MOJOK.CO – Suara azan magrib berkumandang. Semua santri dan orang-orang kampung langsung buka puasa. Tanpa menyadari hal mengerikan selanjutnya sedang menanti.
Namanya Ahmadi. Bukan siapa-siapa, bukan orang penting, dan kamu tak perlu tahu detail dia siapa.
Hal yang perlu kamu tahu hanya satu: kawan saya ini dengan sangat luar biasa, telah membuat batal puasa hampir semua orang seantero pondok pesantren dan kampung sekitarnya pada waktu yang sama.
Kok bisa?
Begini. Saya bisa jelaskan.
Sore pada bulan Ramadan yang selo di Bikini Bottom sebuah pondok pesantren, Ahmadi yang ketiduran di serambi masjid dibangunkan temannya.
“Di, Ahmadi, bangun. Ayo ambil makan, udah mau mau buka puasa ini,” kata temannya. Yah, sebut saja nama temannya ini Marwoto. Biar gampang gitu.
Adegan ala sitkom ini jelas. Dua bocah ini adalah santri di pondok pesantren, Marwoto mengajak Ahmadi untuk mengambil jatah makan di dapur pesantren.
Namun, meski diajak dengan kalimat cetho kayak gitu, Ahmadi tak langsung merespons.
Otaknya masih booting. Pikirannya masih buffering. Nyawanya belum fusion. Maklum, Ahmadi baru bangun dari tidur sore. Waktu tidur yang bikin badan lesu dan nggak enak. Apalagi jika kamu menjalani puasa Ramadan.
“Oh ya, ya,” kata Ahmadi merespons antara sadar atau nggak.
“Ya udah, mau aku ambilin jatah makanmu sekalian po?” kata Marwoto.
Ahmadi diam sejenak.
“Boleh,” balas Ahmadi lagi masih dengan pandangan kosong.
“Yawis, aku ambil makan, kamu yang azan ya nanti?” kata Marwoto.
Waktu saat itu memang sudah surup dan keadaan mendung. Jadi meski jam 5 lebih 15-an menit, tapi suasananya kayak udah mau malam gitu. Lampu-lampu aja udah pada nyala.
Teman-teman santri yang lain sudah siap sedia di atas hidangannya masing-masing sambil ngobrol. Maklum, kurang dari setengah jam lagi waktu buka puasa udah dimulai.
Tiba-tiba…
“ALLAHUAKBAR… ALLAAAHUAAAKBAAAAR…”
Terdengar suara azan magrib dari speaker masjid. Semua santri yang sudah siap dengan santapan di hadapannya tanpa pikir panjang langsung minum, langsung makan. Sambil cekikian haha-hihi.
Ada sekitar seribu lebih santri di pesantren itu, dan hampir semua santri menyantap buka puasa bersama-sama. Beberapa yang masih antre mengambil jatah makan pun terpaksa minta minum ke temannya yang udah duluan ngambil jatah. Pemandangan umum buka puasa di pondok pesantren.
Sampai kemudian di tengah-tengah azan, azannya terputus.
“KHAAAIIYAAA’ALAAASHOOLL….”
“WOOOY, ITU SIAPA YANG AZAAAAN?”
Belum selesai kalimat azan ajakan mendirikan salat itu selesai, sudah ada teriakan ajakan mendirikan keributan. Kenceng banget lagi.
Suara itu muncul dari salah satu putra pengasuh pesantren. Tentu saja, seluruh santri pada kicep dengar suara yang kueencengnya nggak ketulungan itu. Apalagi yang teriak adalah “Gus”-nya para santri. Lantas tiba-tiba dari speaker masjid terdengar suara bunyi jatuh.
Putra pengasuh ini pun mendatangi serambi masjid. Begitu masuk ke bagian tempat azan, tidak ada orang di sana. Lalu dari arah speaker masjid terdengar pengumuman.
“Bagi santriwan-santriwati, ini belum manjing waktu magrib. Belum buka puasa. Sekali lagi, ini belum waktunya buka puasa. Azan magrib masih setengah jam lagi.”
……
……..
MODYAAAAR.
…..
…
Ada seribu santri yang sudah buka puasa dengan ganas. Sekarang bagaimana membereskan kekacauan ini? Makanan pedas sudah sampai tenggorokan, kolak udah habis di mangkok, mulut sudah penuh dengan nasi.
Hal yang lebih menyeramkan sebenarnya tidak hanya itu, tapi juga warga kampung sekitaran pesantren. Kampung-kampung di sekitar pesantren itu patokan waktu buka puasa ngikut sama masjid pesantren. Jadi kalau masjid pesantren udah azan, ya berarti daerah situ semua pada buka puasa.
Kami semua memang sempat terdiam dalam posisi nggak jelas, sambil makanan masih di tangan. Tapi karena kelamaan dan berpikir, aaah udah kadung makan ini juga, akhirnya…
…hayaaa makan lanjooot jalan terus.
“Siapa ya itu tadi yang azan? Kampret tenan,” kali ini gentian santri-santri yang mencak-mencak (tapi tetep sambil makan). Peduli setan azan beneran atau azan boongan. Udah kadung makan ini. Besok tinggal diganti aja lah puasanya.
Dalam batin saya yang ikut batal itu, saya juga penasaran, ini siapa bocah yang azan magribnya kelewat visioner begini yak? Tak ada yang tahu benar, siapa bocah misterius yang azan lalu tiba-tiba ngilang kayak Harun Masiku itu.
Sampai kemudian, 10 tahun berlalu. Di sebuah warung kopi di Jogja, saya ketemu dengan beberapa adik kelas saya di pesantren. Kebetulan saat itu juga sedang buka puasa bareng, tiba-tiba salah satu di antara mereka ada yang nyeletuk.
“Kelingan mbiyen ra, Di? Azan neng pondok, sak pondok dadi batal kuabeeeh,” katanya cekikikan.
(Ingat dulu nggak, Di? Azan di pondok, orang-orang di pondok jadi batal semua).
Saya langsung curiga.
“Batal kabeeh? Kok kayane aku familiar yo karo cerita kuwi?” tanya saya.
(Batal semua? Kok kayaknya aku familiar ya sama cerita itu?).
“Iyo, Kang. Mergo Ahmadi azan durung manjing. Do buko kabeh sak pondok,” kata temannya itu.
(Iya, Kang. Karena Ahmadi azan belum waktunya. Pada buka puasa semua satu pondok).
Si Ahmadi cuma cengengesan.
“Oalah jebul kowe too tersangkane?” teriak saya ke Ahmadi, antara mau ketawa atau emosi.
Lalu dia ceritakan detail peristiwa laknat itu seperti yang di awal cerita tadi. Untung saat itu tidak ada wartawan yang sedang lewat daerah situ dan belum era media online. Karena kalau iya, besoknya bisa geger itu jadi headline berita di Tribun:
“Seorang santri dioseng-oseng ndase oleh massa karena azan magrib tidak pada waktunya.”
BACA JUGA Puasa Ramadan di Negeri Cina yang Komunis atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.