MOJOK.CO – Kita sering bertanya-tanya, siapakah the one kita? Kalau memang dia, apakah kita bisa mencintai satu orang saja seumur hidup nanti?
Tidak sedikit orang yang mempertanyakan: siapakah soulmate-nya? The one yang dianggap menjadi seseorang yang akan jadi sandaran sampai akhir hayat nanti. Yang akan selalu dicintai setengah mati. Akan tetapi, benarkah kita dapat mencintai satu orang saja seumur hidup kita? Ketika kita telah memilih seseorang tersebut, maka tidak akan mungkin lagi kita mencintai orang lain? Mungkinkah hal ini betul-betul akan terjadi? Kok saya nggak yakin-yakin amat ya, bakal bisa mencintai satu orang saja sebagai the one saya?
Begini nih, mohon maaf. Menurut saya, akan sangat sulit merasa hanya satu orang saja yang bakal bisa dicintai. Ketika awalnya kita merasa seolah menemukan the one, kita menganggap tidak akan tertarik pada yang lainnya. Kalau di dalam kepala kita pikiran semacam ini yang ada dan terekam dengan begitu kuatnya. Maka siap-siap saja, kalau suatu saat nanti ketika sudah menjalin kasih dengan seseorang. Lalu melihat orang lain dan menganggap dia adalah seseorang yang jauh lebih baik. Lantas muncul sebuah keyakinan, “Jangan-jangan kita salah. Jangan-jangan, dia (yang baru) adalah the one yang selama ini sudah kita cari-cari.” Apalagi, hal ini semakin diperkuat dengan keadaan hubungan yang sedang dijalani sedang nggak baik-baik aja.
Nah, kalau hal ini terjadi berulang kali. Lantas, sampai kapan kita dapat menahan diri untuk tidak tertarik pada orang baru yang tampak lebih unyu? Untuk betul-betul yakin dapat bertemu dengan si the one? Sampai kapan? Hmmm? Sampai ladang gandum dihujani meteor coklat dan jadilah Koko Krunch? (Halah, lawas).
Jadi, akan sangat mungkin dalam perjalanan menjalin kasih dengan seseorang—yang pada awalnya kita kira sebagai the one, perasaan tersebut kemudian berubah ketika kita bertemu dengan orang lain yang terlihat jauh lebih menarik. Sangat mungkin, kita menganggumi, mencintai, atau apa pun itu, dengan seseorang yang baru. Yang kemudian, dengan sangat sok tahunya, langsung kita sebut sebagai the one sesungguhnya, yang selama ini kita cari-cari.
Padahal, kalau perasaan semacam ini terus menerus dituruti, ya jelas nggak ada juntrungannya. Kita bakal merasakan perasaan yang kayak gitu lagi, kayak gitu lagi.
Lagian, berapa sih, kira-kira peluang yang memungkinkan kita berkesempatan untuk mencintai seseorang yang juga mencintai kita? Yang kemudian kita anggap sebagai the one? Tentu nggak sebanyak dibanding falling in love with people we can’t have, bukan? Jadi, nggak perlulah ke-PD-an sok menemukan the one yang baru. Hati-hati, itu semua semu. Nggak ada jaminan mutu.
Atau sekalian lah, nggak usah sok menyimpelkan hidup dengan menyebut-nyebut the one. Bisa jadi, sebetulnya mereka ini memang nggak ada. Merasa si the one ada, malah bisa membuat kita terkungkung (((bertahan dengan dia))) meski keadaan tidak baik. Atau sebaliknya, mudah berpaling jika melihat ada yang tampak lebih menarik.
Kalau dipikir-pikir, yang memperkuat sebuah hubungan, bukanlah saat kita sudah menemukan the one. Yang nemunya dengan sok-sokan berdasarkan intuisi cinta. Cinta dan sayang mah, gampang kedaluwarsa, Malih. Gampang berubah sering waktu. Apalagi kalau keadaan untuk tetap bersama menjadi semakin sulit.
Namun, yang memperkuat hubungan adalah komitmen. Ya, komitmenlah yang jadi jantung (halah, jantung) alias kekuatan dari hubungan tersebut. Komitmen jugalah yang pada akhirnya memberi bumbu-bumbu lagi pada rasa yang sudah terasa hambar. Dan komitmen, yang kemudian menjadikan segala kebersamaan sebagai sebuah kebiasaan untuk bertahan satu sama lain.
Lantas, jika kepercayaan atas komitmen tersebut kuat, tidak mungkin kita dengan mudahnya memutuskan sebuah hubungan yang telah terjalin. Hanya karena tertarik dengan orang baru yang datang dengan segala harapan-harapan manis dan pesonanya yang begitu luar biasa. Lagi-lagi, ini bisa terjadi kalau komitmen atas hubungan tersebut kuat adanya. Nggak muntup-muntup yang timbul tenggelam gitu.
Meski pada akhirnya kita mendewakan sebuah komitmen, jangan lupa juga. Kalau yang namanya komitmen ini, baru bisa kuat saat nggak dijalankan sendirian. Dia harus menjadi sebuah ketersalingan. Di mana kalian akan sama-sama semakin dekat dan kuat ketika berada dalam keadaan yang sulit dan nggak baik-baik saja. Kalau dijalani sendirian, jelas capeklah. Betul-betul nggak sesuai dengan semangat gotong royongnya orang Indonesia.
Selain itu, gimana-gimana, yang namanya jalanin komitmen juga harus pakai logika. Jangan sampai kita terpaksa mempertahankan komitmen, meskipun dia yang kita anggap the one itu sudah jelas-jelas selingkuh atau memperlakukan kita dengan tidak baik. Kalau kayak gitu, mah, ya, buat apa, Maemunah?
Tapi yang jelas, hubungan yang bahagia itu bukan ditemukan, tapi dia dibentuk. Jadi, nggak usah nganggep baru bisa merasa betul-betul bahagia kalau sudah bertemu sama the one, ya.