Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa kawan saya iseng menelusuri jalan pedesaan di sekitar kantor. Yah, mengikuti istilah Shaggy Dog: Jalan-jalan di akhir pekan lihat ke kiri dan ke kanan.
Menelusuri pedesaan Sleman yang agak jauh dari jalan raya besar ternyata membawa pengalaman tersendiri. Kami menemukan banyak sekali sungai dengan air yang masih sangat jernih. Beda jauh dengan sungai-sungai di sekitaran Sleman yang agak kota yang biasanya butek dan penuh dengan sampah: dari mulai plastik sampai pembalut bekas.
Di beberapa titik sungai yang lewati, kami bertemu dengan pemancing-pemancing yang dengan asyiknya menghabiskan waktu pagi dengan menunggui joran. Rasanya begitu ayem, tenang, santai, selow, jauh dari segala keruwetan media sosial yang serba politak-politik.
“Wah, enak ya orang-orang di sini, bisa mancing di sungai yang jernih kayak gini,” kata saya. “Kelihatannya sedap betul…”
“Eeee, ya belum tentu. Kata siapa enak?” Balas kawan saya.
“Ya mancing di sungai yang bening gitu kan enak tho? Sudahlah airnya bersih, kita juga jadi tahu, titik-titik mana yang banyak ikannya.”
Kawan saya kemudian bercerita tentang konsep memancing dari sudut pandang yang sangat falsafi.
Kata dia, pemancing itu ada dua jenis. Jenis pertama adalah pemancing biasa, sedangkan jenis yang kedua adalah pemancing sejati.
Pemancing biasa dan pemancing sejati secara kasat mata tak bisa dibedakan. Keduanya sama-sama memancing di sungai. Jenis jorannya sama, bekalnya sama, bahkan jenis umpannya mungkin juga sama.
Yang membedakan pemancing biasa dengan pemancing sejati, kata kawan saya, adalah soal tujuan mereka memancing.
“Pemancing biasa itu memancing untuk mendapatkan ikan,” kata kawan saya.
“Lho, bukannya memancing itu dari dulu ya memang untuk mencari ikan?” bantah saya.
“Ya, tapi beda pemaknaannya.”
Kawan saya kembali menjelaskan, bahwa bagi pemancing biasa, ikan adalah tujuan utama, sedangkan bagi pemancing sejati, ikan hanyalah bonus. Yang ia cari sejatinya adalah sensasi menunggu, pelajaran kesabaran, dan rasa puas saat umpannya disambar ikan.
Pemancing sejati tak akan pernah mencari ikan. Kalau memang dia ingin ikan, dia tidak akan memancing, dia akan bekerja, kemudian uangnya ia belikan ikan.
Pemancing sejati itu, terang kawan saya, tidak menggunakan konsep untung rugi. Sebab jika dia menggunakan konsep itu, maka ia Sudah rugi sejak awal. Lha gimana, saat hujan deras, pemancing sejati itu tak akan beranjak untuk berteduh, ia justru bakal menggunakan mantolnya dan kemudian melanjutkan aktivitas mancingnya.
Kalau dipikir-pikir, ia bisa kena risiko demam atau masuk angin saat ia nekat memancing dalam kondisi hujan deras, biaya berobatnya di puskesmas minimal seratus ribu, sedangkan ikan yang dia dapat kalau dijual tidak bakal laku segitu. Tidak akan bisa menutup biaya berobat.
Tapi karena yang dicari memang kepuasan, sensasi menunggu, dan pelajaran kesabaran, maka ya hal itu tetap dilakoni. Sebab bagi dia, hal itu mahal harganya. Ia jauh lebih mahal ketimbang sekadar satu jaring penuh ikan.
“Terus apa hubungannya sama memancing di sungai yang jernih tadi?” Tanya saya.
“Oalah, kamu itu kok ya masih nggak mudeng saja lho.”
“Di sungai yang jernih airnya, kita bisa melihat ikan-ikan dengan begitu jelas, juga bisa tahu dimana mereka bersembunyi, sehingga jika mau memancing, kita bisa melempar kail ke arah yang dirasa menguntungkan.”
“Iya, trus?”
“Nah, pemancing sejati tak pernah suka itu. Lha kalau sedari awal ia Sudah tahu di mana ikan-ikan bersembunyi, lalu di mana tantangan dan letak kesabarannya?”
“Walah, iya juga, ya…”
“Ingat, pemancing sejati tidak pernah mencari ikan. Ia mencari kepuasaan atas kesabarannya.”
Saya hanya bisa mantuk-mantuk. Sepanjang jalan, saya tak habis pikir, betapa memancing ternyata bisa sangat sefalsafah itu.