MOJOK.CO – Menonton serial Kingdom benar-benar membikin saya jengkel dan emosi. Rasanya saya jadi ingin mengumpat terus-menerus.
Saya merasa seperti anak kemarin sore yang pah-poh, ngah-ngoh, dan ndah-ndoh tiap kali kawan-kawan saya membicarakan tentang serial Goblin. Saya, sebagai orang yang saat itu memang tidak pernah tertarik untuk menyimak serial tersebut menjadi tampak sangat bodoh dan terbelakang.
Ini bukan kali pertama, sebelumnya, saya pernah merasakan hal serupa saat semua orang, termasuk kawan-kawan di kantor saya begitu antusias membicarakan Game of Thrones, yang mana sekali lagi, saya tidak mengikutinya.
Setiap kali ada serial baru yang booming, saya tak bisa tidak pasti bakal menjadi sosok yang terisolir dari arus pembicaraan.
Memang sih, saya sesekali mengikuti serial di beberapa layanan streaming film berbayar, tapi sialnya, hampir semua serial yang saya tonton itu ternyata nggak booming-booming amat, atau setidaknya, tidak banyak diperbincangkan oleh kawan-kawan saya. (Halooo, ada yang suka nonton serial “Brata” di sini? Dapat salam dari Nek Leti)
Saya tentu saja tak ingin pengalaman menjadi pah-poh, ngah-ngoh, ndah-ndoh itu terus-menerus memeluk saya. Itulah kenapa saya mulai berusaha untuk lebih mendekatkan diri pada pergaulan peradaban masa kini.
Langkah pertama yang saya ambil tentu saja adalah dengan berlangganan Netflix.
Sebelum saya berlangganan Netflix, saya sudah lebih dulu berlangganan Hooq (sebab memang sudah satu paket dengan layanan seluler yang saya pakai) dan Apple TV (Ini gara-gara bos saya menyuruh saya menonton serial The Morning Show).
Namun, selama berlangganan Hooq dan Apple TV, saya merasa tidak ada satu pun serial yang benar-benar booming. Bagus sih bagus, tapi jarang yang booming. Hal ini mungkin karena hampir semua serial yang ngetren tayangnya di Netflix. Mangkanya, begitu saya berlangganan Netflix, saya langsung menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial-serial bagus di sana.
Sejauh ini, saya sudah menonton beberapa serial (agak) lawas kayak Narcos, Sex Education, juga La Casa de Papel.
Dan bedebah, ternyata memang serial di Netflix bagus-bagus, dan yang lebih penting, banyak diperbincangkan.
Nah, setelah berlangganan Netflix, kesempatan pertama saya untuk ikut serta dalam dialektika peradaban akhirnya datang melalui serial Kingdom.
Banyak kawan-kawan saya yang mendadak membicarakan betapa bagusnya serial Korea ini.
Tidak bisa tidak, saya harus menontonnya.
Saya lantas mulai mencari review dan pendapat-pendapat dari mereka yang sudah menonton Kingdom. Dan setelah saya baca, banyak sekali yang mengaku emosi dan jengkel sendiri setelah menonton Kingdom.
Pada akhirnya, saya akhirnya benar-benar memutuskan untuk menonton Kingdom.
Serial ini bercerita tentang putra mahkota dinasti Joseon bernama Lee Chang yang mengembara untuk meyelamatkan kerajaan dari wabah penyakit mematikan yang menyerang banyak orang di wilayah kerajaannya, termasuk ayahnya sendiri.
Wabah penyakit tersebut membuat penderitanya menjadi zombie atau mayat hidup yang bisa menularkan penyakitnya itu pada siapa saja yang digigit olehnya.
Setelah menonton Kingdom, saja jadi sadar bahwa omongan orang-orang tentang serial Kingdom yang bikin emosi dan jengkel ternyata benar adanya.
Saya menjadi bukti nyata betapa menonton Kingdom ternyata harus membuat saya menjadi sosok yang berkali-kali mengumpat sendiri “Goblok, Pekok!”
Saya merasa harus mengeluarkan umpatan tersebut sebab ada banyak adegan yang memang memancing emosi saya.
Salah satu emosi yang muncul saat menonton Kingdom adalah karena tokohnya yang saya pikir terlalu baik dan terlalu jahat.
Lee Chang terlalu baik, sedangkan musuhnya, yang merupakan ibu tirinya (yang megincar tahta kerajaan) terlalu jahat. Baiknya keterlaluan, jahatnya keterlaluan. Sangat tidak manusiawi.
Ini sama kayak Lala mau dijahatin bagaimanapun sama Bombom, ia akan tetap baik sama saudaranya itu. Atau Mbak Leily Sagita, mau dibaikin gimana juga, ia akan tetap menjadi tokoh jahat yang mendelik-mendelik dengan tatapan mata yang sangat mengerikan. Saking mengerikannya tatapannya, ia sampai layak untuk dijadikan ancaman buat anak kecil yang nggak mau makan atau nggak mau mandi. “Hayo, makan nggak? kalau nggak mau makan nanti tak panggilin mbak Leily Sagita, lho!”
Bagian lain yang membikin emosi, dan sialnya terjadi berkali-kali, adalah ketika ada tokoh yang akan dikejar oleh zombie, ia bukannya lari, tapi malah berdiri diam. Ia baru lari saat si zombie sudah berada sangat dekat dengannya.
Ingin sekali saya berteriak “Kamu itu sedang dikejar zombie, Suuu! bukan sedang ikut lomba lari estafet. Asuuu!”
Adegan ini pertama kalinya saya dapati ketika sosok putra mahkota Lee Chang sedang berkelahi dengan musuhnya. Di tengah-tengah pertarungan, muncul zombie yang kemudian menggigit musuhnya.
Ketika musuh Lee Chang sekarat, zombi tersebut kemudian beralih mengincar Lee Chang.
Dan bajingan betul, si putra mahkota ini bukannya lari, tapi justru melotot menatap si zombi yang sebentar lagi pasti bakal bangkit dan menerjang untuk kemudian menggigitnya.
Dalam kondisi demikianlah saya mengumpati si putra mahkota. “Pantes aja ada orang istana yang nggak mau kamu jadi raja, wong kamu memang goblok begitu.”
Adegan menjengkelkan berikutnya adalah saat rombongan Putra Mahkota terjebak di sebuah jalan di sebuah lorong parit saat sedang dikejar-kejar oleh ratusan zombie.
Rombongan tersebut pasti tak akan selamat sebab jumlah zombie yang mengejar mereka rasanya tak habis-habis.
Keajaiban terjadi. Salah seorang prajurit kemudian mengorbankan dirinya dengan mengikat tubuhnya di sebuah pintu agar bisa mengganjal gerbang parit sehingga zombie-zombie tersebut bisa sedikit tertahan.
“Cepat lari, selamatkan putra mahkota,” kata si prajurit yang kemudian langsung menusuk tubuhnya sendiri agar ia mati sehinggga kalau digigit zombie ia tidak ikut berubah menjadi zombie.
Tapi dasar bedebah. Sudah tahu ada prajurit yang mau mengorbankan diri, rombongan itu bukannya langsung lari, tapi justru hanya melihat si prajurit yang berkorban itu sambil terbengong-bengong menyaksikan sakaratul maut si Prajurit.
“Lari, Asuuuu!” maki saya.
Kejengkelan saya benar-benar hampir di ubun-ubun. Ini sama rasanya seperti menonton film horor, di mana ada tokoh yang sudah tahu kalau ada suara yang tak beres dari sebuah ruangan, bukannya dijauhi, malah disamperin.
Atau sama rasanya seperti menonton sinetron Indonesia ketika ada adegan orang yang mau tertabrak mobil, ia bukannya menghindar, tapi malah hanya berdiri dan berteriak sambil menutup keduanya matanya.
Lamat-lamat, saya jadi ingat dengan Bapak saya yang pada suatu ketika pernah marah-marah sendiri gara-gara menonton sinetron.
“Dasar goblok, itu lho si Robi mumpet di belakang mobil, masak kayak gitu aja nggak lihat!” Maki bapak penuh emosi pada kotak televisi yang ia tonton.
Dulu, saat menyaksikan adegan tersebut, saya menertawakannya. Saya tak menyangka, sekarang, saya berada dalam kondisi yang sama dengan bapak saya: mengumpati tokoh-tokoh yang saya tonton di layar.
Ini sungguh menjengkelkan. Dan yang lebih menjengkelkannya lagi, saya menonton serial Kingdom sampai selesai, sampai season 2 usai. Dan sekarang sudah nggak sabar untuk menonton season berikutnya.
Ah, mungkin memang inilah konsekuensi yang harus saya tanggung demi bisa ikut dalam arus peradaban masa kini.
Setidaknya kini saya bisa nyambung kalau ada kawan-kawan ngobrol soal Kingdom. Saya sudah punya otoritas untuk bisa ikut bilang “Iya, emang goblok banget itu putra mahkota!”