Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi Guyonan di Medsos

Pantesan orang tua Asia terkenal di jagat meme, soalnya suka nggak masuk akal sih!

ilustrasi Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi Guyonan di Medsos mojok.co

ilustrasi Toxic Parents Merasuki Orang Tua Asia, Stigma Negatif yang Jadi Guyonan di Medsos mojok.co

MOJOK.COCara didik orang tua Asia dianggap toxic parents dan sudah jadi meme. Membandingkan anak sendiri dengan anak tetangga yang paling relate di Indonesia.

Meme internet dilihat dari satu sisi adalah sebuah cara orang-orang di internet bercanda. Di sisi lain, meme juga sebuah produk budaya dan cerminan permasalahan yang kadang cukup berbahaya. Topik soal cara didik orang tua Asia adalah salah satunya. Nggak hanya di Indonesia, ternyata kebanyakan orang tua di beberapa negara Asia juga punya kultur yang mirip.

Netizen menyebutnya sebagai toxic parents, kondisi saat apa yang dilakukan orang tua terhadap anaknya adalah hal yang menyakitkan. Topik ini sensitif benar, tapi media sosial sudah mengekstraksi masalah ini sebagai bahan bercandaan. 

Nggak semua orang tua Asia separah ini, tapi konon banyak anak-anak Asia yang relate dengan kondisi toxic parents. Guyonan paling mengena, adalah guyonan yang memang dialami banyak orang. Coba cek stigma negatif tentang orang tua Asia berikut dan mungkin kamu akan tertawa dalam kegelapan.

#1 Membandingkan anaknya dengan anak tetangga

Konon, ini adalah toxic parents yang paling relate dengan anak-anak Indonesia. Ketika anak tetangga terbilang lebih sukses, punya prestasi segudang, dan sudah menikah duluan, siap-siap mendengar perkataan dari orang tua yang isinya, “Anaknya Bu RT itu lho, sudah… (isi dengan pencapaian anak tetangga).”

Sebenarnya orang tua kita nggak bermaksud menjelek-jelekkan anaknya sendiri. Tapi, entah kenapa kok kalimat penyampaiannya terdengar menyakitkan ya?

Ucapan itu terjadi begitu saja. Salah satu redaktur Mojok yang sudah punya anak, nggak perlu saya sebutkan deh, juga sempat mengalami kondisi ini. Katanya sih, kadang sebagai orang tua mereka nggak sengaja membandingkan anaknya dengan anak tetangga atau anak teman. “Eh, anaknya si X kok sudah bisa calistung pas umur 3 tahun ya.” Duh, semoga anaknya nggak dengar.

#2 Patokan suksesnya spesifik, yaitu jadi dokter, pilot, atau insinyur

Stigma negatif yang satu ini sudah turun-temurun. Pantesan, anak-anak Indonesia kalau ditanya cita-citanya jadi apa kebanyakan jawab pengin jadi dokter. Seolah-olah dokter adalah profesi yang paling baik untuk dirinya. Padahal nggak semua anak cocok jadi dokter, dan nggak semua dokter sesukses yang dibayangkan orang tua Asia. Selain dokter, profesi pilot dan insinyur juga kerap dijadikan patokan sukses.

Kalau kamu punya tetangga yang sepantaran, sudah jadi dokter, dan buka klinik di dekat rumahmu, sedangkan kerjamu remote freelancer, siap-siap tutup kuping dengan apa yang dibilang orang tuamu. Meskipun uangmu mungkin lebih banyak ketimbang si dokter, pekerjaan freelance masih rawan dituduh “ngepet” dan nirprestasi. Ah, andai generasi boomer tahu berapa uang di rekeningmu.

#3 Jarang memuji, tapi membanggakanmu berlebihan di depan orang lain

Sebetulnya ini toxic parents juga sih, walaupun maksudnya baik. Masih mending kan orang tua Asia yang membanggakan anaknya di depan orang lain. Coba kalau di depan orang lain pun anaknya dijelek-jelekin, apa nggak lebih toxic tuh.

Bagaimanapun, rasanya memang nggak enak kalau nggak pernah diapresiasi ayah ibu sendiri. Mungkin aslinya kamu adalah anak gemilang yang penuh prestasi, tapi orang tuamu nggak pernah bilang kalau mereka bangga denganmu. Ya, soalnya gengsi. Pola komunikasi kita kan kadang begitu, gengsi buat mengutarakan perasaan. Sekalinya ketemu tetangga, orang tuamu malah menggembor-gemborkan prestasimu, merasa bangga seolah-olah kamu adalah anak terbaik di dunia.

Nah, ini bahaya nih kalau sampai rumah nanti tetanggamu yang tadi, membandingkan anaknya sendiri denganmu. Hadeh, lingkaran syaiton memang.

#4 Tidak ada kebebasan memilih

Orang tua Asia memang punya stigma cara didik yang mengekang dan mengontrol. Berbeda dengan orang tua Amerika dan Eropa yang cenderung “nggak peduli” dan membebaskan si anak. Meskipun nggak bisa dimungkiri di negara maju juga banyak toxic parents yang jauh lebih parah.

Beruntunglah kamu jika punya ayah dan ibu yang selalu memberimu pilihan dalam keputusan hidup. Beberapa anak di Indonesia ketika usianya sudah lebih dari 25 tahun pun harus izin ke orang tua pas mau resign kerjaan.

Orang tua Asia juga memegang peranan penting soal pilihan pendidikan anaknya. Jika mereka adalah dokter, anaknya juga disuruh jadi dokter. Jika mereka pengusaha, anaknya juga disuruh jadi pengusaha. Kalau anaknya nggak setuju nanti dianggap durhaka, aduh pelik benar.

#5 Nyuruh cepat-cepat menikah, punya anak, punya rumah, punya mobil

Lagi-lagi, maksud orang tua Asia yang semacam ini memang baik. Mereka pengin mendorong anaknya untuk segera mencapai kebahagiaan. Sayangnya kadang mereka lupa kalau patokan kebahagiaan juga beda-beda.

Nggak semua orang beruntung punya pasangan yang baik dan sat-set diajak menikah, nggak semua pasangan beruntung sehingga cepat dikaruniai anak. Masalah ekonomi? Ya nggak bisa juga dipaksakan. 

Ketimbang pusing memikirkan toxic parents dan penyataan menyakitkan orang tua yang bikin mental remuk, memang lebih baik masalah ini diketawain aja. Jalan keluarnya rumit, sih. Melawan dianggap durhaka, nggak melawan kok sumbu kesabarannya harus dibuat panjang banget. Dachlach.

BACA JUGA Orangtua Saya Selalu Membandingkan Saya dengan Joshua Suherman dan artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version