Bagi banyak orang, kematian adalah bagaikan musuh yang sangat menakutkan. Bagi sebagian yang lain, kematian adalah bagaikan kawan lama yang akan selalu siap disambut dengan penuh tawa dan sukacita.
Saya bingung saya termasuk golongan yang mana, namun yang jelas, saya pernah bertemu dengan penyambutan ala kematian yang menakutkan namun juga penuh dengan tawa.
Kejadian itu terjadi kalau tak salah saat saya masih kelas 2 SMA.
Entah karena sebab apa, tubuh saya mendadak menjadi begitu lemas dan tak bertenaga. Bahkan untuk sekadar jalan pun rasanya susah. Saya akhirnya hanya bisa tiduran di atas kasur tak melakukan apa-apa.
Padahal, sehari sebelumnya, saya sehat bergas terampil dan trengginas.
Maka, begitu di hari berikutnya saya ternyata tumbang dan bertenaga itu, bayangan akan sakit yang mengerikan pun kemudian mulai menghantui saya. Saya membayangkan hal-hal menakutkan yang akan terjadi pada tubuh saya yang semakin lemas dan tak berdaya.
Pada satu titik, bayangan akan sakit parah itu kemudian membuat saya yakin, bahwa ajal saya sudah dekat.
Dalam kondisi yang demikian, saya kemudian memanggil adik pertama saya. Saya katakan pada dia bahwa hidup saya tak akan lama lagi.
Adik saya mulai menangis.
“Mas, jangan bilang seperti itu…” katanya.
Saya kemudian menyuruhnya untuk mengambil buku dan pulpen. Saya memintanya untuk mencatat daftar hutang saya.
“Aku punya hutang sama Bose (salah satu kawan saya) sekian (saya tak ingat berapa angkanya), sama Yanto sekian, sama Hasan sekian…” kata saya. “Tolong kalau aku sudah mati, bilang sama bapak untuk melunasinya…”
Adik saya semakin deras tangisnya.
“Mas, tolong jangan bilang begitu…” ujarnya merajuk.
Saya tak peduli dengan rajukan adik saya. Saya pun kemudian melanjutkan beberapa tanggungan yang belum saya tunaikan.
“Trus, aku juga punya tanggungan beberapa garapan stiker yang belum aku kerjakan, nanti tolong bilangke sama yang pesen…”
Setelah memberitahukan semua hutang dan tanggungan kerjaan saya pada adik saya, saya pun kemudian merasa tenang. Saya kemudian tertidur.
Esok paginya, oleh ibu dan adik saya, saya dibawa ke mantri kesehatan desa. Saya diperiksa. Dan hasil pemeriksaannya sungguh membikin saya senang sekaligus kecewa.
“Cuma masuk angin biasa,” kata Bu Mantri pada Ibu saya.
Saya senang karena ternyata saya cuma masuk angin biasa. Namun saya juga kecewa sebab pikiran saya soal kematian ternyata meleset jauh.
Sejak saat itu, saya kemudian sering digoda oleh adik saya.
“Cieeeee, yang pernah mau mati…” atau “Cieeeee, yang yang sempet-sempetnya bikin pesan terakhir…”
Bedebah. Perihal kematian ternyata bisa sengehek dan sememalukan ini.