MOJOK.CO – Tol Solo Jogja sudah bukan wacana lagi. Beberapa tahun lagi, kemacetan di Jogja belakangan ini bisa berlipat-lipat parahnya di masa depan.
Ketika mendengar kali pertama akan muncul wacana tol Solo Jogja (yang nanti terintegrasi dengan tol trans-Jawa) beberapa tahun lalu, sejujurnya saya adalah salah satu warga Jogja yang cukup gembira mendengarnya.
Bukan apa-apa, sebagai orang yang lumayan sering ke Solo atau Salatiga pakai mobil pribadi, ketiadaan tol itu agak menyebalkan karena jalanan di Jogja itu lumayan parah macetnya. Mau itu jalur masuk ke Jogja atau jalur keluar Jogja.
Oke lah, Jogja bagi orang Jakarta atau orang Surabaya mungkin belum terkesan kota-kota banget, tapi yakin sama saya, di beberapa titik di Jogja itu kadang macetnya sampai nggilani.
Lebih nggilani lagi, pemerintah daerah di sini seperti melihat Jogja kayak desa yang tak perlu berkembang cepat. Jalanannya kecil-kecil, transportasi umum tidak didesain sedemikian rupa agar sesuai untuk memenuhi kebutuhan warga, dan gelombang wisatawan yang datang nggak kira-kira.
Dengan keberadaan tol Solo Jogja, pada mulanya saya pikir itu akan mempercepat warga Jogja untuk mau keluar Jogja. Lumayan enak lah, bisa terbebas dari kemacetan lewat jalur kota yang makin parah (terutama kalau musim hujan).
Rasanya enak banget kalau mau pulang ke rumah mertua, saya tinggal lewat tol Solo Jogja, maka sepertinya bisa sampai jauh lebih cepat. Nggak seperti sekarang, yang kadang bisa habis waktu 2,5 atau 3 jam.
Durasi ini juga jadi problem. Dulu, seingat saya, pada periode 2000 sampai 2010, waktu tempuh Solo Jogja itu cuma 1 jam lebih dikit. Jalannya besar, masih awal-awal dua lajur berlawannya dibatasi beton pembatas. Enak lah.
Lalu periode 2010 sampai 2016, jalanan sudah mulai agak padat, cuma masih lancar jaya. Seingat saya, Solo Jogja masih bisa ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit, kadang-kadang 2 jam kalau selo nyopirnya.
Masalahnya, sejak pintu tol trans-Jawa bisa dipakai, jalur Solo Jogja itu waktu tempuhnya makin panjang lagi. Kadang bisa kurang dari 2 jam kalau agak ngebut dan mau nyalip-nyalip, atau bahkan 2,5 sampai 3 jam.
Saya duga sih, ini karena orang-orang yang dari arah Jakarta atau Surabaya malah ikut memakai jalur ini untuk masuk ke Jogja. Dari tolnya sih cepet, tapi begitu keluar pintu tol Kartasura, mereka akan menyemut masuk jalan raya biasa yang pada akhirnya bikin jalur itu macetnya naudzubillah setan.
Btw, ilustrasi waktu tempuh yang saya gambarkan tadi itu untuk jam-jam normal berkendara ya. Bukan yang dini hari yang sepi.
Kalau dini hari mah, kamu bisa aja melibas Solo Jogja cuma dalam waktu 30-40 menit (ini estimasi yang saya perkirakan juga kalau nanti saya lewat tol Solo Jogja). Artinya, membayangkan beberapa tahun ke depan tol Solo Jogja bakal bisa dilalui itu seperti menjadi oase bagi saya.
Masalahnya, saya lupa kalau keberadaan tol Solo Jogja juga bakal memberikan persoalan baru untuk warga Jogja seperti saya.
Salah satu yang lumayan saya khawatirkan adalah… alih-alih menjadi solusi kemacetan bagi orang yang mau ke Solo atau yang mau keluar dari Jogja, keberadaan tol Solo Jogja ini akan bikin Jogja tambah macet. Terutama sekali kalau sudah masuk masa-masa liburan atau masuk ajaran baru perkuliahan.
Saya sih bukannya anti dengan kedatangan para wisatawan. Itu bagus kok untuk Jogja juga, hanya saja saya perhatikan beberapa kebijakan pemerintah daerah Jogja itu cenderung lebih mengutamakan wisatawan ketimbang warga lokalnya sendiri.
Misalnya, pemanfaatan untuk Bus Trans Jogja. Ketimbang sebenar-benar fungsinya sebagai transportasi publik, yang ada Bus Trans Jogja ini malah kayak jadi etalase doang bagi wisatawan. Kayak buat pamer gitu, bahwa Jogja punya bus bagus.
Yang lebih parah, bukannya transportasi publik itu hadir guna mengatasi kemacetan, Bus Trans Jogja malah kerap terjebak macet, plus jadi penyebab kemacetan pula kadang-kadang. Ini kan mind blowing ironi.
Belum lagi dengan problem di jalanan kampung-kampung di Jogja, yang kerap kali jadi jalur alternatif wisatawan kalau jalan utama lagi macet-macetnya. Gara-gara kebiasaan kayak gini, saya sih percaya kalau jalan alternatif itu sudah tidak ada di Jogja. Jalan alternatif di sini itu udah sama ramainya kayak jalan utama.
Salah satu ilustrasinya bahkan terjadi di kampung saya sendiri. Belum ada tol Solo Jogja saja, jalan depan gang kampung rumah saya itu kalau weekend macet parah. Ini saya cuma mau naik motor keluar ke Indomaret saja susahnya minta ampun. Ini saya cuma mau keluar gang lho padahal.
Saya jadi membayangkan, kalau nanti tol Solo Jogja sudah beroperasi, dan itu artinya semakin cepat pula para wisatawan masuk ke Jogja, bagaimana daerah istimewa ini bisa bertahan kalau semua pada masuk ke sini dan pemdanya baru bereaksi setelah jalanan Jogja udah pada macet parah kalau liburan?
Tapi, misalnya memang Jogja bakal jadi separah itu macetnya kalau tol Solo Jogja bisa beroperasi, saya sih tetep selo-selo aja.
Ya kan bisa aja, nanti di depan gang depan rumah saya, saya bisa buka lahan untuk parkir para wisatawan. Kan lumayan, bisa itu saya tarik duit parkirnya. Per kendaraan Rp350.000 misalnya.
Kalau ada yang protes, atau pemerintah daerah mau menghukum saya karena dianggap merusak citra daerah yang dia pimpin, ya tinggal bales aja: “Lah, sampean selama ini nggak mikirin saya kok saya jadi harus mikirin citra situ.” Eh.
BACA JUGA Mencintai Jogja dengan Segenap Kemacetannya atau tulisan ESAI lainnya.
Editor: Ahmad Khadafi