MOJOK.CO – Saya punya teori parenting sendiri: Jangan pernah jadi orang tua yang curang. Terutama soal janji. Sekali orang tua ingkar, anak tak akan pernah lupa.
Dalam usia yang sudah menyentuh 84 tahun dan sakit-sakitan, bapak saya tiba-tiba menyampaikan salah satu penyesalan terbesar hidupnya ke saya beberapa hari lalu.
“Aku nyesel tenan tidak memerhatikan kamu dari dulu, Le. Kamu yang paling tercecer dari anak-anakku semua. Nyesel aku,” kata Bapak.
Saya terdiam mendengarnya. Tidak tersenyum, tidak juga marah. Eh, ada marahnya ding. Dikit doang tapi.
Akan tetapi, karena situasi saya adalah anak yang harus merawat bapak saya yang sudah sakit-sakitan di rumah, jadi ya saya anggap kata-kata Bapak adalah permintaan maaf sebagai rekonsiliasi karena parenting-nya ke saya agak berantakan sepanjang kami hidup bersama.
Sejauh yang saya bisa ingat, hubungan saya dengan Bapak tak bisa dibilang dekat. Usia kami terpaut 50-an tahun. Bapak sudah jadi kakek-kakek dan saya baru lahir ke dunia.
Artinya, tak banyak perhatian yang saya dapatkan sejak bayi sampai dewasa. Apalagi keluarga kami berjumlah 12 orang, dan saya adalah anak ke-10 dari 12 anggota keluarga itu.
Lupakan itu ilmu parenting dan tetek bengeknya, perhatian Bapak sudah habis untuk kakak-kakak saya. Dan itu bisa saya mengerti, bisa saya pahami.
Apalagi dengan anak sebanyak itu di era Orde Baru, kehidupan jadi makin sulit kalau Bapak tidak bekerja dengan keras, jarang di rumah, dan tak sempat bermain dengan anak-anaknya.
Melihat waktunya yang habis untuk bekerja sampai membuat saya seperti tumbuh sendiri, dititipkan ke pesantren ketika belum usia akil balig dan—Alhamdulillah—masih mau membekali saya Rp20.000 per bulan di sana (saya ingat betul karena uang itu selalu hanya bertahan pada 4 hari pertama).
Lalu lanjut kuliah tanpa sempat dapat uang saku kecuali untuk fotokopi tugas (btw, saya tak pernah punya komputer atau laptop sepanjang saya kuliah).
Saya mencoba mengerti dengan situasi itu. Meski kadang sulit sih. Terutama ketika di saat yang bersamaan saya sering dimintai tolong Bapak untuk transferin uang saku kakak-kakak saya di perantauan yang jumlahnya cukup banyak dan bikin saya kemecer.
Ya, kamu perlu tahu saya bukan dari keluarga miskin.
Bapak saya bikin hidup kami cukup berkecukupan. Tapi luputnya perhatiannya pada anak paling bontot-nya (yakni saya), membuat saya tak pernah dilirik untuk mendapat perhatian dan fasilitas yang setara dengan kakak-kakak saya.
Kini, karena kondisi Bapak yang lebih banyak di kasur, dan saya adalah orang yang selalu dilihatnya tiap hari, penyesalan itu kemudian meluncur dari Bapak ke saya juga akhirnya. Mungkin sakit ini membuatnya jadi merenung dan mengingat kembali ingatan-ingatan yang terpecah di amsa lalu.
Tapi entah kenapa, saya tak pernah merengek untuk dapat perhatian itu dari Bapak. Karena toh, kakak-kakak saya memang lebih membutuhkan perhatian Bapak daripada saya. Sebab, kalau dipikir-pikir lagi, sejak kecil saya memang tak pernah mendapatkannya, jadi tak ada perasaan merasa butuh juga.
Pada mulanya, saya sempat bertanya-tanya juga. Kenapa Bapak seperti tak pernah peduli dengan kehidupan saya sama sekali? Terutama ketika tuntutan-tuntutan berikutnya selalu datang menyertai setelah saya bisa hidup dari uang kerjaan sendiri (ini sebelum Bapak sakit-sakitan).
Seperti harus berprestasi di sekolah dan kuliah, harus menjaga nama baik Bapak, harus bisa khotbah jumat, harus bisa mengajar ngaji, harus lulus S2, bahkan yang terakhir adalah permintaan Bapak yang menginginkan saya menjadi seorang doktor, tentu saja saya disuruh untuk cari beasiswa sendiri.
Untungnya ibu saya tidak begitu. Berkebalikan dengan Bapak, ibu saya adalah malaikat yang sebenar-benarnya.
Blio juga yang selalu sukses bisa meredam saya agar mau menuruti segala macam permintaan Bapak yang kadang-kadang tak mampu saya lakukan (saya pernah sakit sampai muntah-muntah beberapa hari karena menuruti ambisi Bapak yang ingin saya lulus dari sekolah master di UGM).
Bahkan saya dan ibu saya kadang cekikan ketika mendapati permintaan yang tampak mustahil dari Bapak. Artinya, dalam kondisi seperti itu, kami semua melihatnya sebagai hal-hal yang rileks saja.
Tapi, tetap saja, rasanya tak menyenangkan sekali ketika kamu menuruti kewajibanmu sebagai anak tanpa pernah mendapat hak yang sama besarnya sepanjang hidupmu. Plus, pada akhirnya kehidupanmu membawamu pada bapak yang harus sakit-sakitan dan hanya kamu yang ia punya.
Merawat Bapak, dan permintaan maafnya yang kini meluncur begitu saja, saya jadi belajar. Bagaimana agar saya tak menjadi bapak yang sama untuk anak saya. Agar saya tak menyesali di hadapan anak saya nantinya.
Di sinilah kemudian saya belajar bagaimana parenting untuk anak saya. Seperti misalnya, dalam sebuah video persentasi dari TED.com yang pernah saya tonton, anak pada usia 5 tahun pertama, ternyata mengalami pertumbuhan paling pesat. Terutama sekali di otaknya.
Anak saya, usianya 4 tahun. Masih ada satu tahun tersisa untuk memaksimalkan apa yang ada di otaknya sebelum menyerap informasi lebih rumit di usia-usia sekolah nantinya.
Dan salah satu ilmu parenting yang saya percaya bukan dari buku-buku Barat, tapi justru dari Gus Baha, yakni membuat anak mengidolakan orang tuanya.
Ya, saya sangat mengidolakan anak saya. Dan saya ingin membuatnya mengidolakan saya juga. Karena dengan menjadikan idola, setidaknya anak akan lebih mendengarkan orang tuanya. Itu goals dari parenting-nya.
Sekarang gimana caranya bisa sampai ke sana?
Dan saya punya teori parenting sendiri, dan yang biasa saya lakukan sih ini: Jangan jadi bapak yang curang—misalnya. Terutama soal janji.
Gini. Saya termasuk orang tua yang royal terhadap anak soal mainan. Persoalannya sepele, saya suka janjiin sesuatu jika anak mencapai sesuatu atau mau melakukan sesuatu. Bahkan untuk janji-janji yang sifatnya kelepasan.
Pernah suatu kali istri saya bilang, “Udah, Yah, nggak usah diturutin yang ini, kan Skala (anak saya) lupa.”
Saya biasanya yang ngotot, “Nggak pernah ada anak yang lupa sama janji orang tuanya, Ma.”
Dari mana saya tahu begitu? Ya karena saya adalah korban PHP janji orang tua berkali-kali sepanjang hidup. Dan saya tak mau melakukan hal yang sama untuk anak saya.
Bahkan ketika anak lupa nagih, kadang malah saya ingatkan dengan tiba-tiba mboncengin ke toko mainan, sambil saya bilang, “Ini soalnya Ayah kan udah janji, Le.”
Hal-hal kecil semacam itu sebenarnya sadar bikin anak saya jadi agak mudah kalau dibilangin. Terutama kalau sudah dibikin janji.
Misalnya habis mandi, anak saya ingin main air di depan, saya bikin janji, “Janji ya, bajunya nggak boleh basah lagi? Kan udah mandi.”
Pilihannya bakal dua, dia nggak berani janji atau dia akan bertahan sekuat tenaga menjaga janji itu. (Kebanyakan sih yang pertama… dia bakal kabur kalau mau ikatan janji kelingking). Namun setidaknya anak saya tahu kesakralan soal janji itu.
Saya tahu, masih panjang perjalanan parenting untuk anak saya ini. Tapi saya juga sadar, kehidupan orang tua merawat anak itu cepat sekali. Ibu saya pernah bilang, “Baru kemarin kayaknya kamu itu masih pakai pampers, sekarang malah kamu yang gantiin pampers Bapak.”
Ya, saya sadari itu. Dari perspektif ibu saya, pertumbuhan saya ini cepat sekali, rentang 30-an tahun bakal terasa seperti 30 detik di matanya yang sekarang. Persis seperti ketika saya melihat anak saya. Usianya 4 tahun, tapi rasanya baru 4 hari kemarin dia lahir ke dunia.
Orang tua yang melihat anaknya, memang bakal merasakan itu. Kecepatan tiada tara, ketika tahu-tahu mengantar anak ke sekolah pertamanya, lalu tiba-tiba datang ke wisuda anaknya, lamaran anaknya, sampai tiba-tiba sudah menggendong cucu pertama.
Semua itu seperti terjadi dalam sekejap mata.
Dan itu bisa menimbulkan perasaan sesal mendalam yang bakal terlambat sekali, terutama kalau kamu tak maksimal dalam parenting ke anak sendiri. Seperti penyesalan yang meluncur dari mulut Bapak ke saya malam itu. Hal yang ironisnya, justru menjadi bekal terbaik dari Bapak untuk saya agar mampu melakukan parenting terbaik untuk anak saya.
Semata-mata agar penyesalan yang sama tak saya ucapkan untuk anak saya nantinya.
BACA JUGA Merawat Orang Tua yang Sakit dan Bisikan Jadi Anak Durhaka atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.