Ada banyak cara yang bisa ditempuh untuk menjadi penulis hebat. Satu dari sekian banyak cara itu saya dengar langung dari kawan sekaligus guru menulis saya, sebut saja namanya Jumadi.
“Kalau kamu mau jadi penulis yang hebat, tulislah sesuatu, yang menurutmu menarik, tapi jangan kebanyakan mengutip penulis lain,” ujar Jumadi pada saya suatu ketika.
Jumadi adalah seorang penulis yang punya banyak pembaca. Jam terbangnya sudah tinggi. Tulisannya tajam, keren, dan menarik. Membaca tulisan-tulisannya, kita seakan selalu diajak untuk menyelami emosi yang dirasakan oleh Jumadi saat menulis. Hal yang sederhana bisa menjadi sangat luar biasa ketika sudah diolah oleh tangannya. Tak heran jika kemudian bukunya laku keras.
Rekam jejaknya sebagai penulis yang handal itu membuat saya tak butuh waktu lama untuk mengamini dan setuju dengan apa yang ia katakan.
“Kalau ada penulis yang dikit-dikit ngutip tokoh A, dikit-dikit ngutip tokoh B, dikit-dikit ngutip filsuf A, dikit-dikit ngutip filsuf B”, kata Jumadi, “maka dia bukanlah penulis hebat.”
Di berbagai media, saya memang kerap menemukan tulisan yang sering mengutip penulis lain. “Menurut A dalam buku…” atau “B pernah mengatakan bahwa…” dan sebangsanya.
Dulu saya menganggap hal tersebut sebagai bukti bahwa si penulis adalah pembaca yang tekun dan punya referensi yang luas, namun setelah mendapat wejangan dari Jumadi, saya jadi punya pandangan yang lain.
Saya tentu saja cukup penasaran kenapa Jumadi menyuruh saya untuk menulis tapi jangan kebanyakan mengutip orang lain jika saya ingin menjadi penulis yang hebat.
Ketika saya tanya apa alasannya, jawaban Jumadi, sungguh sangat masuk akal. “Gus…” ujarnya, “Penulis hebat itu dikutip, bukan mengutip. Penulis hebat itu menciptakan gagasan, bukannya mendompleng gagasan orang lain.”
Begitulah. Sejak saat itu, saya mulai membulatkan tekad untuk menjadi seorang penulis hebat. Yang tulisannya dikutip oleh banyak orang. Dan ya, jalan menuju menjadi penulis hebat itu saya mulai dengan mengutip apa kata Jumadi.