Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Menyadari Kenyataan Tidak Relate dengan Film Superhero Saat Usia Makin Tua

Ajeng Rizka oleh Ajeng Rizka
23 Juni 2021
A A
ilustrasi Menyadari Kenyataan Tidak Relate dengan Film Superhero Saat Usia Makin Tua mojok.co

ilustrasi Menyadari Kenyataan Tidak Relate dengan Film Superhero Saat Usia Makin Tua mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Spider-Man, Superman, dan banyak tokoh lain telah menyulap anggapan orang-orang bahwa film superhero yang lakonnya pakai spandeks itu keren.

Film superhero pertama yang membuat saya jatuh cinta dan terpacu adrenalinnya adalah film Spider-Man (2002) karya Sam Raimi. Film itu saya tonton berulang-ulang sampai saya merasa keren. Openingnya saya nikmati betul, dialog-dialognya sering sengaja saya hafalkan, hingga saya pernah membayangkan jadi partner gelut Spider-Man saat dia menumpas kejahatan.

Adik dan sepupu saya juga senang betul dengan film-film dari genre ini. Sepupu saya yang tinggal di Frankfurt kadang kala pamer barang-barang produksi Eropa dengan tema superhero yang jelas kualitasnya lebih oke dari produk lokal. Misalnya saja tas, jam tangan, sampai plester yang gambarnya Superman. Di masa itu saya merasa kebahagiaan begitu sederhana dan saya ingin mempertahankannya hingga dewasa.

Rasanya saya hampir tidak pernah ketinggalan sajian film superhero dari MCU dan DC, kecuali yang jelek banget dan bikin ngantuk kayak Suicide Squad dan Fantastic 4. Meski nggak membaca semua komik dan belum layak disetarakan levelnya dengan para fanboy, sebut saja saya fans. Saya bahkan pernah menulis tentang betapa terobsesinya saya sama produk-produk mandi bergambar superhero macam master kids.

Puncak euforia nonton film Superhero saya rasakan ketika nonton Avengers: Endgame dua tahun lalu. Saya tidak munafik, saya adalah satu dari sekian juta penonton norak yang terlalu excited saat itu. Setelah itu, alih-alih meneruskan kegemaran akan superhero, momen nonton Avengers: Endgame justru seperti sebuah perayaan kelulusan, graduation day, perpisahan. Marvel nggak bisa beli saya lagi, saya sudah nggak mudah tertarik dengan beberapa film superhero.

Mungkin, film superhero itu serupa genre koboi yang dulu populer dan sekarang ditinggalkan. Bisa jadi, tokohnya juga bakal bernasib sama dengan topeng Michael Myers yang dulu begitu mengerikan, tapi sekarang ditertawakan. Bukan tidak mungkin jika lima tahun lagi saya berlagak nyemprot-nyemprotin jaring laba-laba dari pergelangan tangan, saya dianggap kurang waras.

Geliat nonton film superhero makin berkurang setelah saya menertawakan pikiran saya sendiri tentang betapa konyolnya sekumpulan orang dewasa yang pakai kostum spandeks ketat dan beraksi melawan penjahat yang ingin menguasai dunia. Okelah kalau kita ngomongin superhero yang dikemas berbeda seperti Logan (2017) si mutan atau Joker (2019) yang masih masuk semesta DC Comics. Tapi, formula mainstream film superhero rasanya nggak semenark dulu lagi.

Saya menduga ini terjadi setidaknya karena dua hal. Pertama, karena saya telah memahami orang jahat dan orang baik itu nggak kayak warna hitam dan putih yang bisa dibedakan. Kita tahu selalu ada orang-orang kayak Frank Castle si Punisher. Orang-orang yang jadi brutal setelah tersakiti, dibilang jahat juga nggak, dibilang baik kok ngebunuhin pakai cara yang kejam. Di dunia nyata, orang jahat juga abu-abu. Sebentar mengaku pelindung rakyat, sebentar lagi korupsi dana bansos. Sebentar mengaku alim ulama, sebentar lagi justru punya perilaku cabul. Semakin jauh cerita-cerita pahlawan dari realitas, semakin runtuh kepercayaan saya dengan anggapan orang baik akan selalu menang..

Kedua, genre film superhero yang ditawarkan memang sudah saatnya usang. Lebih menarik menonton genre satire kayak The Boys yang juga menampilkan komedi gelap. Lebih menarik nonton Joker yang bisa bertindak sporadis kapan saja. Lebih menarik nonton orang yang nggak usah nunggu baju spandeks dulu baru gelut. Duh.

Bagaimanapun kedua hal di atas juga terkait dengan usia saya yang menua. Dulu, saya selalu takut menjadi dewasa karena nggak bakal pantas lagi berburu topeng Iron-Man, saya takut bakal dibilang wagu karena main game Spider-Man sepanjang hari. Saya ngeyel dan bersikeras bahwa kalaupun dianggap wagu saya bakal tetap melakukan apa yang saya suka. Ternyata menjadi tua dan dewasa itu nggak semengerikan itu. Ya memang sudah nggak mood lagi, mau gimana? Ketika saya pernah berharap bisa sarapan sereal Honey Star seumur hidup, ada saat saya menyadari ternyata lebih enak makan gudeg dan nasi megono. Sungguh, analogi yang bikin lapar.

BACA JUGA Jika Tokoh Superhero Marvel Berkolaborasi untuk Bikin Usaha Laundry dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Terakhir diperbarui pada 23 Juni 2021 oleh

Tags: film superherospider-manSuperman
Ajeng Rizka

Ajeng Rizka

Penulis, penonton, dan buruh media.

Artikel Terkait

Spiderman dan Cerita-cerita Menyentuh di Resepsi Puncak Harlah Satu Abad NU MOJOK.CO
Geliat Warga

Spider-Man yang Jalan Kaki 50 Km dan Cerita-cerita Menyentuh di Resepsi Satu Abad NU 

8 Februari 2023
ilustrasi Skor Rating Film Spider-Man No Way Home, Masih Valid Nggak Ya? rotten tomatoes IMDb
Pojokan

Skor Rating Film Spider-Man No Way Home, Masih Valid Nggak Ya?

17 Desember 2021
spider-man MOJOK.CO
Pojokan

Tolong Selamatkan Spider-Man, Film Superhero Paling Menderita

21 Agustus 2019
spider-man di jogja MOJOK.CO
Pojokan

Jika Spider-Man Jadi Superhero di Jogja

3 Juli 2019
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.