MOJOK.CO – Rajin pangkal pandai, berhemat pangkal kaya. Peribahasa elok ini tapi tak menjelaskan, kalau sudah kaya lalu apa?
Puthut EA punya semboyan “Bukan berhemat, tapi memperbesar pendapatan” untuk menemani semboyannya yang lain, bekerja sekeras-kerasnya, bermain sepuas-puasnya. Semboyan yang kedua tidak diberi tanda kutip karena saya lupa redaksional aslinya.
Buat Mas Puthut sih semboyannya berhasil. Dia termasuk orang yang paling enteng soal mengeluarkan uang. Royal untuk diri sendiri, keluarga, teman-teman, dan bahkan orang tak dikenal. Tapi semangat hura-hura itu setimpal sama daya tahan kerjanya. Nulis novel setahun tiga biji saban malam. Belum kalau ada sedang melakukan penelitian, kadang kayaknya kok orang ini nggak pernah tidur. Saat mimpin maraton rapat akhir tahun juga begitu, pesertanya sangu Tolak Angin, ia masih segar-segar saja.
Karena saya bukan Puthut EA dan Agus Mulyad (nama kedua ini kemarin sore pamer ke kami sekantor, ia pernah beli isolasi biasa harga 200 ribu), jalan pedang saja menuju stabilitas ekonomi ialah dengan berhemat. Mau apa lagi, kalau harus perbesar penghasilan artinya perlu menambah kerja sampingan, sekarang saja saya agak mikir setiap mau mulai nonton serial. Nggak punya waktu. Eciye sok sibuk.
Ide menghemat gaji ini aslinya baru datang belakangan. Sampai akhir tahun lalu saya mah orang yang paling gampang ngeluarin duit. Kalau belanja baju, saya nggak pernah lihat tag harga. Kadang kalau bosan berangkat ke toko emas, beli kalung baru. Pas kangen pacar, langsung beli tiket pesawat biar hemat waktu.
Akhir tahun lalu, capek oleh kerjaan, saya menengok catatan keuangan saya. Minus. Tak ada tabungan. Adanya cuma utang.
***
Saya syok. Tidak boros saja, saya akan butuh waktu lama untuk modal—apa lagi kalau bukan—menikah.
Daftar pengeluaran di-review satu per satu. Anggaran LDR dipangkas. Reminder hape untuk nggak mampir Miniso saban nge-mall dibuat. Tidak ada beli baju tiap bulan. Tidak ada traktir-traktir teman. Bajet nyumbang kawinan diturunkan.
Dan ternyata ada banyak uang dikeluarkan untuk jajan makanan sehari-hari.
Maklum, anak kos. Malas masak. Oke, sekarang tidak boleh malas masak lagi. Saya akan masak. Ralat, saya akan masak setiap hari.
Dalam sebulan pertama, agenda penghematan itu berhasil menurunkan pengeluaran yang tadinya memakan 100% gaji menjadi 20% saja.
The power of penghematan.
***
Terus saya galau.
Di sekitar rumah tempat saya tinggal, ada sejumlah lapak makanan. Semuanya dikelola ibu-ibu. Ibu di pengkolan jalan sana cuma jualan gudeg dan ramesan sampai jam 9 pagi. Sementara 3-4 warung di timur rumah, berjualan sepanjang hari.
Sambil memasak tumis buncis, saya resah memikirkan, kalau saja semua anak kos sepakat bahwa masak sendiri itu hemat, jelas komoditi yang jadi andalan banyak sekali ibu rumah tangga untuk jadi pemasukan utama maupun sampingan akan tidak laku.
(Di cerita-cerita jaman dulu, ketika ekonomi keluarga tumbang dan ayah tak bisa lagi diandalkan, ibu akan turun tangan menegakkan tiang rumah tangga dengan jualan makanan atau kue-kue.)
Tidak memasak “cuma” menambah 20% pengeluaran sebenarnya. Dari tadinya nabung 80% gaji, sekarang nabung 60% gaji. Di saat yang sama, ada orang yang memang butuh pemasukan dari berjualan makanan matang. Padahal, uang pembeli makanan itu masuk dalam perputaran uang di sekitar saya tinggal. Beda dengan konsumsi seperti beli tiket pesawat atau beli baju. Jajan masakan matang adalah kontribusi saya paling minimal pada ekonomi di lingkungan terkecil saya; para tetangga.
***
Saya baca-baca sedikit bahwa penggerak ekonomi Indonesia yang paling utama adalah konsumsi. Orang suka belanja bikin uang muter terus. Kalau uang berhenti berputar, banyak orang yang nggak akan dapat uang.
Mungkin gapapa saya masak. Buat mengasah skill. Tapi jangan sering-sering. Sama kayak kita belanja ke minimarket atau beli barang impor. Para TKI sudah susah-susah jadi pahlawan devisa dengan mengirim uang dari luar negeri supaya muter di Indonesia, masak kita enak-enak mau kirim itu duit balik ke luar.
***
Sebelum saya sadar soal masak-memasak, saya sudah berprinsip kalau ke objek wisata, harus belanja sama warga lokal. Jangan cuma uang itu diserahkan ke hotel, yang bisa jadi pemiliknya ada ribuan kilo jauh di sana.
Saya juga sudah lama sensi sama orang yang nggak mau mempestakan pernikahan dengan alasan, “Uangnya buat liburan ke Eropa.” Sudahlah kerja merantau, sekalinya punya kesempatan mendistribusikan kekayaan, malah semakin dipusatkan ke negara dunia pertama. Egois itu namanya.
Kalaupun uangnya kita simpan, kita bekukan biar jadi bunga di rekening bank, terus uangnya dipakai bank untuk dikreditkan agar dapat bunga lagi, kemudian kita menjadi kaya, untuk apa kekayaan itu?
Sementara kita kaya, ada uang yang mesti dipertukarkan dengan orang lain agar si orang punya penghidupan. Kaya sendiri memang enak. Tapi kalau kaya bersama, banyak masalah selesai. Selamat tinggal teman-tukang-ngutang-yang-suka-susah-ditagih. Insya Allah kalau dia rajin bekerja, dia nggak butuh utangan lagi.
Sepertinya berhemat pun harus secukupnya. Tidak terlalu kencang, tidak teramat longgar. Yang kira-kira bisa cukup menabung untuk hidup sederhana di hari tua, cadangan biaya ketika sakit atau harus stop bekerja, sekolahkan anak, dan punya tempat tinggal lumayan. Yang primer-primer saja. Tak berharap kaya raya luar biasa.
Mungkin. Mungkin ya. Inilah kenapa di sejumlah agama, menimbun harta itu ditegur. Keras sekali.
BACA JUGA Ketika Kota Makin Kaya, Desa Makin Miskin dan esai lainnya di POJOKAN.