dari substansi persoalan KPK.
Bukan, bukan bermaksud mendegradasi kepedulian mereka dengan mendesak Presiden dan rencana aksi untuk turun ke jalannya, tapi soal spesifik tuntutan BEM SI yang menginginkan 56 pegawai KPK diangkat jadi ASN.
Problem utama dari persoalan ini memang muaranya soal “dicegat”-nya 56 pegawai KPK menjadi ASN di KPK, namun mohon diingat, kegagalan melalui TWK yang kontroversioal itu cuma problem hulunya doang. Kalau melihat masalah ini dari hilir, ya itu bukan masalah utamanya.
Sekarang coba kawan-kawan BEM SI ini membayangkan sejenak.
Semisal, semisal aja ini, Presiden Jokowi tiba-tiba dapat wangsit dan lantas ada keajaiban beliau menuruti tuntutan mahasiswa. Terus besoknya Presiden Jokowi mengangkat 56 pegawai KPK itu jadi ASN.
Apa yang terjadi?
BEM SI boleh jadi bersorak, mahasiswa patut berpesta, beberapa elemen masyarakat mungkin juga akan merayakan itu. Tapi coba tanyakan ke diri kita masing-masing lagi, apa persoalan di KPK lantas benar-benar selesai?
Tidak dong. Kawan-kawan mahasiswa di BEM SI pasti juga sadar itu. Iya kan?
Sekarang bayangkan konsekuensi dari (kalau) tuntutan itu dituruti.
Novel Baswedan dkk. pada akhirnya harus masuk ke dalam sistem KPK yang “ASN-minded” begitu dan diketuai oleh seorang perwira polisi. Status mereka yang jadi ASN pun, tidak akan mengubah banyak hal di dalam KPK.
Sepanjang KPK masih dibawah cengkraman UU KPK yang baru, dengan pimpinan-pimpinan wagu yang segala macam keputusannya makin tertutup dan menjauh dari kepercayaan publik, tak bakal banyak hal yang bisa dilakukan puluhan pegawai KPK yang sedang kita perjuangkan itu.
Ide tuntutan mengangkat puluhan pegawai KPK jadi ASN hanyalah kemenangan di pertempuran kecil dalam area peperangan yang besar. Ini ibarat Jepang menang besar ketika bertempur di Pearl Harbour, tapi gagal dalam seluruh peperangan melawan Amerika Serikat pada Perang Dunia II.
Sebagai salah satu (mungkin satu-satunya) harapan masyarakat agar bisa mewakili suara-suara keresahan soal KPK, ada baiknya BEM SI tidak berhenti hanya pada tuntutan soal ASN atau tidak ASN, diangkat atau tidak diangkat, lolos TWK atau tidak lolos TWK, tapi juga desak Presiden untuk mau melihat KPK seperti halnya masyarakat melihat KPK belakangan ini.
Dorong Presiden untuk jangan percaya lagi dengan buzzer (barangkali Presiden tidak tahu) yang suka membentuk opini publik palsu ke dirinya. Kelompok “masyarakat bayaran” yang juga jadi key opinion leader dalam memberi gambaran kabur Presiden soal problem utama mengenai KPK ini. Tarik Presiden untuk langsung bertemu dengan masyarakat yang resah atas KPK belakangan ini.
Tolong beri tahu Presiden kalau sudah banyak masyarakat dan mahasiswa yang harus jadi korban gara-gara “gelut” dengan wakil rakyatnya sendiri ketika UU KPK yang baru ini digodok dan ujug-ujug disahkan beberapa tahun lalu.
Beri Presiden pandangan, bahwa “pakar-pakar”-nya yang di Istana dan Pemerintah, yang kerap memberi nasihat itu jangan dipercaya mentah-mentah. Kasih tahu Presiden bahwa orang-orang di sekelilingnya itu punya kecenderungan tidak lagi memihak rakyat, tapi lebih loyal ke partai. Tolong kasih tahu Pak Presiden yang begitu-begitu.
Kawan-kawan BEM SI bisa saja menyasar ke substansi dasar, soal UU KPK yang kontroversial itu. Kawan-kawan BEM SI pasti bisa kok menunjukkan ke Presiden secara langsung, betapa suksesnya UU ini mempreteli independensi KPK sekaligus mencederai integritas KPK yang dulu-dulu.
Bahwa ketika KPK didirikan karena penegak hukum di negeri ini pada mulanya tidak becus memberantas korupsi (karena kadang si penegak hukumnya justru terlibat dalam kasus korupsi), justru KPK yang sekarang malah disusupi (diketuai malah) oleh penegak hukum itu sendiri.
Sebuah manuver kebijakan wakil rakyat yang sangat absurd, aneh, dan terlihat tidak peduli sama opini publik.
Meski begitu, koreksi ini tentu bukan berarti mengharapkan kawan-kawan BEM SI berhenti memberi desakan ke pemerintah, wabilkhusus ke Presiden. Sedikit koreksi ini sebenarnya justru upaya menambah amunisi tuntutan ke Presiden. Agar makin substansial saja tuntutannya.
Ya maklum, harapan kami sangat besar ke kawan-kawan BEM SI semua. Jadi, tolong wakili keresahan kami soal KPK ini ke Presiden Jokowi. Tolong ya kawan-kawan mahasiswa.
BACA JUGA Cinta yang Berakhir untuk KPK dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.