Sekitar 1 bulan sebelum resmi menjalani hari demi hari sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, saya mendengar sebuah stigma yang mengganggu. Setidaknya untuk saat itu. Katanya, jurusan ini hanya untuk mahasiswa gagal. Khususnya mereka yang gagal atau tidak mampu secara kemampuan otak.
Khususnya lagi bagi mereka yang secara akademik tertinggal. Mereka ini gagal memperebutkan kursi di fakultas bergengsi. Misalnya, kedokteran, teknik, psikologi, hingga Bahasa Inggris. Makanya, Sastra Indonesia menjadi semacam pelarian. Minimal tetap menyandang status sebagai mahasiswa.
Posisi Sastra Indonesia di kampus saya
Stigma itu menempel sampai saya menjalani perkuliahan di Prodi Sastra Indonesia. Saya kuliah di Sanata Dharma, masuk Fakultas Sastra. Nah, di fakultas ini, Sastra Indonesia berbagai tempat bersama Sastra Indonesia dan Prodi Sejarah.
Bahkan di fakultas sendiri, Sastra Indonesia dianggap berada di bawah Sastra Inggris. Jurusan saya ini berada 1 level dengan Prodi Sejarah. Sama-sama berisi mahasiswa gagal. Sudah begitu, jumlahnya sedikit pula. Angkatan saya saja hanya berisi 21 orang dan di akhir masa kuliah hanya separuh yang berstatus sarjana S1.
Lantas, bagaimana dengan fakultas lain di Sanata Dharma? Sudah jelas kalah bergengsi. Untuk Kampus Mrican, fakultas favorit tentu saja Pendidikan Bahasa Inggris (PBI). Bahkan jauh sebelum saya kuliah, status PBI sebagai favorit sudah saya rasakan. Maklum, kayak saya alumni PBI dan betapa sering dia membanggakan status tersebut.
Oleh sebab itu, kalau sedang ada kumpulan keluarga, antara saya dan kakak seperti ada barrier. Dia alumni PBI, sementara saya “hanya” mahasiswa gagal yang terpaksa masuk Sastra Indonesia.
Nah, selain PBI, Sastra Indonesia juga jauh di bawah jurusan ekonomi atau akuntansi. Jumlah mahasiswa yang masuk bisa menjadi bukti nyata. Kelas saya sudah terasa ramai kalau semua 21 orang masuk, yang mana itu sebuah kelangkaan. Nah, di ekonomi, sekali kelas, bisa 40 sampai 50 orang. Jomplang banget.
Menghindar matematika dan angka-angka
Kenapa memilih Sastra Indonesia? Banyak dari teman saya punya jawaban seragam, yaitu menghindari angka, khususnya pelajaran Matematika.
Dan, siswa yang secara sadar dan sengaja menghindari angka (atau Matematika) dianggap bodoh. Kasta itu sudah terbentuk sejak saya SMA, ketika yang masuk IPA dianggap lebih pandai ketimbang siswa IPS atau Bahasa. Dari sana, status “mahasiswa gagal” lalu lahir.
Kata “gagal” di sini merujuk kepada banyak hal. Pertama, gagal secara akademik sehingga tidak mungkin tembus kampus dan fakultas favorit. Kedua, gagal secara ekonomi. Kuliah di kedokteran jelas lebih mahal ketimbang Sastra Indonesia. Ketiga, gagal tembus beasiswa.
Mahasiswa seperti ini menjadikan Sastra Indonesia sebagai salah satu pilihan. Mereka berharap bisa kuliah dengan santai dengan bahasan mudah. Padahal, ketika sudah masuk, jurusan ini bisa menjadi jebakan.
Jebakan Sastra Indonesia
Apakah kuliah di Sastra itu mudah? Kalau untuk saya pribadi, iya, mudah. Namun, di momen-momen tertentu, jurusan ini bisa menjadi jebakan.
Pertama, ternyata nggak semudah itu untuk dapat nilai bagus. Kamu harus tahu bahwa kuliah di Sastra Indonesia artinya kamu akan ketemu mata kuliah yang “rada menyebalkan”. Misal, ada Leksikografi atau mata kuliah bikin kamus. Iya, kamus!
Lalu, waktu saya kuliah, ada mata kuliah Bahasa Arab! Yes, kamu nggak salah baca. Dan celakanya, saya sangat kesulitan mempelajari Bahasa Arab. Hasilnya tentu bencana. Saya lulus mata kuliah Bahasa Arab di detik-detik menjelang ujian skripsi. Dan nilai D itu berasal dari belas kasihan dosen pengampu. Sedih.
Kedua, S1 Sastra Indonesia mau kerja apa? Mau jadi editor? Wartawan? Pertanyaan ini akan jadi tekanan di momen tertentu. Apalagi kalau kamu nggak segera lulus dan hanya menghabiskan uang orang tua. Banyak yang curiga kalau lulusan Sastra itu nggak punya masa depan.
Nggak percaya? Gaji editor dan wartawan itu jelas jauh di bawah gaji dokter spesialis, kan? Itu dia. Kalian akan dibanding-bandingkan, bahkan dianggap rendah dengan sebuah kalimat penutup “Oh, lulusan Sastra….” dengan nada merendahkan.
Kalau nggak kuat mental, dan ini yang terjadi kepada banyak teman saya, pasti beneran jadi mahasiswa gagal. Oleh sebab itu, meski dianggap mudah, sebetulnya bisa menjadi jebakan. Yang kalian anggap sebagai pelarian, malah jadi celaka baru. Begitulah kerumitan menjadi mahasiswa dan alumni Sastra Indonesia.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Derita Mahasiswa yang Masuk Jurusan Sastra Indonesia sebagai Pilihan Kedua, Selalu Dipandang Sebelah Mata dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.












