MOJOK.CO – Spider-Man, Superman, dan banyak tokoh lain telah menyulap anggapan orang-orang bahwa film superhero yang lakonnya pakai spandeks itu keren.
Film superhero pertama yang membuat saya jatuh cinta dan terpacu adrenalinnya adalah film Spider-Man (2002) karya Sam Raimi. Film itu saya tonton berulang-ulang sampai saya merasa keren. Openingnya saya nikmati betul, dialog-dialognya sering sengaja saya hafalkan, hingga saya pernah membayangkan jadi partner gelut Spider-Man saat dia menumpas kejahatan.
Adik dan sepupu saya juga senang betul dengan film-film dari genre ini. Sepupu saya yang tinggal di Frankfurt kadang kala pamer barang-barang produksi Eropa dengan tema superhero yang jelas kualitasnya lebih oke dari produk lokal. Misalnya saja tas, jam tangan, sampai plester yang gambarnya Superman. Di masa itu saya merasa kebahagiaan begitu sederhana dan saya ingin mempertahankannya hingga dewasa.
Rasanya saya hampir tidak pernah ketinggalan sajian film superhero dari MCU dan DC, kecuali yang jelek banget dan bikin ngantuk kayak Suicide Squad dan Fantastic 4. Meski nggak membaca semua komik dan belum layak disetarakan levelnya dengan para fanboy, sebut saja saya fans. Saya bahkan pernah menulis tentang betapa terobsesinya saya sama produk-produk mandi bergambar superhero macam master kids.
Puncak euforia nonton film Superhero saya rasakan ketika nonton Avengers: Endgame dua tahun lalu. Saya tidak munafik, saya adalah satu dari sekian juta penonton norak yang terlalu excited saat itu. Setelah itu, alih-alih meneruskan kegemaran akan superhero, momen nonton Avengers: Endgame justru seperti sebuah perayaan kelulusan, graduation day, perpisahan. Marvel nggak bisa beli saya lagi, saya sudah nggak mudah tertarik dengan beberapa film superhero.
Mungkin, film superhero itu serupa genre koboi yang dulu populer dan sekarang ditinggalkan. Bisa jadi, tokohnya juga bakal bernasib sama dengan topeng Michael Myers yang dulu begitu mengerikan, tapi sekarang ditertawakan. Bukan tidak mungkin jika lima tahun lagi saya berlagak nyemprot-nyemprotin jaring laba-laba dari pergelangan tangan, saya dianggap kurang waras.
Geliat nonton film superhero makin berkurang setelah saya menertawakan pikiran saya sendiri tentang betapa konyolnya sekumpulan orang dewasa yang pakai kostum spandeks ketat dan beraksi melawan penjahat yang ingin menguasai dunia. Okelah kalau kita ngomongin superhero yang dikemas berbeda seperti Logan (2017) si mutan atau Joker (2019) yang masih masuk semesta DC Comics. Tapi, formula mainstream film superhero rasanya nggak semenark dulu lagi.
Saya menduga ini terjadi setidaknya karena dua hal. Pertama, karena saya telah memahami orang jahat dan orang baik itu nggak kayak warna hitam dan putih yang bisa dibedakan. Kita tahu selalu ada orang-orang kayak Frank Castle si Punisher. Orang-orang yang jadi brutal setelah tersakiti, dibilang jahat juga nggak, dibilang baik kok ngebunuhin pakai cara yang kejam. Di dunia nyata, orang jahat juga abu-abu. Sebentar mengaku pelindung rakyat, sebentar lagi korupsi dana bansos. Sebentar mengaku alim ulama, sebentar lagi justru punya perilaku cabul. Semakin jauh cerita-cerita pahlawan dari realitas, semakin runtuh kepercayaan saya dengan anggapan orang baik akan selalu menang..
Kedua, genre film superhero yang ditawarkan memang sudah saatnya usang. Lebih menarik menonton genre satire kayak The Boys yang juga menampilkan komedi gelap. Lebih menarik nonton Joker yang bisa bertindak sporadis kapan saja. Lebih menarik nonton orang yang nggak usah nunggu baju spandeks dulu baru gelut. Duh.
Bagaimanapun kedua hal di atas juga terkait dengan usia saya yang menua. Dulu, saya selalu takut menjadi dewasa karena nggak bakal pantas lagi berburu topeng Iron-Man, saya takut bakal dibilang wagu karena main game Spider-Man sepanjang hari. Saya ngeyel dan bersikeras bahwa kalaupun dianggap wagu saya bakal tetap melakukan apa yang saya suka. Ternyata menjadi tua dan dewasa itu nggak semengerikan itu. Ya memang sudah nggak mood lagi, mau gimana? Ketika saya pernah berharap bisa sarapan sereal Honey Star seumur hidup, ada saat saya menyadari ternyata lebih enak makan gudeg dan nasi megono. Sungguh, analogi yang bikin lapar.
BACA JUGA Jika Tokoh Superhero Marvel Berkolaborasi untuk Bikin Usaha Laundry dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.