MOJOK.CO – Apakah janji Prabowo untuk memulangkan Habib Rizieq menjelang Pilpres 2019 adalah usaha yang tulus dari hati? Atau ada makna politis di baliknya?
Pada titik tertentu, politik adalah soal perang janji. Manusia sangat suka mendengar kalimat-kalimat manis yang di masa depan diharapkan terjadi. Begitu mendengarnya, perasaan bungah langsung terbit. Namun, lantaran rasa suka yang begitu kental terkadang menutupi rasa sebenarnya. Benarkah janji itu murni adanya? Tidak adakah maksud lain yang disembunyikan?
Prasangka, di dalam dunia politik, seperti berjalan beriringan dengan keyakinan kepada salah satu calon. Terutama, perasaan itu hadir ketika salah satu calon lawan mengumbar janji yang sedikit menggelitik logika. Dan perasaan seperti itu yang hadir begitu saja ketika Prabowo berjanji menjemput Habib Rizieq.
Kabar tersebut terdengar sangat merdu, bahkan tidak ada yang salah. Apabila tidak diumbar di tengah suasana politik yang mengalami eskalasi menjelang akhir tahun 2018–yang mana artinya kita akan masuk tahun politik 2019. Satu pertanyaan menantang logika hadir: Mengapa Prabowo tidak menjemput Habib Rizieq tahun lalu?
Jika memang peduli dan merasakan ketidakadilan atas situasi yang “tengah dihadapi” sang habib, mengapa Ketum Gerindra tersebut tidak bertindak secepat mungkin? Prabowo punya rekam jejak yang sungguh luar biasa heroik ketika menyelamatkan TKI yang akan dihukum mati di Arab Saudi. Beliau bekerja cepat dan lugas. Mengapa rasa ingin “menolong” Habib Rizieq baru muncul menjelang pemilu?
Pertanyaan menggelitik logika itu masih ada di dalam kepala dan seperti menuntut jawaban yang jelas. Ketika menelusuri dan mencari jawabannya, ada dua fakta menarik yang ditemukan.
Pertama, elektabilitas Prabowo turun setelah peristiwa hoaks Ratna Sarumpaet. Kedua, tuduhan kapitalisasi Habib Rizieq yang ditimpakan kepada Prabowo. Singkatnya, Prabowo memanfaatkan Habib Rizieq untuk mengamankan suara Islam setelah elektabilitasnya turun. Jadi, kedua fakta ini saling berkaitan.
Kita bahas yang pertama dahulu. Jadi, Selasa kemarin (23/10), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil sebuah survei. Tema yang diangkat adalah kasus berita bohong pemukulan Ratna Sarumpaet terhadap sentiment dan elektabilitas capres-cawapres. Bagaimana hasilnya?
Survei tersebut menunjukkan bahwa kebohongan Ratna Sarumpaet memberikan efek negatif kepada Prabowo dan Sandiaga Uno (calon capres-cawapres No.2). Seperti yang kamu semua ketahui, Ratna Sarumpaet adalah mantan juru bicara Prabowo-Sandiaga. Bahkan Prabowo sendiri menggelar konferensi press untuk “mengabarkan bahwa Ratna dipukuli orang”, sebelum akhirnya satu hari kemudian Ratna mengaku kalau berbohong. Sadis betul.
Nah, melihat hasil survei, 57,2 persen responden pernah mendengar hoaks pemukulan Ratna, 38,7 persen tidak pernah mendengar, dan 4,1 persen tidak menjawab.
Ketika ditanya apakah kasus hoaks tersebut membuat mendukung, sama saja, atau lebih tidak mendukung capres, jawaban responden cukup beragam:
(1) 25 persen lebih mendukung Jokowi, 48,8 perse sama saja, 6,6 persen lebih tidak mendukung, dan 19,6 persen tidak menjawab. (2) Untuk Prabowo 11,6 persen menyatakan lebih mendukung, 49,8 persen sama saja 17,9 persen lebih tidak mendukung, dan 20,7 persen tidak menjawab. Artinya, ada 17,9 persen publik menjadi tidak mendukung Prabowo.
Lantas, bagaimana dengan elektabilitas masing-masing capres-cawapres setelah kasus kebohongan Ratna? Berikut hasilnya:
(1) Sebelum terjadi kasus kebohongan Ratna: Jokowi-Ma’ruf Amin sebesar 53,2 persen dan Prabowo-Sandi Uno 29,2, dan 17,6 persen belum memutuskan pilihan.
(2) Setelah terjadi kasus kebohongan Ratna: Jokowi-Ma’ruf Amin naik menjadi 57,7 persen, Prabowo-Sandi turun menjadi 28,6 persen, yang belum memutuskan menjadi 13,7 persen.
Dari data tersebut, artinya, para pemilih yang masih mengambang terdorong untuk memilih Jokowi setelah kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Survei tersebut dilakukan pada 10 hingga 19 Oktober 2018 dengan 1.200 responden di seluruh Indonesia. Metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling dan pengambilan data dilakukan dengan wawancara tatap muka menggunakan kuesioner. Margin of error kurang lebih 2,8 persen. Survei dilengkapi FGD, analisis media, dan indepth interview.
Lewat survei di atas, sikap pemilih yang belum memutuskan pilihan punya posisi yang penting karena jumlahnya yang cukup besar. Menarik suara mereka menjadi pekerjaan yang penting bagi Prabowo dan Sandiaga Uno apabila ingin mengejar elektabilitas Jokowi dan Ma’ruf Amin. Oleh sebab itu, mendekati atau bahkan menarik hati suara Islam adalah langkah yang logis.
Siapa yang cocok dijadikan magnet suara tersebut? Habib Rizieq adalah sosok yang “seksi” di mata elektabilitas. Massa besar di belakang sang habib sangat penting untuk ditarik Prabowo dan Sandi. Dan lewat momen Hari Santri Nasional, Prabowo melepas “umpan itu”, yaitu janji untuk memulangkan sang habib, bahkan memberi penegasan bahwa ia akan memulangkan Habib Rizieq sebelum dirinya terpilih.
Bisa kamu bayangkan ketika Prabowo berhasil. Elektabiltasnya (mungkin) akan naik secara signifikan. Suara Islam, terutama yang sepaham dengan FPI dan PA 212 akan hanyut menuju capres-cawapres No.2. Apakah ini wujud kepanikan? Bagi saya, ini justru strategi yang menarik.
Itu kalau bagi saya. Tentu berbeda bagi lawan politik. Di mata PPP, aksi Prabowo ini hanya sebuah usaha kapitalisasi nama Habib Riqiez. “Kami melihatnya maneuver Prabowo ini mengkapitalisasi soal Habib Rizieq Syihab untuk kekuasaan belaka. Ketika Habib Rizieq dikait-kaitkan dengan pilpres, maka yang mencuat adalah unsur politiknya,” kata Ahmad Baidowi, Wasekjen PPP.
Pro dan kontra tentu selalu sejalan. Namun, Ahmad Baidowi harus selalu ingat bahwa suara-suara di sekitar Habib Rizieq itu sukses menumbangkan Ahok dan mengantar Anies Baswedan menuju kursi DKI 1. Agama atau agamawan, kini sudah sangat mesra dengan panggung politik. Ini “taktik” yang semakin hari semakin seksi untuk dieksploitasi. Soal baik-buruknya, kembali ke kamu masing-masing.