MOJOK.CO – Iman TGB bisa ditakar karena dukung Jokowi? Bagaimana cara ukur kadar iman? Kalau di Indonesia tentu mudah. Tinggal bergabung di “sebuah barisan” saja.
Tahun politik memang masih tahun depan, 2019. Namun, sejak sekarang pun, uap-uap panas itu sudah terasa, terutama sebelum dan setelah pilkada dilangsungkan. Kepentingan bernama jabatan politik mesti diperebutkan, dengan berbagai cara, dengan berbagai siasat. Sayangnya, yang bersiasat adalah mereka “para tuan wahai”, yang merasakan uap panasnya mereka yang “di bawah”.
Uap panas itu sebenarnya sudah terasa sejak pemilu 2014, ketika Joko Widodo head to head dengan Prabowo Subianto. Keberadaan dua kubu membuat suasana menjadi sangat panas. Jika satu pihak diserang, yang menyerang pasti pihak sebelah. Begitu juga sebaliknya. Isu agama dan ras menjadi bensin, sedangkan fitnah adalah kendaraannya.
Yang merasakan panas adalah mereka “yang ada di bawah”, hingga sekarang ini, tahun 2018, ketika masa jabatan Presiden Joko Widodo tinggal hitungan bulan saja. Sang petahana tentu maju lagi di tahun 2019. Pertanyaannya, siapa yang bisa melawan? Pendaftaran maju nyalon 2019 tinggal hitungan minggu. Jika tak ada halangan, tanggal 10 Augustus adalah masa akhir pendaftaran calon peserta pemilu 2019.
Tujuh hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia, calon presiden Indonesia akan ketahuan. Meski pengumuman peserta mungkin masih akan nanti menjelang 10 Agustus, arus dukungan sudah mulai terarah. Beberapa pejabat publik sudah jauh-jauh hari menegaskan mendukung petahana. Sementara itu, beberapa nama politisi yakin dengan koalisis oposisi. Koalisi yang belum ketahuan, apakah hanya “koalisi keummatan” (Gerindra, PKS, PBB, PAN), atau akhirnya terbentuk juga “poros ketiga” yang dirancang oleh Partai Demokrat.
Arus dukungan itu penting maknanya. Semakin banyak media darling yang merapat, tentu semakin menarik. Media darling, sih, bukan hanya soal kecakapan berpolitk. Asalkan kalimat-kalimatnya didengar (dibaca lewat gawai), tentu tidak mengapa. Mengatrol popularitas adalah keharusan. Maka, masing-masing pihak berusaha mengamankan dukungan itu. Baik dari politisi, sosok kekasih publik, ulama, akar rumput, hingga artis.
Oleh sebab itu, ketika Tuan Guru Bajang (TGB) menyatakan dukungan kepada petahana, media sosial menjadi riuh. Gawai menjadi cepat panas lantaran dipakai berselancar, digunakan untuk berdebat apakah TBG itu waras atau tidak sih. “Seberapa dalam, sih, iman TGB”, jika menyitir kalimat Fadli Zon.
TGB dianggap masuk ke dalam parameter ulama dan politisi. Ucapannya punya dampak yang luas. Ia memegang jabatan politik, Gubernur NTB, sudah dua periode. Konon, TGB pula yang punya peran besar memenangkan Prabowo di NTB, waktu pemilu 2014 yang lalu. Maka, ia yang memenangkan Prabowo, lalu mendukung Joko Widodo, tentu menjadi topik yang tidak boleh dilewatkan.
Yang menarik adalah ketika Fadli Zon menyebut iman TGB bisa ditakar lantaran mendukung Jokowi lalu dilanjutkan dengan pencoretan nama TGB dari daftar calon presiden milik Persaudaraan Alumni 212 (PA 212).
Dalam Rakornas PA 212 digelar di Aula Sarbini, Taman Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur, Selasa 29 Mei lalu, PA 212 merilis lima daftar rekomendasi capres. Dari lima nama tersebut, Tuan Guru Bajang menjadi salah satunya. Empat nama lainnya adalah Habib Rizieq Shihab, Prabowo Subianto, Yusril Ihza Mahendra, dan Zulkifli Hasan.
Menjadi menarik karena, apakah iman manusia memang hanya diukur dari siapa mendukung siapa? Bukan seberapa baik kita memperlakukan sesama dan rajin beribadah?
TGB dulu dipuji-puji kealimannya, kedalaman ilmu agamanya. Namanya dilambungkan sebagai salah satu “pemimpin umat” yang cocok memimpin Indonesia, sebuah negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun, begitu mendukung seseorang yang tak sesuai dengan aspirasi “mayoritas”, nama TGB langsung dinyinyirin, disindir, sampai dicoret dari daftar calon presiden PA 212. Mendadak, iman dan kealiman TGB tak ada artinya lagi.
Saya jadi ingat ketika Ahok didemo secara gencar. Kalau balbalan namanya di-gegenpressing. Yang mendukung Ahok disebut sebagai kafir, aseng, dan lain sebagainya. Mendukung Ahok bukan representasi kedalaman iman seorang manusia. Lantas, bagaimana apabila ada manusia “pribumi” pendukung Ahok yang tiap minggu menyantuni orang miskin, anak yatim, dan papa yang seharusnya dipelihara oleh negara itu? Masihkah imannya rendah?
Bagaimana jika saya, mendukung Ahok dan Jokowi, beragama Katolik, suka makan babi, dan suka membantu teman? Kafir saya tentu dobel, tumpuk-tumpuk. Sudah pasti saya masuk neraka?
Ini pengumuman penting. Bagi warga dunia, jika ingin masuk surga, datang saja ke Indonesia, lalu bergabung di barisan tertentu. Niscaya…