ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Anak yang Dipaksa Durhaka oleh Orang Tuanya

Arman Dhani oleh Arman Dhani
27 Juni 2021
0
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Orang tua kerap menuntut anaknya. Jika tidak mau, dicap anak durhaka. Jika gagal, akan dicela dan dibandingkan dengan saudara-saudaranya.

Aku tumbuh dengan membenci Ibu. Nyaris setiap hari, sepanjang aku ingat, saat SMP-SMA Ibu membandingkanku dengan kakak yang jadi sarjana di IPB.

“Kakakmu itu selalu ranking, kamu kenapa tidak bisa seperti dia?”

Kata-kata itu selalu diucapkan saat ibu mengambil rapot dan kadang dengan tatapan memelas. Mengasihani, kenapa aku jadi bodoh atau tidak sepintar anaknya yang lain.

Saat ini hubunganku dan Ibu sudah jauh lebih baik. Kami tak lagi bicara dengan nada yang merendahkan, disispi Amarah, atau kebencian. Aku sayang ibuku tapi kadang ada beberapa luka yang tak bisa disembuhkan waktu dan hanya bisa diterima sebagai keadaan apa boleh bikin.

Dalam keluarga, dinamika relasi orang tua dan anak-anaknya bisa sangat panas. Anak dituntut memenuhi ekspektasi yang ajaib, sesuatu yang kadang tak masuk akal dan tidak boleh gagal kalau tidak mau dianggap lingkungan sebagai anak durhaka.

Orang tuaku gemar menekan anaknya untuk selalu jadi lebih baik. Lebih baik dari siapapun kecuali dirinya sendiri. Kami dibandingkan, membentak, dituntut untuk jadi lebih baik, dengan kondisi seadanya.

Aku dituntut untuk lebih baik dari kakakku, adikku dituntut lebih baik dariku, sementara ibu dan bapak begitu saja dari dulu. Toxic dan gemar melakukan gaslighting.

Waduh, mohon maaf nih pembaca sekalian, bukan aku ingin jadi anak durhaka. Jelek-jelekin orang tua di media. Tapi kadang nggak semua orang tua layak dihormati dan kadang beberapa orang tua yang brengsek, bisa taubat dan jadi rekan yang baik bagi anak-anaknya.

Nggak percaya? Coba baca aja berita tentang conservatorship yang dialami oleh Britney Spears. Penyanyi itu diekspolitasi, dibatasi, dan dikendalikan ayahnya dengan mengerikan.

Tidak semua orang tua toxic, tapi banyak orang tua yang tak sadar dirinya toxic. Mereka menganggap apa yang dilakukan adalah kebaikan, sementara kita berpikir yang mereka lakukan adalah kejahatan.

Satu-satunya cara agar bisa menemukan jalan tengah adalah dengan bicara baik-baik. Kondisi ini mungkin tak ideal. Orang tuaku tumbuh dengan bagaimana orang tua mereka mendidik, yang mungkin dengan standar saat ini jadi problematik. Tapi apa iya kita harus terus mengalah?

Orang tua kadang tak menyadari apa yang ia lakukan menyakitkan atau membuat anaknya sedih. Ini mengapa saat Dea Anugerah di Twitter bercerita tentang pengalaman dan hubungannya dengan sang adik, aku merasa tidak sendiri.

Dunia yang kita tinggali ini tidak memberikan kesempatan yg setara kepada setiap orang, sekalipun orang-orang itu berasal dari rumah dan keluarga yg sama. Jadi, jangan pernah percaya fafifu meritokrasi kerja keras american dream tai kucing, ya, teman-teman.

— Dea Anugrah | Sudah Divaksin (@wildwestraven) June 23, 2021

Ibuku yang gemar membanding-bandingkan anaknya, secara tidak langsung membuat kepercayaan diri kami hancur berantakan. Aku ingat kakakku menyerah tak lagi melanjutkan kuliah, karena mengalah pada adiknya. “Kamu lebih pintar dariku, jadi aku berhenti saja,” katanya.

Kakakku adalah orang yang baik. Ia lembut, sosok yang selalu ada bagi kami adik-adiknya. Pintar menggambar dan sangat mudah mengingat lagu.

Ia hanya butuh sekali mendengar sebuah lagu untuk bisa memainkan nadanya dengan gitar. Ia jelas tak pandai soal matematika, fisika, atau kimia. Tapi jika orang tua kami mengizinkan ia jadi pelukis atau musisi, mungkin ia akan jadi sosok yang lebih sukses.

Sayangnya banyak orang tua mengukur kesuksesan anak berdasarkan angka dalam rapot, bukan bagaimana ia jadi manusia di masyarakat.

Kakakku yang mengalah itu kemudian hanya lulusan SMA belaka. Dibandingkan dengan saudaraku lain yang kuliah, sarjana, dan bekerja di kantor-kantor tinggi di Jakarta.

Padahal saat tetangga kami susah, saudara jauh butuh bantuan, kakakku yang lulusan SMA itu yang paling depan membantu. Kami yang sarjana ini, hanya bisa mengirim uang, tak lebih. Tapi kadang nilai nominal uang itu dianggap lebih berharga, lebih penting, daripada keberadaan kakak yang selalu membantu itu.

Aku pikir kakakku tak sendiri. Di kolom komentar Dea Anugerah, banyak orang yang mengaku harus mengalah. Mereka yang dipaksa mundur karena harus memberikan kesempatan pada saudaranya yang lain.

Beberapa mengalah dengan kesadaran sendiri, mengakui bahwa kesempatan untuk sukses akan lebih mungkin dicapai oleh saudaranya. Tapi berapa banyak yang dipaksa mundur karena rasa hina, rasa malu, dibikin tidak percaya diri oleh orang tuanya.

Kadang kita lupa betapa keji dan celaka kata-kata. Bertahun-tahun dibandingkan, dibikin percaya kalau kita tidak layak, bukan Tidak mungkin kita percaya sugesti itu. Tumbuh rendah diri, membenci hidup, tak percaya pujian, hingga mengorbankan diri untuk orang lain.

Baru bertahun-tahun kemudian, setelah konseling, upaya untuk selalu mengorbankan diri adalah trauma respons. Kita adalah produk gagal pendidikan orang tua yang mengharuskan diri berkorban untuk bisa punya makna.

Mungkin apa yang aku tulis ini akan membuat orang memikirkan ulang tentang konsep durhaka, patuh pada orang tua, dan segala yang ada di antaranya. Kita ditodong dan disandera dengan nilai-nilai didikan zaman jahiliah yang menganggap orang tua tak bisa salah, sementara anak tak pernah tua.

Kita dipaksa untuk harus patuh, tunduk, dan diminta berkorban. Karena lahir adalah anugerah, maka orang tua berhak melakukan apapun pada anaknya. Tapi mungkin kita lupa, bahwa tak ada anak yang diajak rembuk dan bersepakat tentang hidup.

Orang tua menentukan apa yang baik dan benar, memaksakan nilai yang menurut mereka paling benar. Sementara jika gagal, anak kerap dianggap durhaka, tapi tidak pernah bagi orang tua.


BACA JUGA Menuntut Anak Macam-macam Padahal Jadi Orang Tua aja Nggak Becus dan tulisan Arman Dhani lainnya.

Terakhir diperbarui pada 27 Juni 2021 oleh

Tags: anak durhakaDea Anugrahdurhakagaslightingmembandingkan anakorang tuatoxic
Iklan
Arman Dhani

Arman Dhani

Arman Dhani masih berusaha jadi penulis. Saat ini bisa ditemui di IG @armndhani dan Twitter @arman_dhani. Sesekali, racauan, juga kegelisahannya, bisa ditemukan di https://medium.com/@arman-dhani

Artikel Terkait

Hasto Wardoyo batasi penjualan miras di Yogyakarta karena kasus penusukan santri krapyak. MOJOK.CO
Kilas

Gerombolan Pemuda Mabuk Tusuk Santri Krapyak, Hasto Minta Penjualan Miras Dibatasi

26 Oktober 2024
Benarkah Jogja Cocok Ditinggali Oleh Para Pensiunan yang Ingin Menghabiskan Masa Hidupnya?
Movi

Benarkah Jogja Cocok Ditinggali Oleh Para Pensiunan yang Ingin Menghabiskan Masa Hidupnya?

17 Juni 2024
Bos yang Toxic adalah Waktu yang Tepat untuk Resign MOJOK.CO
Ragam

Bos yang Toxic adalah Waktu yang Tepat untuk Resign

20 Januari 2024
Keluh Kesah Menjadi Anak Kesayangan Orang Tua. MOJOK.CO
Kilas

Keluh Kesah Menjadi Anak Kesayangan Orang Tua

21 Mei 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bukan Janji, Tapi Jalan : 100 Hari Pertama Masa Kepemimpinaan Wali Kota Solo

Bukan Janji, Tapi Jalan : 100 Hari Pertama Masa Kepemimpinaan Wali Kota Solo

13 Juni 2025
ngopi di jogja, coffee shop jogja, mahasiswa baru.MOJOK.CO

Mahasiswa Baru Kaget Pertama Kali Ngopi di Coffee Shop Jogja, Niat Nugas Malah Boncos dan Malu karena Nggak Tahu Espresso

12 Juni 2025
Upaya mahasiswa dapat beasiswa s2 dari dosen Unair. MOJOK.CO

Gelar Sarjana Akuntansi Tak Guna, Akhirnya Pilih Kuliah S2 dan Nekat Cari Beasiswa dari “Ordal” dengan Harapan Kerja di Perusahaan Besar

11 Juni 2025
Lulusan SMK PGRI Lubuklinggau jadi karyawan Alfamart dan Indomaret, kerja apapun layak diapresiasi MOJOK.CO

Lulusan SMK “Hanya” Jadi Karyawan Alfamart dan Indomaret: Sekolah Harus Tetap Bangga, Karena Sukses Tak Dilihat dari Status

12 Juni 2025
Wisata di Bali anti ribet dengan eSIM MOJOK.CO

Liburan ke Bali Tanpa Drama: Cukup eSIM, Sinyal Aman, Kantong Tenang

10 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.