MOJOK.CO – Belajar Bahasa Jawa itu susah bagi pendatang. Semakin sulit kalau yang diajak belajar malah pakai elu gua.
Bagi saya yang berasal dari Depok, Jawa Barat, kuliah di tanah orang memiliki kesulitan tersendiri. Sudah tiga tahun lebih saya hidup di Surakarta, nyatanya tidak serta merta membuat saya fasih dalam berbahasa Jawa. Padahal saya sudah mencoba mengamalkan beberapa cara yang diajarkan sama guru les yang kasih tahu bagaimana mempelajari bahasa dengan baik dan benar.
Misalnya bertanya kepada kawan saya mengenai kata yang belum saya ketahui artinya atau mencoba melakukan pencitraan agar terlihat mudeng, yaitu menggunakan Bahasa Jawa sederhana dalam percakapan sehari-hari. Tapi yo embuh yo kok isih angel men ngomong jowo.
Sebenarnya saya cukup paham kenapa belajar bahasa daerah menjadi hal yang sangat sulit. Apalagi di tanah Jawa, daerah yang menjadi faktor kunci hajat politik elektoral pada tahun 2019 besok. Salah satu kendala tersebut—yang telah saya alami sepanjang 22 tahun hidup di bumi—adalah beragamnya jumlah dialek dalam bahasa tersebut.
Bayangkan, di Jawa terdapat banyak dialek yang mengakibatkan tidak adanya standar umum untuk jadi panduan dalam berbahasa. Di satu sisi menjadi kekayaan lokal dan membuatnya istimewa, namun di sisi lain membuat orang-orang kayak saya jadi sulit untuk mempelajarinya. Apalagi saya, yang ketika pelajaran Bahasa Sunda di sekolah cuma ngandalin contekan teman.
Meski begitu, Bahasa Jawa tidak benar-benar asing dalam kehidupan saya. Sebab, kampung halaman orang tua saya di Kroya, Cilacap. Sejak kecil, tiap kali mudik, saya memperhatikan bahwa bahasa yang digunakan oleh orang Cilacap beserta saudara-saudara saya ya Jawa Ngapak. Sehingga dari kecil, batita, balita, sampai akil balig, saya tidak boleh kehilangan fokus dalam memperhatikan perbincangan di keluarga saya. Dengan pengalaman langsung berbahasa Jawa di keluarga saya itu saja, saya masih sering kebolak-balik dalam menempatkan grammar ngapak dengan tepat.
Sedangkan ketika saya kuliah di Solo, tentu ceritanya beda lagi. Adanya konsep ngoko, madya, dan krama membuat variasi Bahasa Jawa yang masuk ke kuping saya semakin beragam. Belum lagi teman saya yang berasal dari Jawa Timur. Dua kata pamungkas mereka, yaitu “Cak” dan “Cuk” biasa keluar dari mulut mereka, tapi anehnya, teman saya yang asli Solo malah berpesan jangan menggunakan kata itu—terutama “cuk”—dalam percakapan sehari-hari. Hedeh, terus siapa dong yang benar?
Lain hal ketika para mahasiswa pendatang kayak saya, yang tidak bisa berbahasa jawa namun enggan untuk belajar. Lha gimana? Berusaha belajar saja nggak, apalagi mengamalkan. Alih-alih mengakui kesalahan, mereka malah menjadikan tajuk nasionalisme sebagai legitimasi, “pakai bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dong, biar semuanya ngerti,” begitu katanya. Halah, nasionalisme ndasmu meletot!
Kalau pendatang yang enggan belajar bahasa Jawa di tanah Jawa sudah bisa kita anggap menyebalkan, eit nanti dulu, masih ada satu jenis lagi, yang menjadi jenis paling menyebalkan di dalam sebuah pergaulan praktik-praktik gegar budaya.
Yaitu orang yang aslinya medhok tapi memaksakan lidahnya untuk memakai gua elu dengan niat ingin menaikan derajat pergaulan mereka. Padahal jatuhnya maksa. Saya susah-susah belajar Bahasa Jawa, eh dia malah pakai gua elu ke saya. Saya sih berbaik sangka saja, barangkali dia melakukannya agar mudah akrab dengan saya, tapi lama kelamaan saya pikir kok jadi mengganggu pendengaran ya jadinya?
Tengok salah satu teman saya bernama Burhan (bukan nama sebenarnya) yang berasal dari Kebumen. Seorang pemuda dengan paras cukup tampan dan mempunyai selera pakaian yang oke punya. Pria yang dengan mudahnya memikat hati mahasiswi lewat senyum yang ia berikan. Dengan kebiasaan ngapaknya, si Burhan selalu maksa gaul tiap berbicara kepada teman-temannya yang berasal dari Jabodetabek—seperti saya.
Saya perhatikan betul, si Burhan ini selalu mengganti kata rika atau inyong yang biasa ia pakai ketika ada di rumah, dengan gue namun menggunakan pengejaan N-G-G-U-E. Ya bukan gaul jatuhnya, namun membuat saya jadi cemas. Takut saja saya kalau mendadak si Burhan sampai keselek sama lidahnya sendiri di tengah-tenah perbincangan dengan saya. Lha kan serem.
Saya tahu, ilmu dalam memahami Bahasa Jawa saya terbilang lambat. Bahkan nyaris jeblok, tapi bukan berarti saya tidak mau terus belajar.
Paling tidak, sampai sekarang, saya baru bisa memahami orang lain berbicara dengan menggunakan Bahasa Jawa, meski tanpa bisa membalas percakapan dengan menggunakan Bahasa Jawa juga.
Salah satu trik yang saya lakukan biasanya menggunakan kata-kata seperti nggih agar terlihat paham ketika mendengarkan penjelasan seseorang atau sampeyan ketika memanggil lawan bicara yang lebih tua. Ya biar kelihatan Jawa gitu.
Mendengar orang lain berbicara Bahasa Jawa, kemudian berbicara sedikit-sedikit hingga lancar. Kalau terdengan aneh, ya saya mohon maaf. Sehingga tak perlulah kalian jadi kelewat baik memakai Bahasa Jabodetabek untuk bicara kepada orang kayak saya lalu tenggelam dalam pepatah klasik: Wong Jowo Ilang Jawane.
Atau jangan-jangan ketika saya ngomong Jawa, terdengar oleh teman-teman saya seperti si Burhan ngomong “NGGUE” ke saya ya? Duh.