MOJOK.CO – Untung saja yang unggah foto perut gelambir itu Tara Basro. Kalau saya, efeknya nggak akan empowering siapa-siapa.
Terima kasih, Mbak Tara Basro, berkat mbaknya saya jadi tahu tubuh saya normal dan nggak jelek-jelek amat.
Jauh sebelum era Tara Basro memperlihatkan foto tubuhnya yang apa adanya, bertahun-tahun cewek dapat konstruksi kurang ajar dari media, iklan kecantikan, dan industri film porno tentang definisi seksi itu kayak apa. Dalam level yang akut, seorang cewek menunda melakukan hubungan seksual dengan pasangan atas alasan nggak pede, karena bodynya nggak kayak Mia Khalifa.
Imbasnya, industri pil pelangsing yang nggak tahu manjurnya di mana itu bertebaran. Menjanjikan sebuah bentuk tubuh yang nyaris utopis bagi rakyat jelata. Tanpa perawatan intensif, uang, dan investasi waktu luar biasa, tubuh kita nggak akan ke mana-mana. Boro-boro kayak Mia Khalifa.
Naik tingkat dari sekadar obat pelangsing, kecantikan juga diperjualbelikan di meja operasi. Secara instan bisa berubah pokoknya yang penting cantik dan gerrr! Konstruksi soal cantik ternyata bisa jadi komoditas yang keuntungannya banyak sekali. Tara Basro pun ikutan kena konstruksi macam begini awalnya.
Jujur aja saya termasuk cewek yang berada di level ringan soal paparan konstruksi kecantikan. Alih-alih berusaha menargetkan bikini body saya lebih pilih beli sweater motif dinosaurus yang longgar dan anget saat dipakai motoran. Namun sayangnya, ketidakpedulian saya nggak membantu apa pun.
“Yeng, ya alloh double chin lu!”
“Yeng coba deh diet yeng, sumpah, gue pacarin, langsung.”
“Lima kilo aja, Jeng, turunin. Udah pas itu.”
“Fiks ya, kamu nggak bisa pacaran sama cowok kurus, kasihan woy, nggak imbang.”
(Aduh nggak bisa pacaran sama Asa Butterfield yang kurus tinggi, fufufu)
Iya, senggak peduli apa pun saya sama konstruksi kecantikan, orang-orang di sekitar saya yang jadi ngeromet melulu. Untung saya diciptakan strong dan luweh, jadi saya bisa menjawab dengan “Bacot, anjir!”
Apa yang saya alami pasti juga dialami Tara Basro di level yang lebih serius. Figur publik, Cuy. Tuntutan penampilan itu nomor satu, skill belakangan. Katanya gitu. Nggak kebayang manajer Tara Basro nggak ngebolehin dia beli ayam geprek hanya karena konsumsi kalori hariannya sudah limit.
Alamak, saya sih bisa gila kalau nggak makan ayam geprek. Pake segala kalori dihitungin, utang puasa kali ah!
Setelah era film-film Joko Anwar ngehits kembali, nama Tara Basro makin berkibar. Mulai dari Perempuan Tanah Jahanam, saya sering dengar teman cowok saya bergumam.
“Bangke Si Tara mantep amat bodynya.”
Teman saya memang sedang melakukan upaya objektifikasi perempuan, iyalah, partriarkal. Tapi saya jadi sedikit mengerti bahwa perlahan stigma yang melekat pada Tara Basro adalah seksi. Setelah Tara Basro swafoto sama Chef Renata, netizen makin-makin memuja mereka berdua. Nggak bisa dimungkiri berkat mereka berdua, tren kulit sawo matang jadi populer.
Hingga pada suatu hari Tara Basro memberanikan diri foto dengan memperlihatkan pahanya yang lebih besar dari standar langsing pada umumnya, dan perut yang berlipat-lipat yang jauh dari bayangan cewek-cewek soal bikini body.
Respons saya pertama kali melihatnya adalah, sial, yang dianggap seksi itu sebenarnya nggak jauh beda sama kita-kita yang cewek berisi. Sial, ternyata paha Tara Basro juga begitu. Sial, saya tuh nggak jelek-jelek amat kok.
Anggapan ini terjadi perihal selama ini saya menganggapnya ideal. Selain itu, yang mengunggah foto begituan untungnya kok Tara Basro gitu lho. Coba kalau bukan, coba kalau dia figur publik yang punya nama buruk, coba kalau saya.
Hmmm, auto terhujat netizen tujuh purnama kali!
Saya dan ribuan cewek lainnya merasa ter-empower, terkuatkan, dan minimal jadi pede dengan sendirinya. Cewek yang tadinya menunda hubungan seksual dengan pasangan mungkin jadi nggak rendah diri lagi karena merasa bentuk tubuh kayak Mia Khalifa ya cuma Mia Khalifa sendiri yang punya.
Namun saya sedikit takut cewek-cewek jelata macam saya jadi mengikuti gerakan ini. Lha bayangkan tiba-tiba pada foto selulit dan gelambir, woy, sumpah nggak harus kok. Cukup dengan nggak insecure dan nggak merasa tertekan dengan tuntutan itu sudah bagus.
Bukannya saya menahan orang-orang untuk ekspresif, kalau mau selfie boleh, tapi iklim netizen macam Indonesia takutnya bakal membuat kalian cemas dan gagal maning praktik love yourself-nya. Kenyataan memang menyedihkan begini.
Saya sadar diri saya bukan Tara Basro, jadi foto selfie kayak dia mungkin nggak akan empowering siapa-siapa kecuali cowok-cowok s*ngean. Terkutuklah kalian, mokondo!
[merasa sediii]
Tara Basro itu special case. Imaji yang dia tampilkan adalah sosok seksi, ideal, dan idaman. Lalu dia mematahkannya dengan seolah kasih pengumuman: tubuhku aslinya gini lho, yang kalian anggap sempurna itu begini. Berarti kalian juga sempurna, Sis.
Lagi-lagi saya mau berterima kasih sama mbak Tara. Sebagian cowok mungkin nggak paham kenapa cewek-cewek seheboh itu melihat isu ini. Asal kalian tahu, kami bertahun-tahun tertekan dengan tuntutan harus cantik, harus menarik, harus kayak Tara Basro minimal.
Makan brokoli dan wortel doang demi turun berat badan. Pakai pemutih, AHA BHA exfoliating tiap malam dan sun screen tiap pagi demi glowing. Karena hanya dengan itu kami, para cewek, bisa dihargai dan diperhitungkan keberadaannya. Ini toxic. Lalu kami terbebaskan dari tekanan itu dengan kampanye dari Tara Basro yang menyuruh kami mencintai diri sendiri.
Iya, selama ini, kami cewek-cewek berusaha terbebas dari konstruksi bangsat yang memenjarakan. Sampai kami lupa caranya mencintai diri sendiri dan bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan.
BACA JUGA Aplaus buat Orang yang Selalu Ambil Kesempatan dalam Kesempitan atau artikel lainnya di POJOKAN.